![]() |
LEBAK – Festival Seni Multatuli (FSM) 2018, Kamis
(6/9/2018) ini resmi dibuka di Pendopo Museum Multatuli, Kabupaten
Lebak, Banten. Hadir dalam pembukaan ini Dirjen Kebudayaan Kemendikbud
Hilmar Farid, Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya beserta jajarannya,
serta seniman dan budayawan. FSM 2018 akan berlangsung selama empat hari
dengan berbagai aneka kegiatan.
Hilmar Farid dalam sambutanbya menyatakan bahwa Festival Seni
Multatuli esensinya adalah menjaga semangat humanisme dan memberikan
kabar pada bentuk-bentuk seni lainnya. Hilmar mengaku berbahagia ketika
mendapatkan kabar bahwa ada 920 puisi dari 283 penyair dari berbagai
daerah di Nusantara yang melakukan transliterasi; menginterpretasikan
ulang pemahaman para penyair mengenai Multatuli.
“Bagi saya, ini adalah pencapaian yang cukup menarik. Selain itu ada
juga 10 komunitas teater Banten yang juga merespons berdasarkan novel
Multatuli. Ditambah lagi dengan pementasan “Opera Saija-Adinda” yang
digarap oleh pianis Ananda Sukarlan yang membuat Festival Seni Multatuli
ini menjadi kian membahagiakan. Kepada para seniman dan para penggiat,
saya ucapkan terima kasih. Begitupun kepada Bupati Lebak beserta
jajarannya yang terus mendukung pemajuan kebudayaan di Lebak pada
khususnya,” ujarnya.
Menurutnya, Festival Seni Multatuli 2018 memiliki keunikan
dibandingkan dengan festival lainnya yaitu merespons gagasan Multatuli
ke dalam bentuk-bentuk lainnya seperti teater, puisi, musik, seni rupa,
bahkan opera. Dikatakab, jauh sebelum festival semacam ini, ada beberapa
sastrawan yang terinspirasi oleh Multatuli. Sebut saja Rendra,
Pramoedya Ananta toer. Rendra pernah menulis antologi puisi berjudul
“Demi Orang-orang Rangkasbitung” yang ditulis pada tahun 1993.
Kegelisahan Multatuli direpresentasikan dengan begitu tragis dan
memilukan oleh Rendra. Sementara Pramoedya memposisikan novel ini
sebagai pemantik karya-karyanya sehingga berani menuliskan problematika
sosial dengan kritikan-kritikannya yang tajam. “Bahkan pada sebuah
wawancara, Pram berani mengatakan bahwa ketika seorang politikus tidak
mengenal Multatuli praktis tidak mengenal humanisme secara modern dan
politikus tidak mengenal Multatuli bisa menjadi politikus kejam,”
tegasnya.
Hilmar juga mengapresiasi lantaran di Kabupaten Lebak telah berdiri
secara berdampingan Museum Multatuli dan Perpustakaan Saija – Adinda.
Menurutnya, hal itu mengingatkan bahwa Multatuli yang tidak bisa
dilepaskan dari kisah Saija dan Ini membuktikan bahwa ada itikad
sekaligus kesadaran yang baik untuk menjadikan museum dan perpustakaan
sebagai pusat peradaban yang merupakan ciri-ciri masyarakat literat.
Semoga dengan dilaksanakannya Festival Seni Multatuli 2018 ini kian
menambah keingintahuan dari khalayak untuk membaca ulang dan memahami
entitas Multatuli,” ungkapnya. (ink/red)
0 comments:
Post a Comment