Latuharhary-Hukuman mati kembali menuai pro dan kontra publik, terutama kaitannya dengan HAM dan konstitusi.
“Hukuman
mati berkaitan erat dengan hak hidup (the right to life) yang merupakan
mahkota HAM. Sebagai kategori non-derogable right, negara dibebankan
positive obligation untuk melindungi dan memastikan hak hidup,” ujar
Wakil Ketua Internal Komnas HAM Munafrizal mengawali paparannya dalam
Webinar "Jerat Pidana Korupsi Dana Bansos di Masa Pandemi: Ketok Palu
Hukuman Mati, Sesuai HAM atau Konstitusi?" pada akhir pekan medio
Januari 2023 lalu.
Hukum internasional belum
tegas melarang penerapan hukuman mati secara mengikat bagi semua negara
di dunia, sehingga saat ini baru diatur mengenai pembatasan penerapan
hukuman mati. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
(International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) Pasal 6
ayat 2 mengatur pembolehan penerapan hukuman mati dengan syarat khusus.
Beberapa
syaratnya, antara lain: hanya untuk kejahatan sangat serius (the most
serious crimes), sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat kejahatan
dilakukan, tidak bertentangan dengan ICCPR dan the Convention on the
Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, serta hanya dapat
dilaksanakan atas dasar putusan final oleh pengadilan berwenang.
Sementara,
pembatasan praktik hukuman mati mencakup jenis kejahatan (narkoba,
ekonomi, korupsi), klasifikasi orang (pengecualian kepada anak-anak,
perempuan hamil), dan prosedur menerapkan hukuman mati (putusan
pengadilan dan pilihan terakhir).
Pengaturan
yang tegas mengenai penghapusan hukuman mati, imbuh Munafrizal baru
mulai dituangkan dalam The Second Optional Protocol to the ICCPR yang
diadopsi tahun 1989 dan berlaku tahun 1991. Namun protokol tersebut
hanya berlaku bagi negara pihak yang telah meratifikasinya.
“Hingga
tahun 2020, sebanyak 88 negara dari 173 negara pihak peratifikasi ICCPR
juga telah meratifikasi dan menyetujui the Second Optional Protocol to
ICCPR,” urai Munafrizal.
Indonesia sudah meratifikasi ICCPR
melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR (Lembar Negara
RI Tahun 2005 Nomor 119, TLN RI Nomor 4558). Namun, Indonesia masih
belum meratifikasi the Second Optional Protocol to ICCPR.
Oleh Indah Puspitasari
Secara
de jure, hukum positif Indonesia masih menerapkan pidana mati yang
dituangkan dalam sejumlah Undang-Undang, antara lain KUHP, Pengadilan
HAM, Tindak Pidana Terorisme,Tindak Pidana Korupsi, serta Narkotika.
“Dalam
RUU KUHP, hukuman mati masih akan diberlakukan. Namun pelaksanaan
hukuman mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun
berdasarkan alasan tertentu. Jika terpidana selama masa percobaan
bersikap dan berbuat terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi
pidana seumur hidup dan pidana penjara paling lama 20 tahun,” kata
Manan.
Ia pun menyimpulkan bahwa menghapuskan
hukuman mati dalam sistem hukum Indonesia tampaknya masih sulit
direalisasikan, meski eksekusi hukuman mati tidak selaras dengan prinsip
HAM dan tren global penolakan hukuman mati. Sedangkan opsi moratorium
hukuman mati bukanlah solusi jangka panjang karena moratorium bermakna
sekedar menunda atau menangguhkan.
“Opsi lain
yang dapat dipertimbangkan untuk konteks Indonesia adalah terminasi
hukuman mati. Secara de jure normatif, biarkan saja dalam sistem hukum
Indonesia tetapi secara de facto empirik, lembaga peradilan perlu
berkomitmen tidak menerapkan hukuman mati dalam putusannya,” tegas
Munafrizal.
Dalam webinar ini turut hadir pula dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Muhammad Rustamaji sebagai narasumber (SP/IW).
0 comments:
Post a Comment