![]() |
Firmawati | Aktivis Nasyiatul Aisyiyah Pangandaran |
Perpu Nomor 2 tahun 2020 merupakan sebuah produk hukum yang
dinanti-nanti guna menjawab kepastian jadwal pilkada yang saat ini
ditunda akibat pandemik covid-19.
Dalam Penundaan tersebut KPU mengeluarkan jurus sebuah terobosan
hukum yaitu Surat Edaran KPU RI No 179/PL-02-Kpt/01/KPU/III/2020 tentang
Penundaan Tahapan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020 dalam Upaya
Pencegahan Covid-19.
Peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diundangkan pada 4
Mei 2020 ini secara khusus berupaya menjawab kepastian bahwa pelaksanaan
pemungutan suara serentak yang sempat ditunda akan dilaksanakan pada
bulan Desember 2020.
Hal tersebut secara eksplisit tertuang pada Pasal 201 A ayat (2), Itu
berarti tahapan pilkada yang kemarin sempat tertunda akan segera
dimulai lagi awal Juni mendatang.
Jika Tahapan pilkada dimulai kembali awal Juni verifikasi syarat
minimal dukungan bakal calon perseorangan yang telah dilakukan oleh KPU
dan diawasi oleh Bawaslu akan segera dilanjutkan dengan tahapan
verifikasi faktual syarat minimal dukungan bakal calon perseorangan.
Regulasi mengatur bahwa verfak harus dilakukan langsung oleh petugas
verfak pada orang peroangan yang namanya tercantum dalam syarat dukungan
bakal calon perseorangan dengan menggunakan sitem sensus door to door.
Persoalan pertama yang dihadapi dalam pelaksanaan pilkada dijumpai
pada pelaksanaan verfak. Pelaksanaan verfak dilaksanakan saat penyebaran
covid masih tinggi, tentu akan muncul sikap publik yang enggan atau
menolak kedatangan petugas verfak.
Saat ini publik enggan melakukan kontak apalagi dengan orang yang
melakukan mobilitas tinggi. Secara teknis verfak dilakukan harus melalui
tanya jawab antara verifikator seputar pencocokan data diri warga yang
memberikan dukungannya pada bacalon perseorangan yang ditunjang dengan
bukti kartu identitas.
Jika pendukung menyatakan tidak memberikan dukungannya, yang
bersangkutan akan diminta mengisi berita acara dalam form. Selain itu
verifikator akan meminta foto bersama sebagai bukti pelaksanaan verfak.
Rangkaian kegitan verfak yang seperti itu menjadika wajar dalam
kondisi seperti ini publik tidak welcome dengan kedatangan petugas.
Tentu akan menimbulkan sikap yang lebih kooperatif jika verfak dilakukan
setelah pandemik benar-benar usai.
Selain reaksi publik, juga timbul kekhawatiran bahwa petugas akan
mundur sebagai penyelenggara pilkada, dikarenakan tidak ada jaminan
dirinya terlindung tidak akan terpapar covid-19 pada saat menjalankan
tugas verfak juga tugas –tugas di tahapan lainnya.
Resiko lain yang juga tidak kalah besar ada dalam tahapan kampanye.
Dalam tahapan kampanye tentu memerlukan mobilisasi masa baik saat
pelaksanaan kampanye maupun sebelum kampanye dimulai.
Misalnya kegiatan mengumpulkan timses, jurkam dan relawan. Mobilisasi
masa yang melibatkan publik yaitu para pemilih terjadi pada
aktivitas-aktivitas kampanye seperti kampanye tatap muka, kampanye
pertemuan terbatas, kampanye terbuka dan metode lainnya.
Selain itu agenda-agenda yang dimiliki oleh penyelenggara juga
memerlukan pengumpulan masa seperti sosilaisai partisipasi pemilih,
sosialisasi pengawasan partisipatif, sosialisasi pencegahan pelanggaran
pilkada hingga penguatan pemahaman bagi stakeholder pemilu.
Pelaksanaan pungut hitung yang direncanakan pada Desember 2020
menjadi tahapan yang dinilai memberikan resiko yang paling tinggi dalam
penyebaran covid-19 melalui dilaksanakannya pilkada tahun ini.
Pemilih bermobilisasi ditempat umum yaitu di TPS pada waktu yang
bersamaan dan relatif singkat. Selain itu Penggunaan alat logistik
pemilu yang bergantian, antrian di TPS pada saat pemungutan suara,
hingga kerumunan masyrakat yang menyaksikan penghitungan surat suara
akan mengabaikan physical distancing.
Terhadap permasalah itu KPU RI belum memiliki skenario yang jelas
guna menghindari resiko pemaparan virus covid-19 pada setiap tahapan.
Masalah lainnya anggaran pilkada tidak bisa menunjang kreatifitas KPU
dalam membekali TPS dengan alat pelindung diri, masker, handsanitizer,
disinfektan, sarana cuci tangan dll.
Kita sama-sama mengetahui bahwa Indonesia benar-benar belum dalam
kondisi yang sehat. Hari ini curva penyebaran virus dikabarkan masih
landai belum mengalami penurunan, bahkan kabar lainnya menyebutkan
dibeberapa daerah kasus positif covid-19 kian meningkat.
Penjadwalan Pilkada di Desember 2020 berarti memaksakan new normal
pada publik di awal Juni mendatang. Tentu publik belum memiliki cukup
pengetahuan dan waktu untuk beradaptasi. Memaksakan pilkada ditengah
pandemik tentu memiliki resiko penyebaran virus, demokrasipun akan
mengalami kemerosotan dari segi partisipasi pemilih.
Di samping itu isu pilkada tidak menjadi isu utama yang hadir
ditengah publik. Publik akan lupa menilai dan mengevaluasi kualitas dan
integritas calon pemimpinnya. Pragmatisme menguat dikala ekonomi
masyarakat melemah akibat pandemik. Situasi ini akan menjadikan politik
transaksional meningkat.
Perpu Nomor 2 Tahun 2020 juga mengatur opsi penundaan dan penjadwalan
kembali pilkada, jika pada bulan Desember 2020 pemungutan dan
penghitungan suara tidak dapat dilaksanakan akibat bencana nasional
pandemi corona virus disease 2019 (covid-19) belum selesai.
Klausal tersebut termaktub dalam Pasal 201 A ayat (3), politik
hukumnya seolah hanya meramal pandemi yang diperkiraakan berakhir pada
saat pelaksanaan pungut hitung di Desember 2020. Padahal kenyataan hari
ini tahapan pilkada harus segera kembali dilaksanakan sambil bermain
‘petak umpat’ dengan pandemi.
Sekali lagi pelaksaan pilkada di Desember 2020 perlu dipertimbangkan
kembali, karena sejatinya pesta demokrasi haruslah dilaksanakan tanpa
mempertaruhkan kesehatan dan keselamatan banyak orang. Bahwa Hak politik
dan Hak keselamatan publik bukanlah hal yang patut menjadi pertaruhan
dalam pesta demokrasi sebagai penutup tahun 2020.
0 comments:
Post a Comment