JAKARTA – Sejumlah kalangan mengingatkan pemerintah untuk
mempercepat pembenahan berbagai regulasi guna memperbaiki iklim
investasi dan kemudahan berusaha. Sebab, saat ini sektor investasi
menghadapi tantangan utama, yakni tren penurunan nilai penanaman modal
dan menyusutnya kemampuan investasi dalam menyerap tenaga kerja.
Apabila tantangan tersebut tidak segera diatasi, dikhawatirkan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam periode kedua pemerintahannya akan
semakin kesulitan mewujudkan gol besar penciptaan lapangan kerja.
Peneliti ekonomi Indef, Andry Satrio Nugroho, meminta pemerintah
lebih akseleratif membenahi iklim investasi lewat pemangkasan regulasi
yang ribet dan tumpang tindih. Apalagi, saat ini kemampuan investasi
dalam menciptakan lapangan kerja telah menurun. “Pemerintah perlu
mendorong agar investasi yang masuk bersifat padat karya dan fokus pada
sektor primer dan sekunder,” ujar dia, ketika dihubungi, Senin (11/11).
Menurut dia, salah satu hal yang mendukung peningkatan investasi
adalah rendahnya biaya pekerja. Investasi akan mengejar daerah yang
masih menawarkan biaya pekerja yang relatif lebih rendah sehingga daerah
tersebut perlu segera berbenah agar dapat menghadirkan iklim investasi
yang kondusif.
Terkait pembenahan regulasi, Presiden Jokowi meminta menteri Kabinet
Indonesia Maju mencabut 40 aturan sekaligus ketika ingin menerbitkan
satu aturan baru, misalnya peraturan menteri (permen).
Hal itu, menurut Presiden, terinspirasi dari kebijakan pemerintah
Amerika Serikat (AS). Seperti diungkapkan Menteri Perdagangan AS, Wilbur
Ross, jajaran menteri AS akan diizinkan menerbitkan satu aturan baru
asal turut mencabut dua aturan lain. “Permen di sini terlalu banyak,
banyak sekali. Tolong ini mulai dikaji, keluarkan satu permen, potong
berapa permen,” papar Jokowi saat rapat terbatas di Istana
Kepresidenan, Jakarta, Senin.
Menurut Kepala Negara, hal ini perlu dilakukan agar peraturan
pemerintah tidak terlalu banyak dan rawan tumpang tindih. Apalagi,
bila penerbitan aturan baru itu malah menyusahkan iklim investasi dan
kemudahan berusaha.
Pemerintah juga sedang menyiapkan kebijakan penyatuan beberapa undang-undang (UU) sekaligus atau dikenal dengan istilah omnibus law.
Kebijakan ini memungkinkan pemerintah mengeluarkan satu aturan baru
yang merevisi sejumlah UU yang berkaitan pada suatu sektor atau bidang.
Nantinya, omnibus law tersebut melahirkan UU Cipta Kerja dan UU Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Kedua beleid itu
sejatinya tengah dipersiapkan oleh jajaran menteri dan sudah
dikomunikasikan ke DPR. “Jika ada (regulasi) yang menghambat, segera
dipangkas atau diusulkan untuk dipangkas kepada Presiden,” kata
Presiden Jokowi.
Peralihan Investasi
Sementara itu, kemampuan investasi menyerap tenaga kerja di
Indonesia dikabarkan kian menurun. Hal itu disebabkan oleh peralihan
investasi dari sektor manufaktur ke jasa.
Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal
Asing (PMA) sepanjang Januari–September 2019 pada sektor manufaktur
sebesar 147,3 triliun rupiah atau merosot 33,7 persen dibandingkan
periode sama 2018 senilai 222,3 triliun rupiah.
Di sisi lain, serapan tenaga kerja dari realisasi investasi juga
menyusut. Pada Januari–September 2019, serapan tenaga kerja sebanyak
703.296 orang atau lebih kecil dibandingkan periode sama tahun lalu
yang mencapai 704.813 orang.
Menanggapi hal itu, ekonom Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
Achmad Ma’ruf, mengatakan bahwa Indonesia tidak bisa dininabobokan oleh
industri 4.0, tapi melupakan struktur dasarnya. “Tidak ada jalan lain,
Indonesia mesti bergerak cepat dalam memperbaiki setting industri 3.0 berbasis agroindustri yang masih merupakan kekuatan nyata dalam negeri,” jelas dia.
Ma’ruf menyatakan produktivitas di sektor manufaktur yang lemah
karena pelemahan ekonomi dunia membuat penciptaan laba di sektor itu
jadi terganggu.
0 comments:
Post a Comment