Politik dinasti di momen pemilihan kepala daerah
(Pilkada) tahun 2020 menjadi sorotan publik. Politik dinasti dapat
diartikan praktik politik yang mewariskan kekuasaan secara turun temurun
dalam kelompok hubungan keluarga. Di Indonesia, pewarisan tersebut
diawali dengan status calon kepala daerah yang kemudian dipilih oleh
rakyat secara langsung. Entah menang ataupun tidak.
Di tahun 2024,
terdapat 270 daerah yang menggelar pilkada. Terdiri dari pemilihan
gubernur dan wakil gubernur, pemilihan wali kota dan wakil wali kota,
serta bupati dan wakil bupati.
Untuk pemilihan gubernur dan wakil
gubernur terdapat di sembilan provinsi. Meliputi Sumatra Barat, Jambi,
Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah.
Sedangkan
pemilihan wali kota dan wakil wali kota ada di 37 kota. Sementara
pemilihan bupati dan wakil bupati digelar di 224 kabupaten.
Dari
daerah-daerah tersebut ada calon kepala daerah yang meneruskan estafet
kepemimpinan sebelumnya. Yang masih terikat dengan kekerabatan atau
keluarga. Barangkali di daerah Anda sedang melangsungkan momen pilkada.
Dan, ada calon kepala daerah yang masih ada hubungan darah dengan
petahana.
Memang secara hukum tidak ada aturan yang dilanggar dan
membatasi siapa pun. Termasuk anak atau keluarga presiden, gubernur,
walikota, bupati sekalipun untuk terlibat dalam politik praktis “Aji
mumpung”. Kebetulan orang tuanya sedang menjabat.
Politik dinasti
dapat menyebabkan mandeknya fungsi partai sebagai sarana rekrutmen
kader. Sehingga, anggota keluarga dinasti yang telah memiliki modal,
finansial, popularitas dipandang lebih potensial menang dalam pemilihan
dibandingkan orang biasa. Hal tersebut didukung oleh sistem pemilu di
Indonesia yang sangat fokus pada personal dibandingkan program.
Mahkamah
Konstitusi (MK) pernah menolak pasal antipolitik dinasti yang
sebenarnya bisa menjadi penghalang menjamurnya politik kekerabatan.
Larangan politik kekerabatan sudah tercantum dalam UU Pilkada Nomor 8
Tahun 2015. Namun, digugat ke MK dan dikabulkan karena dinilai melanggar
hak konstitusional warga negara untuk dipilih dalam politik.
Mestinya, politik dinasti harus dilarang dengan tegas. Bila makin
tumbuh subur, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik
jadi macet. Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar,
maka akan berpotensi kian marak korupsi sumber daya alam dan lingkungan,
kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan
anggaran negara atau uang rakyat.
Bisa jadi politik dinasti untuk
meneruskan estafet kepemimpinan dalam mengamankan hal-hal tertentu yang
mengabaikan kepentingan rakyat. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di
lingkungan elite sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan
penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Terlebih
politik dinasti juga sulit mewujudkan cita-cita demokrasi. Fungsi
kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif. Ini juga
berpotensi terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi,
dan nepotisme.
Maka dari itu, sebagai pemilih harus berpikir
cerdas, jangan mudah kepincut dengan politik dinasti. Kita harus tahu
juga latar belakang pendidikannya, kematangan berpikir, kematangan
bermasyarakat, kematangan emosional. Dan satu lagi jangan tergoda dengan
politik uang. Selamat menjadi pemilih cerdas. Lawan politik uang! (*)
Ketua Umum UNIMIG Indonesia
*Kris Setiyanto
0 comments:
Post a Comment