Masyarakat nusantara memiliki keterkaitan historis dengan tradisi populisme. Sebagai masyarakat berkultur maritim sekaligus agraris ditambah latar belakang budaya dan spiritualitas Timur yang kokoh, semangat dan praktik kolektivisme lazim kita temukan di mana pun. Namun populisme sebagai sebuah kekuatan rakyat, secara politis, memiliki cap prasangka yang traumatik di republik ini.
Makna politis gerakan populisme rentan diasosiasikan pada gerakan atau entitas sosial rakyat yang menggunakan mobilisasi perlawanan kelas dan simbol ideologis ataupun politik identitas sebagai landasan kritik ekonomi-politik kelompok marjinal terhadap rejim dominan.
Populisme, oleh rejim dominan, kerap pula dituduh hanya bertujuan mengantarkan kepemimpinan populer mencapai puncak kekuasaan melalui cara-cara penggalangan massa rakyat namun selanjutnya kesulitan menghadirkan kebijakan yang realistis dan relevan. Adalah benar, legitimasi dan dukungan
rakyat menjadi sesuatu yang maha penting untuk
diperoleh, dimobilisasi, tak jarang diklaim oleh setiap rejim, institusi atau
aktor politik manapun di negara bersistem apapun. Namun harus diingat, hanya
dengan visi idealisme dan visi demokrasi yang sehat, partisipasi rakyat yang
genuine dan produktif, keberlanjutan sebuah negara-bangsa dapat terjamin. Dalam
konteks pembangunan yang luas, pergerakan dan upaya mendapatkan dukungan
otentik rakyat ke arah pencapaian tujuan-tujuan kepentingan nasional adalah
sebuah kewajiban dan keahlian yang harus dimiliki setiap pemerintah. Dalam
konteks kebangsaan kita hari ini, segenap kepemimpinan harus dapat menggalang
kekuatan rakyat secara demokratis, namun solid dan kokoh, sekaligus
rekonsiliatif untuk mencapai tujuan-tujuan nasional kita tersebut. Kebutuhan
kita hari ini adalah keluar dari ancaman pertengkaran sesama rakyat serta
pertengkaran sesama elite politik. Tantangan bangsa ini yang lebih substansial
adalah menurunkan tingkat kesenjangan dalam berbagai aspek.
Agar dapat lebih maju, sebagai negara peringkat ekonomi tengah, Indonesia harus
dapat terhindar dari apa yang disebut pengamat ekonomi sebagai middle income
trap. Hal itu dilakukan antara lain dengan kerja keras mengoptimalkan bonus
demografi – menggalang kelompok usia produktif rakyat yakni anak muda yang
berjumlah besar – untuk mewujudkan percepatan dan pemerataan kesejahteraan
seluruh rakyat. Guna menghadapi tantangan tersebut, pertama, kemauan (fokus dan
optimisme) serta kemampuan (kapasitas dan karakter) rakyat harus diperkuat.
Bangun momentum nasional bahwa bangsa ini harus segera ‘naik kelas’. Presiden Jokowi sudah mencanangkan sebuah formula perubahan dan perbaikan nasib rakyat hanya dapat didorong melalui jalan kesadaran dan perjuangan bersama yang termanifestasi pada sebuah kekuatan rakyat yang bersatu, berikhtiar dan bergotong-royong.
Kedua, fokuslah setiap lapis pemerintahan pada solusi dan pembenahan problem-problem riil rakyat yang membuat kita sebagai bangsa selama ini dianggap tidak kompetitif.
Tata pemerintahan, akuntabilitas, kebijakan sosial ekonomi, infrastruktur, dan layanan publik; persoalan sumber daya manusia; serta aspek integritas dan penegakan hukum harus dibenahi secara serius dan transformatif jika mau memenuhi prasyarat menjadi bangsa maju.
Globalisasi adalah kontestasi sekaligus kolaborasi. Jangan lupa, nasionalisme kita berasal dan tumbuh mekar serta ikut memperindah taman sarinya internasional. Kita harus menjadi bangsa yang mampu 'menjinakkan' apa yang disebut Manfred Steger sebagai globalism, dan mempertemukannya secara dinamis dengan potensi dan tradisi otentik kita sendiri.
Sejalan dengan kepentingan nasional kita sendiri. Agar tak merugi ‘dimakan’ globalisme tersebut, kita membutuhkan kekuatan politik domestik yang kolaboratif, berkarakter dan cerdas yang dapat menjadi fondasi kokoh untuk mampu 'bernegosiasi' dengan kehendak ekonomi-politik luar yang berbagai rupa dan kerap kali tamak.
Karena itu, penguatan basis-basis ekonomi-politik kerakyatan dan pilar-pilar tradisi yang fundamental harus dipersiapkan dan dibangkitkan. Bukan melalui jalan politik yang manipulatif dan konfliktual yang kerap ditemukan dalam berbagai gerakan populisme yang tersesat. Namun melalui jalan kebudayaan yang melahirkan kesadaran budi pekerti, toleransi dan solidaritas; jalan pendidikan yang melahirkan partisipasi, empati dan kreativitas; serta jalan sosial ekonomi yang melahirkan kemandirian, kemajuan, dan gotong royong.
Menghadapi konstalasi politik dunia yang tampak saat ini tengah bergerak rentan, setiap rejim pemerintah di banyak negara-bangsa yang waras bergegas melakukan langkah antisipasi untuk melindungi rakyatnya dan kepentingan nasionalnya masing-masing.
Di sini harus diingat, negara-bangsa tanpa kesetiaan pada tradisi dan visi idealisme-nya sendiri, pada inovasi sosial ekonomi-nya sendiri, serta gagal pula dalam membangun kekuatan dan kedisiplinan sosial politik rakyat, elite dan pemerintahnya sendiri, adalah sebuah negara-bangsa yang tinggal menunggu waktu kebangkrutannya.
Tren politik dunia hari ini sekonyong-konyong menempatkan pertemuan berbagai partikularisme sosial politik yang berbeda pada rakyat dalam sebuah skenario kontradiksi yang konfliktual. Sebagai bangsa yang memiliki nilai-nilai, tradisi historis, kehormatan serta cita-cita nasionalnya sendiri, sejatinya harus dapat memilih trajektori ekonomi-politiknya yang berbeda dari 'gendang' tren politik dunia tersebut.
Sebagaimana nasihat Kanjeng Sunan Kalijaga di suatu masa: sura dira jaya
jayaningrat, lebur dening pangastuti. Segala sifat keras hati, picik, angkara
murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar.
Sebagai negara-bangsa, kita harus mampu menghadapi tiap turbulensi politik
dengan sebuah setting konsolidasi internal, ketabahan, akal sehat dan
pengelolaan tertib politik yang tepat, berkemanusiaan dan berkemajuan. Dalam hal
ini, segenap elite kepemimpinan politik harus sadar, untuk no drama no karma,
hentikan intrik politik yang memecah dan membuat susah. Negara harus dapat
berfungsi efektif dan amanah. Rakyat tidak ditinggalkan, dikorup, apalagi
dikorbankan, melainkan digerakkan, digembirakan dan diangkat harkat
martabatnya.
Begitulah Indonesia Raya. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Suara Rakyat, Media Sosial dan "The New Politics"", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2016/06/21/19110091/Suara.Rakyat.Media.Sosial.dan.The.New.Politics..
Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L
0 comments:
Post a Comment