![]() |
Kota Gaza mulai berdetak, pertanda kehidupan bersambung. Toko-toko dibuka kembali, ada transaksi di pasar-pasar demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bantuan internasional yang mulai masuk dari perbatasan semoga mengurangi penderitaan warga Gaza yang digempur Israel selama tiga pekan. Warga dunia bersyukur melihat kondisi terbaru ini, terkait dengan kesepakatan gencatan senjata kedua pihak (Hamas-Israel) hingga penarikan pasukan Israel dari Kota Gaza secara berangsur.
Kita berharap tidak ada lagi korban berjatuhan dan gedung-gedung hancur. Majelis Umum PBB telah menerbitkan Resolusi 181 Tahun 1947 dan resolusi-resolusi lainnya, yaitu Resolusi 242 (1967), 338 (1973), 1397 (2002), dan Resolusi 1960 (2009). Berikut adalah naskah Perjanjian Camp David (1978), Perjanjian Oslo I (1993), Oslo II (1995), Road Map to Peace (2002), Deklarasi Mekkah (2006), dan Annapolis (2007). Itu merupakan proses-proses yang telah melibatkan diplomat-diplomat ulung dan hasilnya tetap nihil, bahkan (Israel) membangkang dan melanggar logika hubungan internasional.
Israel mungkin tidak menyangka jika perbuatannya menyegarkan sentimen bangsa Arab dan melahirkan kembali suasana bersaudara dalam tema persatuan. Artinya, kenyataan di Gaza mengubah peta politik dunia Islam meskipun fakta yang terjadi adalah "penjajahan ".
Kepentingan nasional negara-negara Arab tampaknya masih menonjol. Arab Saudi, Mesir, Suriah, Yordania, Kuwait, Qatar, Bahrain, dan negara-negara Teluk lainnya ingin bermain aman (play it save), sekaligus menjaga keseimbangan hubungan dengan Amerika Serikat (AS).
Bagaimanapun secara militer tergantung pada AS, negara-negara Arab tidak banyak berbuat karena semua pihak memiliki kerja sama ekonomi dengan AS. Menurut Baghat Khorani dan Hillal Dessouki, prinsip politik luar negeri negara berkembang masih terbatas. Keterbatasan itu selalu dihadapkan pada dilema.
Pertama, aid and independence dilemma. Artinya, setiap negara berkembang memerlukan bantuan asing demi pembangunan nasional dan mengejar ketertinggalan yang menyebabkan negara tergantung pada negara donor. Akibatnya, politik luar negerinya tidak merdeka.
Kedua, resources and development dilemma. Artinya, negara-negara berkembang mempunyai idealisme yang tinggi dalam merumuskan politik luar negerinya. Padahal, sumber-sumber yang dimiliki sangat terbatas. Ketiga, security and development dilemma, di mana sumber-sumber dari luar negeri harus digali sebanyak-banyaknya. Namun, sumber luar negeri yang berguna untuk pembangunan nasional sering kali membahayakan keamanan dalam negeri (Khorani, Dessouki: The Foreign Policy Arab States: 1991:13).
Namun, dua pertemuan di Doha, Qatar (16/1) dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ekonomi Liga Arab di Kuwait (19/1) melahirkan optimisme baru. Ancaman (hasil pertemuan Qatar) untuk pemutusan hubungan diplomatik diperkirakan akan mengajak Israel di meja perundingan. Sikap negara-negara Arab diekspresikan secara jujur dan terus terang di antara siapa yang mendukung Hamas maupun Fatah.
Perang dingin di antara mereka dengan demikian diselesaikan secara diplomatik di meja bundar bersama. Perang terbuka ini bukan tidak mungkin akan terulang. Namun, lagi-lagi dunia akan menganggap mereka sebagai "pengecut ". Maka kepala-kepala negara harus berpikir dan bertindak tidak ragu-ragu menyatukan sikap dan tujuan.
Sejauh ini, KTT Liga Arab merekomendasikan rekonsiliasi kedua faksi (Fatah dan Hamas) agar bersatu menyelesaikan perselisihan internal Palestina dengan mendirikan pemerintahan independen. Dengan jaminan Fatah terhadap Hamas (mungkinkah dimoderasi atau direduksi ) bahwa kehadiran Israel di Palestina juga bagian dari solusi. Hasrat ini juga dibarengi dengan memberikan bantuan rekonstruksi nasional di Palestina.
Peluang kedua, petanya juga dilihat dari perubahan landskap politik di AS dengan masuknya Barack Obama di Gedung Putih. Diplomasi global menganalisis faktor AS yang selalu mendukung Israel kini abstain dalam resolusi PBB 1960. Sikap ini dapat diinterpretasikan ada campur tangan Obama di sana. Sebab, salah satu prioritas pemerintahan baru Obama selain pemulihan krisis dan keamanan nasional (national security) adalah warisan Bush: masalah luar negeri. Pertanyaannya, slogan kampanye change apakah hanya berlaku bagi warga AS atau melibatkan dunia internasional
"Tekan-menekan " lobi Yahudi di AS yang menguasai jaringan media dan jaringan perbankan, berikut hitung-hitungan politik, ekonomi, dan kekuasaan Obama adalah soal lain. Individu Obama menjadi pertimbangan negara-negara Arab terlihat sebagai peluang untuk mendorong peran.
Maknanya, di kawasan Timur Tengah sendiri memang tengah terjadi perubahan negosiasi dan gerakan untuk mendorong peran negara-negara di kawasan itu yang mayoritas adalah negara-negara Muslim. Jembatan komunikasi baru yang akan dijajaki ini seyogianya mendistribusikan energi diplomasi Timur Tengah secara menyeluruh.
Negara antipenjajahan seperti Indonesia sudah cukup konsisten mendukung perjuangan Palestina. Meskipun corak pragmatisme tetap berkesinambungan dalam tahapan diplomasi, paling tidak, masa kecil Obama yang terkait secara emosional bagi hubungan AS-Indonesia dapat dimanfaatkan untuk melakukan pendekatan simultan (multy-track diplomacy) berupa tekanan bersama poros negara-negara Arab.
Cara ini mungkin lebih bekerja daripada mengirim sukarelawan. Sebab, medan di Indonesia dengan Timur Tengah jauh berbeda. Pilihannya, apakah kembali dengan selamat atau "mati konyol " Logikanya, kirim 100, mati 100. Kalau tidak ditembak mati, ditangkap.
Peluang untuk mengkonkretkan peranan Indonesia terbuka lebar di tengah napas performa diplomasi yang sedang meningkat beberapa tahun belakangan. Meski termasuk kategori negara berkembang dan sedang focus inside (pembuktian ujian pemilu demokratis), hal itu tidak menutup kemungkinan peran diplomasi Indonesia yang tercitra secara positif dapat dilibatkan pada pertemuan penting berikutnya.
Semoga, sebelum kembali ke pangkuan Tuhan, kita dapat melihat perdamaian di tanah Palestina.
Penulis adalah peneliti The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) LIPI
0 comments:
Post a Comment