JAKARTA – Setelah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), giliran para
dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyerukan
agar Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan (Perdiyan) Kesehatan BPJS
nomor 2, 3 dan 5 tahun 2018 dicabut. Peraturan tersebut membatasi
jaminan pelayanan medik terhadap katarak, rehabilitasi medik, dan bayi
baru lahir sehat.
“Kondisi defisit pembiayaan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional-red)
tidak boleh jadi alasan menurunkan mutu pelayanan,” ujar Ketua Umum
Pengurus Besar IDI Ilham Oetama Marsis, Kamis (2/8).
Membacakan pernyataan sikap IDI, Ilham meminta BPJS untuk segera
membatalkan Perdiyan tersebut dan menyesuaikan semua aturan sesuai
dengan kewenangannya. “BPJS seharusnya hanya membahas teknis pembayaran,
tidak memasuki ranah medis,” ujarnya.
Menurut Ilham, selain merugikan masyarakat, Perdiyan tersebut juga
bertentangan dengan beberapa regulasi. Di antaranya adalah Perpres Nomor
12 Tahun 2013 Pasal 22 dan Pasal 25 yang menyebutkan bahwa semua jenis
penyakit dijamin BPJS Kesehatan.
Perdiyan tersebut juga berpotensi melanggar UU 40 Tahun 2004 Pasal 24
ayat 3 bahwa dalam upaya efisiensi, BPJS Kesehatan seharusnya tidak
mengorbankan mutu pelayanan dan membahayakan keselamatan pasien. “Tapi,
BPJS tetap dapat membuat aturan tentang iuran atau urun biaya,” katanya.
Ilham menambahkan, banyak mudarat jika peraturan tersebut tetap
diberlakukan. Akan sering timbul konflik antara dokter, pasien, dan
fasilitas kesehatan (faskes). “Para dokter akan rawan melanggar sumpah
kode etik kedokteran. Kewenangannya untuk mengobati diintervensi dan
direduksi oleh aturan ini,” jelasnya.
Soal pembatasan pelayanan bagi bayi baru lahir juga mengkhawatirkan.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan
mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki target sustainable development goal (SDG) pada 2030. Salah satu poinnya adalah menurunkan angka kematian anak hingga ke angka 12 kematian per 1.000 kelahiran.
Sementara saat ini, posisi Indonesia berada pada tren 22 hingga 23
kematian per 1.000 kelahiran. Angka tersebut tertinggi di ASEAN.
“Dengan aturan ini, semakin sulit menurunkan angka kematian anak,” katanya.
Aman mengungkapkan, setiap bayi yang lahir, sangat rentan terhadap
risiko kecacatan bahkan kematian. Untuk itu, seharusnya pelayanan
terhadap bayi baru lahir harus optimal. Selain itu, negara harusnya
menjamin hak hidup setiap warga negara sesuai dengan amanat UUD 1945.
“Nah, ini baru lahir sudah enggak dikasih hak hidup,” ujarnya.
Senada, Ketua III Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami)
Johan Hutauruk mengatakan bahwa aturan ini juga akan menghambat upaya
menurunkan angka kebutaan di Indonesia. Selama ini, kata Johan, para
pasien katarak rata-rata adalah masyarakat kelas bawah dan semuanya
menggunakan BPJS. “Ini kalau dihemat justru akan terjadi kerugian
besar,” katanya.
Menurut WHO, angka kebutaan di Indonesia baru akan turun jika
Indonesia mampu melakukan operasi terhadap 3.500 orang per satu juta
penduduk. Sementara tahun 2016 lalu, baru bisa dilakukan operasi katarak
pada 325 ribu orang. “Dengan aturan ini, angka kebutaan bukan tambah
turun,” kata Johan.
Deputi Direksi Bidang Regulasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS
Kesehatan Jenny Wihartini menjelaskan, lembaganya tetap terus
menjalankan tiga Perdiyan Kesehatan tersebut. Dia mengatakan, menyimpan
seluruh hasil rapat bersama organisasi profesi terkait pelayanan mata,
persalinan, dan rehabilitasi medik.
Dia menjelaskan sudah berkonsultasi dengan ahli hukum. “Bahwa berita acara (rapat-red) tidak bisa dibatalkan sepihak,” katanya.
Komentar tersebut dia sampaikan terkait dengan adanya pencabutan
berita acara oleh IDAI, Perdosi (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
Fisik dan Rehabilitasi Indonesia), dan Persatuan Dokter Spesialis Mata
Indonesia (Perdami).
“(Sebaiknya-red) yang ingin mencabut bertemu kembali. Bukan
(pencabutan-red) sepihak,’’ jelasnya. Menurut Jenny, pencabutan sepihak
itu menunjukkan adanya wanprestasi dari yang melakukan pencabutan.
Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS
Kesehatan Budi Mohamad Arief membantah keluarnya tiga Perdiyan Kesehatan
itu membuat penurunan mutu. Dia mengatakan, selama ini belum ada
ketetapan tentang mutu layanan terkait dengan tiga layanan tersebut.
Sehingga, peraturan yang berlaku sejak 12 Juli tersebut diharapkan
menjadi sebuah permulaan adanya peraturan tentang mutu layanan.
Kemudian, Budi juga membantah regulasi tentang operasi katarak tidak
sejalan dengan program menekan angka kebutaan. “Kami justru
memprioritaskan orang yang menuju kebutaan,’’ katanya. Bagi penderita
katarak masih belum parah memang tidak menjadi prioritas. Sebab, patokan
BPJS Kesehatan penderita katarak baru bisa ditanggung operasi matanya
jika kondisi visus minimal 6/18.
Lalu, Budi juga menampik BPJS Kesehatan tidak mendukung upaya
keselamatan ibu melahirkan dan kelahiran bayi. Dia menjelaskan bagi bayi
yang sehat, BPJS Kesehatan hanya membayar biaya persalinan ibunya saja.
Tetapi bagi bayi yang lahir dengan kondisi perlu pelayanan khusus, maka
diklaim terpisah dengan ibunya.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun telah memberikan surat
pernyataan agar BPJS Kesehatan mencabut Perdiyan nomor 2, 3, dan 5 Tahun
2018. Namun, hingga saat ini BPJS Kesehatan bergeming. Kepala Biro
Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes Widyawati menjelaskan bahwa
Kemenkes sedang mencari solusi terhadap permasalahan pelayanan
kesehatan bagi peserta JKN. Permasalahan yang dimaksud di antaranya
penanggulangan defisit pembiayaan JKN dan keharmonisan regulasi
pelaksanaan JKN.
“Kementerian Kesehatan bersama organisasi profesi dan perumahsakitan
segera melakukan audit medik atas pelayanan kesehatan tersebut,”
ucapnya.
Dia juga menjelaskan bahwa organisasi profesi dan perumahsakitan
mendukung program JKN. Namun, harus memberikan pelayanan kesehatan yang
berfokus pada keselamatan pasien dan indikasi medis. “Terkait masukan
solusi keseimbangan pembiayaan JKN akan dibicarakan pada bauran revisi
Perpres 12 Tahun 2013 pada pertemuan tingkat Kemenko PMK,” beber
perempuan yang akrab disapa Wid itu.
Koordinator Advokasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Watch
Timboel Siregar menyayangkan sikap lembek Kemenkes. “Saya kira Menkes
harus bersikap keras dan melaporkan kepada Presiden atas kebandelan
direksi BPJS Kesehatan ini,” ungkapnya.
Jika PB IDI dan Kemenkes sudah tidak dihiraukan oleh BPJS Kesehatan,
maka menurut Timboel, Presiden lah yang harus menegur direksi BPJS
Kesehatan. Dia juga menyarankan agar direksi BPJS Kesehatan menunda
Perdiyannya. Tujuannya, agar tidak berpolemik. “Ditunggu statemen
Presiden,” imbuhnya.
Di sisi lain, Presiden harus membantu keuangan BPJS Kesehatan.
Timboel mengatakan bahwa piutang dari mitra BPJS Kesehatan harus segera
dibayarkan. Presiden bisa meminta pemda untuk membayar iuran yang tertunggak secepatnya.
0 comments:
Post a Comment