
Alkisah Hidup seorang Raja. Pada suatu hari, Raja itu ingin memiliki baju baru untuk
dia pakai dalam pawai rutin di tengah kota yang biasa dia lakukan. Raja
pun menyuruh ajudannya untuk memanggil penjahit yang paling hebat.
Singkat cerita datanglah seorang penipu yang mengaku penjahit hebat dan
akan menjahitkan baju yang sangat luar biasa indah dan tiada duanya
untuk sang Raja. Dia pun berlagak mengukur badan sang Raja, mengukur
tingginya, lingkar perutnya, lebar bahunya, dan lain-lain. Setelah itu
dia pun mohon diri dan menjanjukan baju itu akan siap esok lusa. Hari
yang ditunggu pun tiba. Raja tidak sabar untuk melihat dan mencoba baju
barunya. Namun alangkah kecewanya ketika penjahit itu datang dan tidak
terlihat membawa apapun. “Wahai penjahit, mana baju baru yang kau
janjikan untukku?” tanya Raja gusar. Penjahit itu pun buru-buru
berpura-pura mengeluarkan sesuatu, “Mohon maaf Paduka, inilah baju
terbaik yang saya kerjakan untuk Paduka.“ Dia pun mengulurkan kedua
tangannya seolah-olah sedang mempersembahkan sesuatu. Raja mengernyitkan
keningnya karena dia merasa tidak melihat apa-apa, begitu pula para
ajudan yang mendampingi Raja. Penjahit gadungan itu pun melanjutkan,
“Tidakkah Paduka bisa melihat keindahannya? Baju ini teramat istimewa
sebab hanya orang pintar saja yang dapat melihatnya!“ Raja yang langsung
termakan bualan penipu itu merasa sangat malu karena ia benar-benar
tidak melihat baju yang dimaksud. Raja pun berpikir betapa memalukannya
bila ia ketahuan tak dapat melihat baju itu. Dengan serta merta Raja pun
menyahut, “Oh, betul sekali, betapa indahnya baju yang sudah kau buat
ini, aku sungguh-sungguh menyukainya. Bagaimana dengan kalian?” Raja
meminta persetujuan para ajudan. Para ajudan yang rupanya sama dengan
Raja segera menjawab, “Oh, benar sekali Paduka, baju itu memang sangat
indah!” Mereka kemudian berlomba-lomba memuji baju bualan itu, “Warnanya
sungguh indah, tidak terlalu mencolok namun sangat berkarakter..”
Seseorang lagi menimpali, “Lihat jahitannya, sangat rapi dan solid!”
Seorang lagi tidak mau kalah, “Modelnya sangat orisinil dan berwibawa.
Raja akan terlihat sangat gagah memakainya!“ Begitulah, kemudian ketika
dikabari mengenai baju baru Sang Raja, seisi kerajaan pun berlomba-lomba
berkomentar dan memberikan pujian mengenai baju itu, tidak ada yang
berani mengakui tidak bisa melihat baju itu karena takut disangka bodoh.
* * *
Cerita di atas mungkin sudah akrab di telinga kita. Dongeng masa kecil
ini terlintas begitu saja dalam ingatan ketika membaca satu kata:
Demokrasi. Apa hubungannya demokrasi dengan dongeng tadi? Demokrasi
tidak ada bedanya dengan baju baru Sang Raja. Demokrasi, seperti halnya
baju baru Raja, adalah omong kosong. Barangkali menyadari ‘keberadaan‘
sesuatu lebih mudah ketimbang menyadari ‘ketidakberadaan‘ sesuatu?
Demokrasi sebenarnya tidak ada dan tidak pernah ada. Kalau begitu,
kenapa sesuatu yang tidak ada, dan tidak pernah ada, dikira ada?
Jawabannya sama juga dengan baju baru Sang Raja: dia diopinikan dan
dibicarakan oleh semua orang. Raja berkata ada, para ajudan membetulkan,
seisi kerajaan mengakuinya. Tinggallah rakyat luas. Apa yang terjadi
ketika Raja melakukan pawai dengan baju barunya itu? Seluruh rakyat
sudah tidak sabar, penasaran dengan baju baru Sang Raja yang katanya
hanya akan nampak di mata orang-orang yang pintar saja. Akan tetapi,
betapa kagetnya rakyat ketika melihat Raja yang mereka bangga-banggakan
itu diarak keliling kota dan melambai-lambaikan tangannya pada rakyat,
tersenyum lebar penuh percaya diri dalam keadaan telanjang bulat! Rakyat
pun terdiam terbingung-bingung, semuanya saling pandang. Tidak ada satu
pun yang berani mengakui apa yang sebenarnya dilihatnya. Kemudian satu
demi satu mereka mulai berkomentar, “Ooohh.. betapa indahnya baju baru
Sang Raja!” satu orang mengawali. “Benar! Ooh Tuhan, seandainya aku bisa
memiliki baju seperti itu!” yang lain menyahut. “Bodoh! Hanya Raja yang
pantas memakai baju kebesaran seperti itu!” Sahut-sahutan pun mulai
terjadi, dan pada akhirnya semua orang mengakui melihat baju baru Sang
Raja. Begitu pulalah demokrasi, dia tidak pernah berhenti dibicarakan.
Semua berlomba-lomba memakai slogan ini. Jika ada himbauan, maka
kalimatnya adalah, “Mari kita pertahankan demokrasi!” Atau, “Jangan
biarkan demokrasi ini rusak karena ulah sekelompok orang!” Jika sebuah
lembaga mencanangkan visi dan misi, yang tertulis adalah, “Membangun
masyarakat demokratis makmur sejahtera.” Jika ada seorang tokoh, maka
dia dijuluki sebagai “Sang pembela demokrasi“, atau “Sang demokrat
sejati“. Jika ada pemikiran, maka pemikiran itu adalah kata sifat dari
demokrasi seperti “Demokrasi Terpimpin“, “Demokrasi Liberal“, “Demokrasi
with God“, atau “Theo-Demokrasi“, dan lain-lain. Jika membentuk partai,
maka namanya adalah “Partai Demokrasi Anu“. “Partai Demokrasi itu“,
“Partai Pokoknya Demokrasi“, “Partai yang Penting Demokrasi“, “Partai
Insya Allah Demokrasi“, dan lain-lain. Kalau ada penghargaan, maka itu
adalah medali demokrasi. Di sana demokrasi, di sini demokrasi, demokrasi
di mana-mana. Walhasil, tidak seorangpun sadar bahwa demokrasi itu
sebenarnya tidak ada. Mereka tidak akan bisa menunjukkan mana demokrasi?
Mereka tidak mungkin bisa menyebutkan negara mana yang paling
demokratis? What a shame! Seperti halnya Sang Raja yang telanjang bulat
keliling kota, betapa memalukannya. Kalau kita mau sadari, maka yang
terjadi adalah korporatokrasi, bukannya demokrasi. Dan kalau dikatakan
yang sebenarnya ini, maka dijamin tidak akan ada seorangpun yang
mendukungnya, kecuali, ya para pemilik korporat-korporat besar itu. Dan
inilah yang membuat sebuah bangsa terpuruk sedemikian rupa, karena
rakyatnya terperdaya oleh sistem politik ilusi. Akan tetapi, semoga hal
ini tidak lama. Kalau kita selesaikan dongeng baju baru Sang Raja, maka
pada akhirnya ada seorang anak kecil yang innocent, lugu dan jujur,
meneriakkan, “Raja telanjang!” Raja yang mendengarnya pun kaget dan
terdiam. Arak-arakan pawai berhenti. Semua rakyat ikut terdiam menelan
ludah. Ibunya anak itu pun ketakutan setengah mati dan mencoba
membungkam mulut anaknya. Akan tetapi si anak tetap bersuara, “Lihatlah
Ibu, Raja tidak memakai apa-apa.. Lucu ya?“ Raja pun mulai berkeringat
dingin. Rakyat saling celingukan dan mulai bergumam-gumam kecil tidak
jelas. Raja semakin berkeringat dan melirik para ajudannya, akan tetapi
para ajudannya tidak berani menatap Sang Raja.. dan.. nah, sudahlah,
tulisan ini tidak perlu dilanjutkan sebelum kita berfantasi yang
macam-macam. Tentu kita semua sudah hafal dengan ending cerita ini. Yang
penting sekarang, mari kita melihat realita saat ini. Beranikah kita
menjadi jujur seperti anak kecil itu? Beranikah mengatakan yang
sebenarnya tentang demokrasi? Kita tentu kesal ketika ada tokoh Islam
yang tiap kali berpidato seakan ‘gatal‘ kalau tidak mengucapkan sepatah
kata demokrasi. Rasul saw. bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari
akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam,” (HR. Abu Hurairah).
0 comments:
Post a Comment