![]() |
Diskusi publik yang diselenggarakan oleh
Komite Peduli Indonesia (KPI) dan DPD RI berjudul "Koalisi Rakyat untuk
Poros Perubahan di Bandung, Jabar, Minggu (26/6)/Repro |
JAKARTA ( Kontak Banten) Rakyat Indonesia diminta untuk terus berusaha untuk menghentikan
kejahatan politik yang diakibatkan oleh Presidential Threshold (PT) 20
persen yang merupakan hanya untuk kepentingan oligarki. Seruan itu disampaikan oleh Pemerhati Kebangsaan, Muhammad Rizal
Fadillah di acara diskusi publik yang diselenggarakan oleh Komite Peduli
Indonesia (KPI) dan DPD RI berjudul "Koalisi Rakyat untuk Poros
Perubahan" di Ballroom Masjid Agung Trans Studio, Bandung, Jawa Barat
maupun melalui virtual, Minggu siang (26/6).
Rizal mengatakan, sumber penyakit atas kondisi bangsa yang ada saat ini adalah "raja" yang bermasalah "Saya kira itu adalah solusi kita, bahwa enough Pak Jokowi, enough.
Cukup Pak Jokowi, cukup. Jadi, rakyat atau masyarakat harus menghentikan
secepatnya, tidak bertele-tele," ujar Rizal seperti dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Minggu malam (26/6).
Menurut
Rizal, hal itu merupakan tindakan konstitusional yang termaktub dalam
Pasal 7 A dan Pasal 7 B UUD 1945 yang membuka kesempatan kepada rakyat
bahwa menghentikan presiden dari jabatannya sebelum selesai masa
jabatannya adalah dilindungi oleh konstitusi.
"Jadi, upaya ini
upaya yang legal. Rakyat harus menghentikan. Karena sudah parah sekali
kerusakan yang diakibatkannya," kata Rizal.
Selanjutnya kata
Rizal, ketika akan menggantikan dengan presiden berikutnya, tidak boleh
lagi ada angka 20 persen, atau PT 20 persen. Bahkan, PT 20 persen
menurut Rizal, merupakan kepentingan oligarki, tidak demokratis, dan
kejahatan politik melalui hukum.
"Dan kita harus hentikan
kejahatan politik ini. Maka upaya-upaya yang ada sekarang itu harus kita
support. Upaya untuk menghapuskan presidential Threshold 20 persen,
karena itu kejahatan politik," jelas Rizal.
Rizal pun menyoroti
banyaknya gugatan yang dilakukan berbagai kalangan atas PT 20 persen ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Seharusnya kata Rizal, Hakim berpedoman kepada
UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
"Hakim itu tidak boleh
menjadi terompet UU. Hakim itu harus menggali nilai-nilai keadilan yang
ada di masyarakat. Pasal 5 Ayat 1 UU itu menyebut, hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tapi ternyata Hakim
konstitusi kita ini, terompet UU. Bukan menggali nilai-nilai keadilan,"
terangnya.
Oleh karena itu, Rizal setuju bahwa perubahan bisa
dilakukan dengan menunjukkan tekanan publik, baik dengan poros perubahan
ataupun koalisi rakyat.
Menurut Rizal, tanpa adanya tekanan
masyarakat, para elite itu akan bermain demi kepentingannya sendiri. Dan
hal itu, dikendalikan oleh kepentingan oligarki.
"Hapuskan
20 persen, itu adalah satu keniscayaan mutlak, sebab buat apa kita nanti
mengubah, memberhentikan presiden, tanpa bisa mendorong presiden yang
aspirasinya, aspirasi rakyat, bukan aspirasi oligarki lagi," pungkas
Rizal
0 comments:
Post a Comment