![]() |
Presiden Keluarga Alumni (KA) Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Fahri Hamzah. |
JAKARTA-Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah kritisi nilai yang diberikan Indonesia Corruption Watch (ICW) ke penegakkan hukum dalam negeri. Pengembalian duit korupsi triliunan rupiah kalah dengan pameran uang Rp10 juta.
Pengembalian duit korupsi yang dimaksud Fahri yakni sejumlah tangkapan koruptor oleh Kejaksaan Agung diberikan nilai C oleh ICW. Ia menilai mengukur kinerja seharusnya bukan berbasis pencitraan.
"Kinerja yang dilakukan kejaksaan lebih konkret yaitu pengembalian kerugian negara. Saya melihat ada orang tidak senang dengan upaya pengembalian negara. Dianggap tidak heroik dibandingkan pakein baju, terus pameran uang Rp10 juta," tutur Fahri di Jakarta
"Makanya saya bilang salah kalau ponten jelek. Kalau saya pontennya dipengembalian. Makanya saya kasih A+," ucap Fahri.
Ia mengibaratkan terdapat dua orang pekerja, yang satu berpenampilan menarik, rapih, dengan memakai jas. Sedangkan, seorang pekerja lain, berpenampilan urakan, kumel, dan gondrong. Namun, hasil di antara keduanya jauh berbeda.
Fahri mengapresiasi Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam pemberantasan korupsi, yang tidak gembar-gembor, tapi terus bekerja dalam senyap. Burhanuddin dinilai Fahri telah melakukan terobosan mengenai penerapan restorative justice dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
"Makanya saya kagum karena kemarin saya membaca pidato pak Jaksa Agung, itu menurut saya terobosan," ujar Fahri.
Fahri berujar komunikasi publik Kejaksaan Agung mulai membaik. Sebab, instansi penegak hukum juga harus transparan sebagai bentuk pertanggungjawaban dan edukasi ke masyarakat.
"Tidak bisa lagi hukum sebagai alat balas dendam. Restorative justice harus menjadi jiwa dalam penegakkan hukum," katanya.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan nilai 'E' terhadap kinerja penegak hukum dalam penindakan kasus korupsi periode 2020. E diartikan ICW sebagai nilai yang sangat buruk. Dari tiga institusi penegak hukum yang berwenang untuk mengusut kasus korupsi, ICW memberikan nilai C kepada Kejaksaan Agung dan nilai E masing-masing kepada KPK dan Kepolisian RI.
ICW menyebut Kejaksaan Agung sampai akhir 2020 menangani sebanyak 259 kasus korupsi dengan anggaran penanganan kasus mencapai Rp75,3 miliar.
"Kinerja penindakan kasus korupsi oleh Kejaksaan cukup baik dalam aspek kuantitas yaitu sekitar 46 persen atau masuk dalam kategori C atau Cukup," tambah Wana.
Sebagian besar kasus yang ditangani Kejaksaan Agung, dicatat ICW merupakan kasus baru yaitu sebanyak 222 kasus, selanjutnya pengembangan kasus sebanyak (34 kasus) dan OTT sebanyak 3 kasus.
"Kejaksaan juga institusi yang paling sering menangani kasus korupsi yang terjadi di BUMN, yakni sebanyak 16 dari 22 kasus yang disidik oleh penegak hukum," ungkap Wana.
Namun dalam profesionalisme penindakan kasus, ICW menduga terdapat sejumlah kantor Kejaksaan yang tidak menangani kasus korupsi.
"Artinya, Kejaksaan Agung perlu melakukan evaluasi terhadap setiap Kejaksaan yang terbukti tidak bekerja. Kejaksaan Agung pada kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung juga diduga tidak independen dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan," kata Wana.
0 comments:
Post a Comment