JAKARTA (Kontak Banten) Selama tiga tahun belakangan ini, berdasarkan hasil survei berbagai lembaga menunjukkan tren positif penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi yang menyebabkan kepercayaan masyarakat kepada Kejaksaan RI semakin meningkat hari demi hari.
Kasus-kasus besar yang diungkap mulai dari kasus PT. Asuransi Jiwasraya, PT. ASABRI, PT. Garuda Indonesia, impor tekstil, impor besi atau baja, baja paduan dan produk turunannya, serta kasus kelangkaan minyak goreng yang menyentuh hajat hidup orang banyak, dimana sebelumnya tidak terpikir oleh sebagian masyarakat berani diungkap.
Kejaksaan RI dibawah kepemimpinan Jaksa Agung RI Burhanudin menekankan kepada jajarannya “yang paling penting dalam Penindakan Tindak Pidana Korupsi adalah Pengembalian Kerugian Negara” dan penyelamatan keuangan negara dapat diselamatkan dengan kuncinya ada pada penelusuran aset-aset para koruptor (asset tracing) sejak dini.
“Sehingga pemulihan aset (recovery asset) menjadi lebih mudah, dimana hasilnya berupa triliunan aset dalam bentuk tanah, kapal, tambang, saham, uang dan emas dapat diselamatkan. Oleh karenanya seluruh jajaran tidak kenal lelah,”ujar Burhanudin dalam rilis yang diterima Kabar6, Sabtu (21/05/2022).
Terobosan Humanis
Setelah setahun menjabat, Jaksa Agung RI Burhanudin membuat terobosan yang sangat humanis, yang disebabkan karena ada beberapa kasus yang seharusnya secara hukum tidak layak untuk dibawa sampai ke persidangan seperti pencurian kayu bakar, pencurian sandal jepit dan perkara lainnya, bahkan ada perkara pelaku melakukan tindak pidana karena keadaan terdesak karena kondisi sosial ekonomi yang menyebabkan pelaku mencuri demi kebutuhan persalinan istri, pengobatan keluarga bahkan demi sang anak agar dapat mengikuti sekolah online di masa pandemi Covid-19.
Hal ini menjadi tolak ukur asas “dominus litis” harus diterapkan berdasarkan pasal 139 dan 140 KUHAP sehingga dikeluarkan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.
Dalam berbagai kesempatan, Jaksa Agung selalu menyampaikan bahwa “keadilan itu tidak ada di buku, tapi ada di hati nurani para penegak hukum” sehingga penanganan perkara harus dilakukan dengan hati dan melihat fakta yang terjadi di masyarakat, serta hukum harus hadir di tengah-tengah masyarakat.
Gagasan-gagasan tersebut terakomodir dalam Pasal 30 C huruf c Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI yaitu “turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi dan kompensasinya”.
Namun hal yang paling penting dalam penerapan keadilan restoratif (restorative justice) yaitu korban mau memberikan maaf kepada pelaku tindak pidana dan hak-hak korban yang ditimbulkan akibat perbuatan pelaku dapat dipulihkan kembali seperti sediakala. Terobosan penegakan hukum tidak cukup sampai disini, Jaksa Agung RI Burhanudin kembali membuat gebrakan dengan membentuk Rumah Restoratif Justice (Rumah RJ) di setiap Kejaksaan yang diawali dari setiap Kejaksaan Negeri/Kabupaten minimal 1 Rumah RJ dan selanjutnya setiap Kecamatan dan setiap desa. Adapun maksud dan tujuan Rumah RJ tersebut untuk menciptakan harmonisasi dan kedamaian di tengah masyarakat.
Saat me-launching Rumah RJ tersebut, Jaksa Agung RI Burhanudin berpesan rumah ini dijadikan rumah masyarakat yang tidak saja berfungsi untuk kepentingan penyelesaian perdamaian perkara pidana tetapi juga bisa untuk menyelesaikan perkara perdata, waris, perkawinan, bahkan digunakan sebagai tempat musyawarah untuk menyampaikan program masayarakat desa dan sosialisasi.
Jaksa Agung RI menyadari peran Jaksa di tengah masyarakat sangat dibutuhkan untuk menghilangkan resistensi atau pembalasan di masyarakat dalam penanganan perkara sehingga kedepannya Pengadilan adalah benteng terakhir pencari keadilan ketika kesepakatan dan damai itu sudah tidak bisa lagi ditetapkan dalam setiap perkara, dan hal ini sesuai dengan prinsip “Ultimum Remidium”.
Restorative Justice merupakan bagian dari instrumen mediasi penal yaitu penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Criminal Justice System, pada hakikatnya diatur secara ketat sebagai lex scripta namun bagaimana pelaksanaan restorative justice yang notabene merupakan perkara yang sudah masuk dalam proses criminal justice system (pro justucia)?
Seharusnya beranjak bahwa asas legalitas hukum acara pidana hanyalah bisa disimpangi oleh hak oportunitas Jaksa Agung RI, artinya hanya Jaksa yang seharusnya dapat menutup atau mengeyampingkan perkara pidana melalui instrumen restorative justice.
Proses panjang pelaksanaan restorative justice pada awalnya banyak pihak yang meragukan dimana bagaimana membangun pola pikir (mindset) Jaksa bahwa ini adalah produk unggulan yang berlandaskan dominus litis Penuntut Umum dan tidak dipermainkan oleh petugas Kejaksaan di lapangan yang justru dapat menciderai kepercayaan dan rasa keadilan masyarakat.
Namun, berkat ketegasan Jaksa Agung RI yang akan menindak tegas setiap pelanggaran dan tindakan tercela yang dapat menciderai program Kejaksaan khususnya menyangkut kepentingan orang banyak dan masyarakat, niscaya Jaksa Agung RI akan memberikan hukuman terberat sampai pidana dan pemecatan. Tidak berhenti disitu, Jaksa Agung RI Burhanudin mengeluarkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 yang ditujukan kepada Penuntut Umum sehingga memiliki acuan menangani kasus penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi.(red/hmspuspemkum)
0 comments:
Post a Comment