» Negosiasi pengurusan izin di PLN bisa sampai lima tahun sehingga biaya investasi membengkak.
» PLN juga kerap mengulur-ulur waktu pemberian izin ke PLTS Atap.
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat meresmikan dua Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Poso, Jumat (25/2), mengingatkan PT PLN agar terus memperbaiki praktik birokrasi yang kerap dikeluhkan investor yang tertarik berinvestasi di sektor energi.
"Yang ingin saya tekankan pada pagi hari ini agar birokrasi, utamanya di PLN, itu betul-betul Pak Dirut perhatikan, jangan sampai ada keluhan lagi," kata Presiden dalam sambutannya saat meresmikan PLTA Poso Energy dengan kapasitas 515 megawatt (MW) di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, dan PLTA Malea Energy 90 MW di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Sentilan Presiden itu merespons keluhan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyampaikan pengalamannya menghadapi birokrasi berlarut-larut di PLN dalam proses pembangunan PLTA.
Kalla pada kesempatan itu menyarankan penyederhanaan proses birokrasi di PLN untuk investasi pembangunan pembangkit listrik energi hijau serta energi baru terbarukan (EBT) guna memuluskan pencapaian target-target pengurangan emisi.
"Ini proses negosiasinya lima tahun Pak, baru negosiasi. Kemudian mengerjakannya tujuh tahun, jadi total 12 tahun. Mudah-mudahan bisa diperpendek, negosiasi setahun cukup," kata Kalla.
Menanggapi keluhan tersebut, Presiden pun mengajak segenap pemangku kepentingan untuk sama-sama berpikir beban yang dihadapi investor ketika berinvestasi sektor energi.
Menurut Presiden, persoalan birokrasi hanya sebagian dari hal-hal yang harus diatasi investor sektor energi, sebelum kemudian juga berhadapan dengan masalah mendapatkan pendanaan proyek.
"Seperti disampaikan tadi, negosiasi perizinan sampai lebih dari lima tahun. Sekuat apa pun orang ngurus izin negosiasi lebih dari lima tahun itu bisa kecapekan dan belum kerja di lapangan," kata Jokowi.
"Coba kalau investornya tidak tahan banting pasti sudah mundur. Lima tahun ngurus enggak rampung-rampung, itu baru izinnya. Belum nanti mendapatkan pendanaan dari konsorsium perbankan, bukan sesuatu yang gampang," tambah Kepala Negara.
Untuk dua PLTA yang diresmikan itu memiliki total kapasitas 605 MW dengan nilai investasi mencapai 17 triliun rupiah.
Standar Baku
Pengamat Energi dari Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan setuju dengan peringatan Presiden Jokowi. Meskipun proses perizinan sudah satu pintu di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), tetapi dalam konteks Independent Power Producer (IPP) tetap harus melakukan negosiasi dengan PLN sebagai off taker.
"Kalau proses negosiasi lama, proses Power Purchase Agreement (PPA) tertunda dan begitu juga financial close agreement," kata Fabby.
Hal itu, jelasnya, bisa diatasi dengan membuat klausul standar PPA atau model kontrak PPA yang baku agar proses negosiasi lebih cepat dan biayanya lebih murah.
Selain PLTA, hal yang sama juga dihadapi pengembang energi terbarukan, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap yang saat ini terkendala mendapat izin PLN dan terkesan tidak transparan dan sering mengulur waktu pemberian izin tersebut.
"Ini perlu menjadi perhatian Bapak Presiden karena pelaku industri terhalangi berinvestasi di energi terbarukan," kata Fabby.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi dari Universitas Surabaya, Bambang Budiarto, mengatakan peringatan Presiden itu merupakan bentuk kekecewaan terhadap sikap PLN yang secara umum menghambat investasi pada sektor EBT.
"Yang disampaikan Presiden ini sebenarnya boleh dipandang sebagai wujud kekecewaan. Keluhan sebenarnya diawali dari beberapa daerah yang menjumpai tidak adanya titik temu atau terkendala pertimbangan, pemikiran, dan argumen PLN. Hampir di semua daerah dimunculkan pemahaman yang sama bahwa masih ada kecukupan listrik, juga harga yang dikhawatirkan lebih tinggi yang dapat memacu inefisiensi," kata Bambang.
Pada akhirnya, investor pergi, sehingga menjadi kesia-siaan bagi pemerintah yang telah sekuat tenaga menarik investor. Dengan fakta seperti itu maka komunikasi kelembagaan perusahaan perlu dibenahi, termasuk koordinasi di internal perusahaan pada semua lini.
0 comments:
Post a Comment