![]() |
TEHERAN - Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei pertama kali meramalkan pada 2015 bahwa Israel tidak akan menyaksikan 25 tahun ke depan.
"Pertama, Anda (Israel) tidak akan melihat 25 tahun ke depan," ungkap Khamenei.
"Insya
Allah, tidak akan ada yang namanya rezim Zionis dalam 25 tahun. Sampai
saat itu, semangat perjuangan, heroik dan jihad tidak akan meninggalkan
momen ketenangan bagi Zionis."Hal ini disebutkan sehubungan dengan kesepakatan nuklir Joint
Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang ditandatangani awal tahun itu
antara Teheran dan P5 + 1 yang secara teori akan berakhir dalam waktu 25
tahun. Dalam konteks inilah pernyataan itu muncul.Jika dikurangi sampai tahun 2021, maka kehancuran Israel diperkirakan tinggal 19 tahun lagi menurut ramalan tersebut. Retorika semacam itu pernah dibuat di masa lalu oleh Iran, misalnya,
mantan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengatakan 10 tahun sebelumnya,
"Rezim yang menduduki Yerusalem harus lenyap dari halaman waktu."
Perkataan
Ahmadinejad itu secara populer salah diterjemahkan dan salah dikutip
oleh media-media Barat pada saat itu menjadi "Israel harus dihapus dari
peta." Kutipan asli perkataan Ahmadinejad itu sendiri dikaitkan dengan pernyataan pendiri Republik Islam Ayatollah Ruhollah Khomeini.
"25
tahun" dalam beberapa hal telah menjadi mantra, dan ditulis ulang
secara resmi di website Khamenei pada tahun berikutnya pada 2016.
Kepala
Angkatan Darat Iran, Mayor Jenderal Abdolrahim Mousavi mengulangi klaim
tersebut pada 2017 selama acara memperingati kejatuhan saat Perang
Iran-Irak. Mousavi juga dikutip baru-baru ini oleh outlet berita Iran, mengomentari
kerusuhan di Palestina bahwa, "Tanda-tanda jatuhnya pembunuh anak-anak
dan rezim Zionis yang tidak sah telah menjadi bukti."
"Ada juga
indikasi yang menjanjikan tentang perubahan keseimbangan kekuatan yang
berpihak pada Palestina. Ini semua menunjukkan kebenaran prediksi bahwa
rezim Zionis tidak akan melihat 25 tahun ke depan," tambah dia.
Namun,
mengingat situasi politik saat ini antara Israel dan Palestina, yang
berpusat pada serangan brutal Israel dan penodaan kompleks Masjid
Al-Aqsa serta penggusuran paksa di Sheikh Jarrah dan konflik yang
semakin mendekati intifada ketiga, tampaknya prediksi Khamenei mungkin
benar-benar terwujud, tak hanya retorika.
Faktanya, kepala negara Iran bukanlah orang pertama yang meramalkan jatuhnya Israel di masa depan.
Negarawan
senior Amerika Serikat (AS) Henry Kissinger, yang berasal dari
keturunan Yahudi dan hampir berusia seratus tahun, kurang bermurah hati
dalam prediksinya sendiri tentang nasib negara Yahudi itu.
Dia diduga telah menyatakan pada 2012 bahwa, "Dalam 10 tahun tidak akan ada lagi Israel."
Meski diakui Haaretz, Times of Israel yang mengutip salah seorang staf Kissinger membantah pernyataan tersebut.
Jika
memang mantan menteri luar negeri AS itu benar-benar membuat pernyataan
tersebut, maka ramalan keruntuhan Israel akan terjadi tahun depan.
Ide-ide tentang kemampuan Israel bertahan hidup, ternyata lebih dekat daripada yang diyakini Israel dan para pendukungnya.
Dalam
artikel opini bulan Februari di Yedioth Ahronot, mantan kepala Shin
Bet, Yuval Diskin, menyesalkan Israel tidak akan bertahan untuk generasi
berikutnya. Dia tidak berbicara secara kiasan.
Diskin
menjelaskan, "Saya tidak berbicara tentang ancaman nuklir Iran, rudal
Hizbullah, atau Islam fundamentalis ekstremis. Saya berbicara tentang
tren demografis, sosial dan ekonomi yang telah mengubah esensi negara
dan ditakdirkan untuk membahayakan eksistensinya di satu generasi."
"Dalam waktu sekitar 40 tahun, sekitar setengah dari warga Israel akan menjadi ultra-Ortodoks dan Arab," tulis dia.
Ini
jelas merupakan masalah keamanan bagi Israel, terutama karena keduanya
dikecualikan dari militer dan seperti yang diakui Diskin, "Keduanya
lazim dalam kecenderungan anti-Zionis."
Teori bom waktu
demografis telah dibahas banyak sekali selama bertahun-tahun, terutama
ketika seseorang mempertimbangkan populasi gabungan Gaza dan Tepi Barat,
bersama dengan apa yang disebut populasi Arab Israel, yang mencakup
sekitar 20% dari populasi Israel.
Oleh karena itu Israel tidak
bisa menjadi negara mayoritas Yahudi dan demokrasi pada saat yang sama.
"Jika tidak bisa keduanya, impian Zionis di mana Israel didirikan akan
berakhir," demikian pendapat jurnalis Michael Petrou pada 2008.
0 comments:
Post a Comment