![]() |
UNICEF/2024 |
Beban keuangan biaya sekolah, buku, dan perlengkapan sekolah menjadi terlalu berat bagi keluarganya. "Ada begitu banyak hal yang harus dibayar," kenang Sava. "Saya tidak ingin meminta uang kepada ibu saya karena saya tahu kami tidak punya banyak."
Karena tidak punya cara untuk melanjutkan pendidikannya, Sava menghabiskan hari-harinya membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah dan bekerja di kebun mereka. Namun, bahkan saat ia mengambil tanggung jawab ini, ibunya tidak pernah melupakan impian bahwa suatu hari Sava akan kembali bersekolah.
Ibu saya selalu menyemangati saya. Beliau berkata, 'Sekolah itu bagus, kamu bisa menimba ilmu dan menjadi dokter.'
Kini, Sava kembali bersekolah – berkat gerakan nasional yang terus berkembang yang didedikasikan untuk mengatasi tantangan besar: bagaimana mengembalikan 3,9 juta anak putus sekolah ke sekolah. Pemerintah Indonesia memimpin gerakan ini, bekerja sama dengan UNICEF dan berbagai mitra untuk menciptakan berbagai jalur bagi anak-anak untuk kembali belajar, baik melalui pendidikan formal maupun program pembelajaran alternatif.
Inti dari upaya ini adalah sistem pengumpulan dan pemantauan data komprehensif yang memungkinkan pemerintah daerah mengidentifikasi anak-anak seperti Sava, yang berisiko putus sekolah atau yang sudah putus sekolah.
Di Trenggalek, sebuah kabupaten di Jawa Timur, pemerintah daerah menggunakan data ini untuk mengidentifikasi hampir 4.000 anak yang putus sekolah. “Selama ini, masalah ini diabaikan, dan akibatnya banyak anak putus sekolah tanpa tahu siapa mereka dan bagaimana cara mendukung mereka,” kata Dr. Ratna, Kepala Badan Perencanaan Daerah (BAPPEDA).
Berbekal data yang akurat, distrik dan provinsi di seluruh negeri telah mengembangkan kebijakan dan intervensi yang terarah untuk mengatasi hambatan yang membuat anak-anak tidak bersekolah. Langkah-langkah ini termasuk menyediakan beasiswa, subsidi transportasi, dan perlengkapan sekolah dasar.
Pemerintah daerah juga telah menjalin koalisi dengan organisasi nonpemerintah dan berbasis agama untuk menyediakan beasiswa dan dukungan keuangan bagi keluarga yang rentan. Banyak bank lokal juga telah ikut serta untuk memberikan bantuan keuangan.
"Suatu hari, seseorang dari kantor desa datang ke rumah kami dan bertanya apakah saya ingin kembali bersekolah. Mereka menuliskan nama saya, dan saya mulai bersekolah lagi keesokan harinya," kenang Sava, dengan suara yang merefleksikan tekad dari seorang gadis muda yang kini punya kesempatan menggapai impiannya.
Di provinsi Banten terbesar yang memiliki risiko tinggi anak-anak dan remaja putus sekolah – inisiatif ini telah diluncurkan di seluruh 24 kabupaten. Selama tiga tahun, hampir 94 persen anak-anak yang teridentifikasi telah kembali belajar, yang berkontribusi pada pengurangan sekitar 12 persen dalam jumlah anak-anak putus sekolah di provinsi tersebut.
Keberhasilan inisiatif ini didorong oleh komitmen pemerintah yang kuat. “Terobosan paling signifikan adalah membangun kapasitas pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten untuk memimpin dalam meningkatkan model ini,” kata Henky Widjaja, kepala kantor UNICEF di Makassar. “Hal ini membuat kami yakin bahwa inisiatif ini tidak hanya akan berkelanjutan tetapi akan terus tumbuh dan berkembang.”
Sejak 2021, hampir 37.000 anak telah kembali belajar di seluruh Indonesia, dan hampir 149.000 anak telah dicegah putus sekolah. Gerakan untuk mengembalikan anak-anak ke sekolah telah meluas ke 40 dari 50 kabupaten sasaran, yang bertujuan untuk menjangkau semuanya pada tahun 2025, di enam dari 38 provinsi di Indonesia.
Ini bukan hanya tentang menanggung biaya. Ini tentang mendapatkan dukungan yang kami butuhkan dari keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Selain membantu kami melanjutkan pendidikan, ini membantu kami mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
0 comments:
Post a Comment