JAKARTA ( KONTAK BANTEN) - Pesta demokrasi besar-besaran di Indonesia akan digelar pada 2024 mendatang. Pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) dilaksanakan secara serentak di tahun tersebut.
Tahun 2024 nanti, rakyat akan memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh Indonesia.
Menuju tahun politik 2024, suhu politik di tanah air saat ini mulai memanas. Berbagai strategi bahkan trik jegal menjegal antar bakal calon, pengurus, partai politik bahkan sampai warga masyarakat ikut meramaikan suasana ini.
Isu politik identitas, prestasi, masa lalu yang kelam calon-calon pemimpin, bahkan urusan selingkuhan menjadi tranding topic alias jualan laris manis antar pendukung dan simpatisan.
Di dunia maya, sudah tidak rahasia lagi saling serang sehingga tidak bisa membedakan lagi adanya pencemaran nama baik orang atau tidak.
Pertanyaan, apakah pencitraan dan tetek bengek semua itu terus saja menjadi ukuran utama pemimpin di 2024?
Menjawab pertanyaan tersebut, pemerhati politik dan hukum Marianus Gaharpung menyatakan bahwa sudah saatnya pencitraan demikian diakhiri. Pasalnya, beragam pencitraan para calon pemimpin yang ditampilkan ke publik lebih banyak menyesatkan.
"Jawaban sudah tidak boleh lagi.
Pemimpin yang kita butuhkan, bukan yang dicitrakan. Itu pointnya. Pencitraan tidak menjamin sesuai yang kita butuhkan,"
"Pencitraan lebih banyak menyesatkan daripada mengarahkan. Siapapun bisa dicitrakan, bisa disulap 'yang tidak mampu menjadi seolah-olah mampu' dan 'yang planga plongo menjadi seolah menjanjikan.' Sekarang, era pencitraan yang begitu sudah berakhir," sambungnya.
Menurut Marianus, saat ini rakyat sudah sangat cerdas dalam menilai dan mengkritik calon pemimpin. Sehingga calon yang melakukan pencitraan sudah tidak 'laku' dijual untuk 2024 mendatang.
"Masyarakat sudah cerdas. Rakyat sekarang lebih tajam mengkritisi calon pemimpinnya. Masyarakat sadar banyak pencitraan para calon pemimpin dan elit politik yang menyesatkan. Sudah terbongkar semuanya. Figur yang dicitrakan ternyata kosong tak kapabel dan bukan yang rakyat butuhkan," tandasnya.
Marianus mengingatkan, masyarakat saat ini menginginkan pemimpin adalah yang benar-benar dibutuhkan, yakni yang memiliki kapasitas, kapabilitas dan integritas.
"Artinya, rakyat menginginkan pemimpin yang bisa membawa aspirasi kemajuan dan kesejahteraan rakyat, yang benar-benar kapabel untuk memajukan Indonesia dari pusat sampai daerah, bukan boneka yang 'tak ada daya tak ada upaya', yang tak memiliki kapasitas, kapabilitas dan integritas," ungkapnya.
Rakyat, lanjutnya, sudah pada titik nadir merasa capek, bosan melihat pemimpin yang sarat dengan pencitraan di media mulai di pusat sampai ke daerah.
"Era pencitraan sudah masa lalu, masyarakat sudah cerdas bahwa pencitraan calon pemimpin dan elit politik justru menyesatkan. Sudah terbukti bahwa pemimpin yang sarat pencitraan hasil akhir selama memimpin ternyata kosong, tidak kapabel."
"Masyarakat sudah muak dan tidak percaya lagi dengan pencitraan, sebab semua itu jualan murahan," tegas Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) itu.
Menurutnya , sudah banyak buktinya calon pemimpin pencitraan ketika terpilih dan memimpin ternyata yang dikejar menumpuk kekayaan diri, kroni dan pengurus partai politik pendukung sedangkan rakyat terus dengan predikat kemiskinan.
"Jika dihitung secara matematis rakyat hanya sedikit saja menikmati uang negara melalui pembangunan selebihnya diembat oleh pemimpin dan oknum pimpinan/elit partai politik sudah rahasia umum," tuturnya.
"Rakyat sudah sadar ternyata partai politik sejatinya bukan memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Karena melalui kader-kader partai justru hanya melahirkan oknum pemimpin dan elit politik yang mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya dan membesarkan partainya," tandas Marianus.
Oleh karena itu, Bambang mengingatkan agar rakyat jangan memilih calon pemimpin yang hanya bermodal pencitraan dan memainkan politik uang untuk meraih kemenangan. Sebab, gaya politik demikian disinyalir akan menjadi embrio (investasi) korupsi di masa mendatang.
"Rakyat jangan salah memilih pemimpin yang hanya bermodal pencitraan dan menggunakan politik uang untuk menang. Sebab, ketika sudah terpilih dugaan kuat dengan cara apapun uang yang sudah habis selama pemilu harus didapat kembali bahkan dalam jumlah yang lebih banyak dengan modus gratifikasi, suap, dan tindakan korupsi lainnya," bebernya.
"Apalagi
diperparah perilaku aparat penegak hukum mulai pusat sampai daerah
masih terasa suka tebang pilih dalam proses pro yustisia kasus kasus
korupsi. Akhirnya, hajatan nasional lima tahun sekali hanya 'sandiwara
politik' calon pemimpin serta elit politik dengan penonton setia adalah
rakyat seluruh tanah air," jelasnya
Lebih jauh, Marianus memandang periode pergantian pemimpin lima tahunan hanya untuk pergantian nama pemimpinnya tetapi perilaku, tabiat, kejujuran sama saja dengan oknum-oknum pemimpin sebelumnya terlihat dari tingkah laku korupsi tidak pernah berakhir bahkan terus meningkat mulai pusat sampai ke daerah.
"Oleh karena itu, setelah calon presiden wakil
presiden, gubernur, bupati, wali kota terpilih di 2024, rakyat wajib
terus kritik dan otokritik. Karena dengan kritik, kepemimpinan bisa
dilakukan dengan optimal," pungkasnya.
Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute.
0 comments:
Post a Comment