Tahun 2019 Indonesia akan mencari pemimpin baru, dan pemimpin dengan
figur yang mempunyai “track record” baik akan mampu membawa perubahan.
Perubahan yang dapat membawa Indonesia menuju kebaikan dan cita-cita
bangsa Indonesia yakni masyarakat yang adil dan makmur dalam segala
bidang kehidupan.
Perjalanan reformasi yang melewati satu dasawarsa ini telah memberi
banyak pelajaran. Pelajaran yang terpenting adalah adanya kesenjangan
dalam kesiapan melakukan perubahan antara kaum intelektual dengan rakyat
awam.
Gerakan reformasi perlu memikirkan jalan baru untuk mempercepat
perubahan. Perjuangan melalui perubahan struktural terbukti sangat sulit
diwujudkan. Apapun perubahan dilakukan kepada kebijakan dan
perundang-undangan, implementasinya terbukti mudah dilumpuhkan di tengah
lalu lintas pengaruh yang saling gencat-sumbat, halang-hadang, macet
dan tersendat.
Sementara itu kita pun sangat mengerti bahwa tanpa perubahan
struktural (perubahan dalam cara bekerja) sangatlah sulit
meyelenggarakan perubahan kultural (perubahan dalam cara berpikir).
Gerakan reformasi menemukan jalan baru itu dalam kampanye “Saatnya
Kaum Muda Memimpin”. Melalui kampanye itu kita akan mengajak seluruh
rakyat untuk mempercepat alih-generasi kepemimpinan nasional. Agenda
utamanya bukan hanya mengganti satu-dua orang pemimpin, gerakan ini
ingin mengganti seluruh generasi kepemimpinan bangsa dalam jangka waktu
kurang dari sepuluh tahun.
Arena perjuangan gerakan ini adalah pemilihan umum dan pemilihan
kepala daerah. Artinya, perjuangan untuk mempercepat alih-generasi
kepemimpinan nasional bukanlah jalan raya (demonstrasi) melainkan jalan
pemilihan. Pemimpin terbaik harus lahir dari ajang kompetisi yang paling
panas. Tetapi sekali ini para aktivis, mahasiswa dan intelektual tidak
boleh mengulangi kesalahan sebelumnya.
Pemilihan pemimpin muda baru langkah pertama, gerakan reformasi harus
siap dengan peta jalan dan program aksi untuk perubahan yang
dikehendaki. Perlu dicatat, mendesaknya kepemimpinan kaum muda Indonesia
bukanlah prinsip yang berlaku umum, melainkan prinsip darurat.
Kaum muda terdorong untuk maju mengambil alih kepemimpinan karena
kaum tua diliputi kebingungan dan keraguan di dalam mengadopsi
nilai-nilai baru yang dikedepankan oleh reformasi. Atas dasar itulah,
kepemimpinan kaum muda saat ini menjadi satu hal yang tak bisa ditawar
lagi.
Lanskap persoalan kita sebagai bangsa membutuhkan energi muda yang
murni, kreatif dan siap bekerja keras meletakkan kebangsaan kita di
tempat terhormat dalam era globalisasi sekarang ini. Sementara perubahan
dilakukan apabila muncul kepercayaan anggota kepada pemimpin,
kekompakan sesama anggota, dan tingkat persaingan antar anggota yang
tidak terlalu mendominasi.
Pemimpin 2018 harus mampu mengutamakan proses partisipasi aktif dari
anggota dalam mengimplementasikan perubahan, dimana harus selalu berada
di belakang masyarakat untuk mendukung, siap membantu menghadapi
kendala, melakukan komunikasi mengenai informasi kemajuan dan melakukan
evaluasi perubahan.
Pemimpin kedepan juga harus mampu melakukan pengembangan komitmen
pada perubahan akan lebih optimal jika ada hasil evaluasi situasi
perubahan yang sedang berlangsung. Hal itu terkait erat pada orientasi
budaya kolektif anggota organisasi yang mampu mengarahkan usaha mereka
untuk mendapatkan identitas sosial.
Perubahan yang akan dibawa pemimpin baru di 2018, merupakan sesuatu
yang tidak terhindarkan dalam kehidupan sebuah negara, berhasil dan
tidaknya perubahan di sebuah negara bergantung dari elemen masyarakat
baik parpol dan organisasi yang ada untuk berubah.
Pemimpin yang memiliki keterbukaan pada perubahan cenderung untuk
memunculkan fleksibilitas ketika dihadapkan pada tantangan baru,
masyarakat Indonesia yang plural dan terbuka, akan lebih mudah menerima
perubahan yang ujungnya meraih kesejahteraan bersama.
Untuk itu, kader partai politik perlu memiliki kesukarelaan dalam
berpolitik agar praktik koruptif yang dipicu akibat pemborosan biaya
politik dapat dihilangkan, sehingga tidak ada lagi model mengembalikan
modal kampanye dan membagi kekuasaan dengan mendorong figur boneka untuk
maju menjadi pemimpin.
Ketika orde baru, istilah politik padat karya, dimana semua biaya
politik ditanggung bersama-sama dengan kerja oleh kader, namun sekarang
cenderung padat modal dengan masing-masing kader harus menyetor uang
modal ke partai.
Pemimpin sejati seharusnya tidak terbelenggu masalah dana atau modal
kampanye, kompetisi yang semakin mahal untuk biaya iklan,
pengorganisasian tim sukses dan biaya konsultasi politik sangat rentan
untuk didapat dengan cara-cara yang tidak wajar, harus dicari strategi
lain yang tidak sekedar pencitraan di media.
Maraknya praktik koruptif yang dilakukan oleh parpol dan capres untuk
memenuhi biaya politik, menjadikan masyarakat banyak yang anti politik
dan akhirnya berpengaruh terhadap angka golput pada Pemilu 2018.
Tahun 2018 merupakan momentum bagi kaum muda untuk tampil memimpin
dan membenahi negara ini. Resolusi harapan baru mesti diwujudkan dengan
memberi harapan baru, mesti diwjudkan dengan memberi kesempatan yang
muda tampil di depan. Entah itu dalam bidang sosial, ekonomi, budaya,
maupun politik.
Oleh karena itu sebagai anggota Legislatif harus siap bekerja
maksimal karena sudah dipilih rakyat dan sebagai wakil rakyat, jangan
hanya datang duduk, diam yang ujung-ujungnya korupsi. Saat ini sudah
terjadi degredasi moral yang menyebabkan terjadinya sistim politik
saudagar, banyak tawar menawar dalam politik anggaran.
Sebenarnya banyak tokoh muda yang memiliki integritas, namun
terkadang setelah masuk didalam sistem politik integritas tersebut
hilang. Oleh karena itu, masyarakat harus mengenali tokoh dan pandai
memilih tokoh berkualitas, cerdas dan berintegritas serta mampu menyerap
aspirasi rakyat.
Agar Pemilu 2018 dapat menghasilkan pemimpin ke depan yang diharapkan
bangsa ini sebagai “problem solver” bukan “problem maker”, maka kita
harus menyukseskan Pemilu 2018 dengan tidak golput dan tidak mensabotase
Pemilu 2018.
Karena indikasi terjadinya sabotase politik pada Pemilu 2018 cukup
keras terasa saat ini, termasuk “residu politik” akibat “perkelahian
elit” yang tidak terlesaikan pasca Pemilu 2018 akan semakin memperparah
keadaan bangsa ini. Jangan sampai hal ini terjadi.
*) Penulis adalah peneliti senior Forum Dialog (Fordial), Jakarta.
0 comments:
Post a Comment