JAKARTA KONTAK BANTEN Dalam hitungan hari, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto akan menandai satu tahun masa kepemimpinannya. Setahun terakhir bukan periode yang mudah. Dunia diguncang ketidakpastian global: perang dagang, konflik geopolitik, dan gejolak harga komoditas yang menekan perekonomian negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sejak dilantik pada awal Januari 2025, Donald Trump selaku Presiden Amerika Serikat ke-47 menerapkan tarif impor tinggi untuk memperkuat industri domestiknya. Indonesia turut terdampak dengan tarif 19% sejak Agustus 2025, yang meskipun lebih rendah dibandingkan tarif untuk negara Asia Timur lainnya, tetap menjadi tekanan besar bagi ekspor nasional. Ketegangan berkepanjangan di Ukraina dan Gaza juga menambah ketidakpastian pasar global serta mendorong volatilitas harga pangan dan energi.
Pemerintahan Prabowo mengusung Asta Cita, dengan butir ketiga yang menekankan penciptaan lapangan kerja berkualitas dan pengembangan kewirausahaan. Agenda ini dijabarkan dalam 17 program prioritas dan 8 quick wins, di antaranya hilirisasi industri, Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah Putih, dan Sekolah Garuda.Fiskal Terkendali, Tapi Sentralisasi Meningkat
Dalam diskusi Forum Ekonomi Inklusif (FEI) di Jakarta (15/10/2025), dengan tema “Evaluasi Setahun Ekonomi Prabowo – Potensi Krisis, Tantangan, dan Peluang”, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Berly Martawardaya, mengapresiasi keberhasilan pemerintah menjaga disiplin fiskal. Defisit APBN 2025–2026 tetap di bawah 3%, inflasi terkendali di bawah 3%, dan nilai tukar rupiah stabil di bawah Rp17.000 per dolar AS. Penandatanganan perjanjian perdagangan IEU-CEPA dengan Uni Eropa setelah sembilan tahun negosiasi juga memperluas akses pasar ekspor Indonesia.
Namun, Berly yang juga aktif sebagai ekonom di INDEF, menyoroti meningkatnya sentralisasi fiskal. Pemangkasan transfer ke daerah sebesar Rp50 triliun dalam APBN 2025 dan Rp155 triliun dalam APBN 2026 banyak menyasar anggaran fisik. Program dan proyek pusat tetap dijalankan di daerah, tanpa mekanisme pengambilan keputusan dan pengadaan di tingkat lokal. “Ini menjadi kemunduran dalam semangat otonomi daerah yang sudah berjalan 25 tahun,” ujarnya.Konsumsi Melemah, Stimulus Harus Lebih Agresif
Berly juga menekankan melemahnya konsumsi masyarakat — komponen terbesar PDB Indonesia (52–55%) — yang dalam beberapa kuartal terakhir tumbuh di bawah 5%. Stimulus dari 17 program prioritas dan 8 quick wins bernilai Rp16,23 triliun dinilai terlalu kecil untuk mendorong percepatan ekonomi nasional. Ia menyarankan agar pemerintah mengalihkan sebagian dana dari program lain untuk memperkuat stimulus jangka pendek, terutama di tengah tekanan global yang berpotensi menekan ekspor dan arus investasi.
MBG Perlu Desentralisasi: Banyak Kasus Keracunan
Dalam forum yang sama, peneliti Center of Economic Reform (CoRE), Eliza Mardian, memaparkan temuan lembaganya terkait program MBG. Realisasi anggaran MBG sangat rendah — hanya 12,9% dari total pagu Rp171 triliun. Model dapur sentralistik (SPPG) yang membutuhkan investasi Rp1,5–2 miliar per unit membatasi partisipasi dan menciptakan ketimpangan pelaksana.
Pengejaran target kuantitatif MBG juga diikuti lonjakan kasus keracunan pangan hingga dua kali lipat, mencapai 11.466 kasus. Banyak dapur penyedia beroperasi tanpa sertifikat laik higienis dan standar keamanan pangan. Eliza mengusulkan model desentralisasi dengan melibatkan UMKM, sekolah, dan komunitas lokal agar kualitas terjaga dan risiko keracunan berkurang.Ia juga mengingatkan adanya potensi masalah tata kelola dengan dibukanya akses izin tambang bagi koperasi, yang memerlukan pengawasan ketat untuk mencegah penyalahgunaan. Tahun pertama pemerintahan selalu menjadi masa penuh tantangan. Namun, sebagaimana disampaikan para ekonom, tahun kedua bisa menjadi momentum konsolidasi ekonomi nasional — jika stimulus diperbesar, fiskal lebih terbuka ke daerah, dan kebijakan populis diarahkan pada efektivitas program.
0 comments:
Post a Comment