JAKARTA - Pengelolaan APBN 2019 dinilai menghadapi tantangan yang
cukup berat sehingga hampir semua asumsi dasar ekonomi makro meleset.
Sementara itu, seretnya penerimaan negara menyebabkan realisasi
penarikan utang yang lebih besar. Hingga akhir Oktober 2019,
pemerintah tercatat sudah menarik utang 384,52 triliun rupiah, atau
107,03 persen dari target yang sebesar 359,25 triliun rupiah.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi hingga Oktober 2019 mencapai 5,02
persen. Capaian ini lebih rendah dari asumsi awal dalam APBN sebesar 5,3
persen. Sejumlah kalangan menilai kenaikan utang hingga melampaui
target seharusnya justru mendorong pertumbuhan lebih tinggi, jika utang
benar-benar dikelola secara efektif untuk kegiatan produktif.
Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, mengatakan pemerintah
seharusnya mendorong penggunaan utang untuk kegiatan produktif. Namun
melihat kondisi saat ini, dia menilai bahwa yang dilakukan pemerintah
bukan merupakan skema yang tepat dalam penggunaan utang karena hanya
untuk menambal defisit, bukan untuk mendukung program prioritas
pemerintah.
“Program prioritas itu seperti untuk infrastruktur, jalan, jembatan,
jalan tol, dan sebagainya. Namun kalau melihat sekarang, utang sebagai
ganjalan defisit APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara),” ujar
Tauhid, di Jakarta, Senin (18/11).
Selain itu, lanjut dia, penggunaan utang dalam anggaran negara
semestinya juga diarahkan kepada sektor-sektor yang mampu mendorong
penciptaan lapangan kerja lebih banyak. Ini sekaligus mengantisipasi
ledakan usia produktif saat bonus demografi tiba.
“Sekarang ini kan belanja kita banyak di pertahanan,
kepolisian. Semestinya, diberikan pula kepada yang mendorong sektor
perekonomian yang lebih besar, misalnya untuk industri, pertanian,
sebagian sektor pertambangan. Didorong investasi besar-besaran ke situ,”
papar Tauhid.
Dia menjelaskan dengan mengarahkan APBN untuk penyerapan tenaga kerja yang lebih tinggi, akan menimbulkan dampak ikutan atau multiplier effect yang lebih luas, atau memanfaatkan utang ke arah yang lebih produktif untuk meningkatkan nilai tambah.
“Intinya, bagaimana memanfaatkan utang agar lebih efektif untuk mendorong perekonomian,” tutur Tauhid.
Dia menambahkan dengan defisit APBN yang mencapai 1,8 persen dari
Produk Domestik Bruto (PDB) pada Oktober 2019, maka sampai akhir tahun
ini defisit akan melebar menjadi 2,2 persen. Ini akan membuat
pemerintah kembali berutang guna menambal defisit.
“Karena defisit yang diperkirakan akan 1,8 persen, sekarang ini sudah
1,8 persen. Diprediksi kita nanti akan defisit mencapai 2,2 persen.
Artinya, kita harus menambah pembiayaan utang. Defisitnya bisa 296
triliun rupiah atau mungkin sekitar 300 triliun rupiah. Jadi, mau nggak mau nanti utang lagi,” tukas Tauhid.
Dihubungi terpisah, Guru Besar Ekonomi Universitas Surabaya, Wibisono
Hardjopranoto, menambahkan agar utang dapat produktif, iklim investasi
harus diberi keleluasaan, serta penegak hukum membasmi korupsi yang
secara nyata memperburuk perekonomian.
Asumsi Makro
Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah kembali meningkat,
sampai Oktober 2019 mencapai 4.756.13 triliun rupiah. Sedangkan rasio
utang terhadap PDB sebesar 29,87 persen.
Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, mengatakan realisasi
penarikan utang yang lebih besar disebabkan risiko dari seretnya
penerimaan negara.
“Kalau kita lihat pembiayaan dengan kondisi penerimaan seperti tadi,
kondisi belanja negara seperti tadi maka kita lihat itu penerimaan
sepenuhnya nggak dicapai sesuai target,” kata Suahasil, Senin.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyatakan defisit APBN pada
Oktober 2019 lebih dalam dari periode sama tahun lalu sebesar 237
triliun rupiah atau 1,6 persen dari PDB. “Posisi Oktober defisit kita
adalah pada angka 289,1 triliun rupiah atau sebesar 1,80 persen terhadap
PDB,” kata Sri Mulyani, Senin.
Dari sejumlah asumsi dasar ekonomi makro 2019, hanya target inflasi
yang terpenuhi, sedangkan target-target lain tidak tercapai, seperti
pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, harga minyak mentah, lifting minyak, dan lifting gas.
0 comments:
Post a Comment