BATAM - Meskipun pembahasan besaran Upah Minimum
Kota (UMK) Kota Batam 2020 baru dimulai pekan terakhir Oktober ini,
namun gambaran angkanya sudah bisa dihitung.
Besarannya diperkirakan bisa mencapai Rp 4,1 juta. Kepala Disnaker
Kota Batam Rudi Sakyakirti, mengatakan, acuan pembahasan UMK tetap pada
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 yang penghitungan
besarannya mengacu pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional.
”Acuannya tetap PP 78 itu,” ujar Rudi, belum lama ini.
Persentase pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi nasional kemudian
dikalikan dengan besaran UMK tahun ini (2019). Sehingga akan didapat
besaran kenaikan UMK 2020.
Bank Indonesia (BI) sendiri memperkirakan pertumbuhan ekonomi
Indonesia hingga akhir tahun ini berada di kisaran 5 hingga 5,4 persen.
Sementara inflasi berada di angka 3,5 persen ±1. Jika pertumbuhan
ekonomi Indonesia diambil angka 5 persen dan inflasi di 3,5 persen, maka
besaran UMK Batam 8,5 persen dikali dengan UMK 2019 yang besarnya Rp
3,8 juta, diperoleh besaran kenaikan UMK untuk 2020 sebesar Rp 323 ribu
dari UMK 2019.
Atau sekitar Rp 4,1 juta (Rp Rp 4.123.000). Kepala Bank Indonesia
Perwakilan Kepri, Fadjar Majardi, menyebut, perekonomian Indonesia
dipengaruhi perkembangan perekonomian dunia.
Khususnya dipengaruhi ketegangan hubungan dagang antara Amerika dan Tiongkok yang hingga saat ini masih memanas.
”Ekonomi global yang tumbuh lambat, ketegangan hubungan dagang yang
terus berlanjut, volume perdagangan dunia yang menurun dan penurunan
harga komoditas dunia, risiko investasi itu berpengaruh terhadap
Indonesia,” kata Fadjar, belum lama ini.
Ia menyebut, triwulan kedu-a saja, perekonomian Indonesia tumbuh 5,05
persen (yoy). Sedikit lebih rendah dibandingkan pertumbuhan triwulan
sebelumnya yang tumbuh 5,07 persen (yoy).
Namun, masih lebih baik dibanding pertumbuhan ekonomi Kepri yang tercatat sebesar 4,62 persen (yoy).
Dikutip dari website bi.go.id, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap
terjaga karena ditopang oleh permintaan domestik, terutama didorong
konsumsi swasta dan peningkatan belanja pemerintah.
Fadjar menjelaskan, secara spasial ekonomi tumbuh didukung membaiknya
ekonomi di Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Nusa Tenggara, serta
stabilnya pertumbuhan ekonomi di Jawa.
Sehingga diperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran
5 hingga 5,4 persen, dengan permintaan domestik sebagai sumber utama
pertumbuhan.
Namun, kinerja ekonomi daerah menghadapi tantangan dari dampak berlanjutnya ketidakpastian global.
Akibatnya, ekspor luar negeri tumbuh terbatas di berbagai daerah yang diikuti menurunnya impor.
Sedangkan mengenai Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) sampai dengan
Juli 2019 berada dalam kisaran target 3,5 persen ±1 persen (yoy).
Namun, tekanan inflasi meningkat di beberapa wilayah, terutama
Sumatera, dengan peningkatan inflasi tertinggi terjadi di Sumatera
Utara.
Kondisi ini terjadi seiring naik-nya inflasi kebutuhan pokok, terutama aneka cabai.
”Untuk itu, Bank Indonesia tetap konsisten menjaga stabilitas harga
dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah, baik di tingkat
pusat maupun daerah, guna memastikan inflasi tetap rendah dan stabil,”
katanya.
“Inflasi 2019 diperkirakan berada di bawah titik tengah kisaran sasaran 3,5 persen ±1 persen (yoy),” ujarnya.
Lalu bagaimana dengan pertumbuhan ekonomi Kepri? Fadjar mengatakan,
secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi Kepri 2019 diperkirakan mencapai
4,8 persen hingga 5,2 persen (yoy).
”Adapun faktor pendorongnya antara lain peningkatan jumlah kunjungan
wisman ke Kepri yang hingga Juni 2019 telah mencapai 1,4 juta wisman
atau tumbuh 15,93 per-sen (yoy),” bebernya.
Selain kunjungan wisman, faktor pendorong lainnya yakni komitmen
pemerintah dalam meningkatkan kemudahan investasi dan berusaha di
Indonesia, serta komitmen dalam penyelesaian pembangunan infrastruktur
di Kepri.
”Selain itu juga, dukungan belanja pemerintah melalui penyaluran
bansos seperti stimulus bantuan program keluarga harapan (PKH) dan
bantuan pangan nontunai (BPNT) yang dapat berperan dalam menjaga daya
beli masyarakat,” imbuhnya.
Selain itu, momen perang dagang bisa menjadi kesempatan bagi
Indonesia untuk mengekspor produk-produknya lebih banyak ke Tiongkok.
”Sebenarnya dampak perang dagang itu bisa positif. Kita diuntungkan
karena produk kita bisa menggantikan produk Cina ke Amerika. Kita harus
bisa manfaatkan itu. Kemudian, relokasi pabrik juga harus bisa diambil,”
jelasnya.
Tapi, memang keputusan relokasi bukan sesuatu yang mudah. Apalagi
negara-nega-ra Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam gencar merayu
investor Tiongkok dengan kebijakan karpet merahnya.
”Dan tanah di sana milik pemerintahnya. Kalau di Indonesia kan harus beli,” ungkapnya.
Faktor lainnya yang dapat menahan pertumbuhan ekonomi Kepri tahun ini
yakni pertumbuhan ekonomi dunia yang diproyeksi oleh IMF hanya tumbuh
3,2 persen (yoy), lebih rendah jika dibandingkan 2017 dan 2018 yang
tumbuh sebesar 3,8 persen (yoy) dan 3,6 persen (yoy).
”Begitu juga dengan penurunan volume perdagangan yang menurun.
Kondisi ekonomi global memang sangat berpengaruh kepada Kepri,” ucapnya.
Mengenai tingkat inflasi, BI memprediksi akan bertahan di angka 3,5 persen (yoy).
Namun ketika memasuki akhir tahun, banyak faktor yang dapat menyebabkan kenaikan inflasi.
Contohnya, kenaikan harga kelompok bahan makanan terutama komoditas
yang pemenuhannya dipengaruhi oleh cuaca seperti komoditas sayuran dan
ikan segar.
Penyebabnya yakni karena kondisi cuaca yang tidak menentu.
”Kemudian menjelang akhir tahun perlu diwaspadai periode angin musim
utara yang dapat menyebabkan jalur distribusi bahan makanan di Kepri dan
juga membatasi aktivitas nelayan sehingga memicu kenaikan harga ikan
segar,” jelasnya.
Lalu ada biaya logistik udara yang relatif tinggi dan dapat berdampak
pada distribusi bahan makan sehingga berpotensi meningkatkan dampak
inflasi khususnya komoditas bahan makanan yang datang dari luar Kepri.
”Dan terkahir yakni tren peningkatan harga emas dunia yang
diperkirakan akan terus berlanjut dan berdampak pada harga emas di
pasar,” pungkasnya.
Tetap Mengacu Data Nasional
Sementara itu, Rudi Sakyakirti mengatakan, pembahasan UMK setiap
tahunnya digelar bersama anggota dewan pengupahan kota (DPK), setelah
menerima surat resmi dari Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) terkait
inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
DPK sendiri terdiri dari serikat pekerja dan pengusaha.
”Tahun lalu sebelum dari pusat, ada juga pemaparan dari BPS dan BI
terkait kondisi inflasi dan pertumbuhan ekonomi Batam. Jadi mereka
menerangkan kondisi terkini,” kata Rudi.
Pihaknya belum menerima informasi dari yang bersangkutan untuk kembali menggelar pertemuan dengan DPK terkait pembahasan daerah.
”Belum ada. Biasanya bulan ini. Tapi itu tergantung mereka juga.
Kalau mereka mau memaparkan kami pasti siap mendengarkan. Meskipun yang
diambil nanti tetap yang nasional,” terangnya.
Menurut Rudi, jika ada usulan angka yang berbeda dari pengusaha dan serikat pekerja itu wajar.
”Mereka punya perhitungan masing-masing. Nanti semua akan ditampung
semua. Namun sejauh ini tetap menggunakan formula yang sama dengan tahun
lalu,” ungkapnya.
Rudi mengaku belum bisa berkomentar lebih jauh mengenai besaran angka
upah yang akan diterapkan tahun depan, sebab dasar untuk menghitungnya
masih menunggu data resmi dari Kemenaker.
”Kalau inflasi daerah berbeda dengan pusat. Jadi kami sebagai DPK
hanya menunggu dari pusat. Setelah itu baru pembahasan. Karena yang
dipakai nanti yang pusat,” lanjut mantan Kepala Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Batam ini.
0 comments:
Post a Comment