Berbicara politik tentunya sangat menarik, bahkan di ruang publik maupun di warung kopisekalipun,tak ayal dipenuhi pembahasan mengenai hal tersebut.Namun, tidak semua kalangan setuju bahwa politik itu sesuatu yang menarik, justru masing-masing orang memiliki pandangan dan minat yang berbeda. Kenapa demikian, sebagian orang masih setuju dan berpandangan politik itu bukan sesuatu yang dapat mewujudkan kebahagiaan yang sama, justru sebagian orang berpendapat bahwa politik itu hanya sebuah alat kotor, bahkan tak jarang masyarakat cenderung anti dengan berbagai persoalan politikkarena politik itu identik dengan korupsi.
SELAMA ini stigma mengenai politik sering dicitrakan sesuatu yang buruk, kotor dan penuh intrik, contohnya saja untuk mewujudkan hajat seseorang ataupun kelompok dalam mencapai tujuan yang dikehendaki, sering kali segala upaya dilakukan, bahkan bertentangan dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Akan tetapi, politik itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang buruk, bahwa dalam kegiatan kita sehari – hari pun itu adalah aktifitas politik. Karena, politik itu adalah usaha untuk mencapai kehidupan yang baik. Jikalau masih banyak paradigma sebagian orang yang menyatakan bahwa politik itu buruk, penulis khawatir hal tersebut akan melebar dan membingkai pemikiran sebagian kalangan lain khususnya kalangan anak muda atau sering disebut dengan kalangan milenial sehingga sepakat bahwa politik itu tindakan yang kotor pula.
Objek Politik
Melihat pergerseran fase yang sedari dulu berjalan, menarik untuk kita telaah lebih lanjut, apalagi Indonesia telah masuk pada fase industrialisasi 4.0. Hal ini layak untuk kita apresiasi untuk Indonesia, karena ini merupakan keuntungan yang sangat potensial guna menghadapi tantangan zaman yang berlangsung. Namun, yang menjadi tolak ukur dari fase indsutrialiasi tersebut ialah bagaimana Indonesia merespon tantangan tersebut serta langkah apa yang harus diambil guna dapat bersaing di kanca global.
Fase industrialisasi 4.0 atau dalam pengaplikasiannya dapat disebut fase digitalisasi, dimana setiap aktifitas masyarakat mulai memanfaatkan sistem otomatisasi guna mempermudah kebutuhan masyarakat yang dikehendaki. Melihat paradigma yang bergeser, hal ini menjadi tantangan baru bagi setiap golongan masyarakat, terlebih, bagi generasi emas Indonesia yang selalu di gaung gaungkan, yakni generasi millenial. Generasi yang individualistik, sangat bergantung pada teknologi, dan apatis terhadap politik.
Berbicara politik generasi millenial, momentum yang paling mencolok ialah ketika Pemilu 2024. Dimana menurut Koordinator Pusat Peneliti Politik LIPI, Sarah Suaini Siregar menyatakan, berdasarkan hasil survey lembaganya ada sekitar 35 persen sampai 40 persen pemilih dalam pemilu 2024 didominasi pemilih generasi millenial. Melihat cukup besarnya persentase pemilih tersebut, merupakan pemandangan politik yang sungguh menawan, bukan bagi penyelenggara pemilu saja yang berbangga hati. Tetapi, juga parta politik juga pasti menilai hal tersebut ibarat lahan basah yang mengandung permata yang berharga.
Namun, melihat persentase cukup mentereng tersebut. Kita tidak bisa menilai langsung, apakah keeluruhan pemilih dari generasi millenial tersebut mengerti tentang politik khususnya dalam praktek perwujudannya. Berdasarkan riset IDN Research Institute. Dalam laporan bertajuk “Indonesian Millenial report 2024 ”, hanya 23,4 persen yang suka mengikuti berita politik. Namun, tidak dinyatakan bahwa pemilih millenial tersebut paham akan politik. Kaum millenial cenderung menganggap politik hanya untuk orang – orang yang kuno atau generasi tua “old school”. Melihat karakteristik generasi millenial yang sebagian beaar cenderung apatis terhadap politik, mau tidak mau pendidikan politik sudah selayaknya untuk diberikan, guna pemilih millenial ini hanya menjadi objek politik.
Terlebih lagi, siklus perpolitikan di Indonesia, saat ini hampir setiap tahun selalu bergulir, dan yang paling dekat adalah ajang kontestasi pilkada 2024 melihat hasil survei di atas, dikhawatirkan pemilih millenial tersebut akan terbawa arus. Menyadari hal tersebut, sudah selayaknya pemilih tersebut diberikan pendidikan ataupun kursus mengenai pendidikan politik. Pendidikan politik yang diberikan, tidak hanya tentang penyelenggaraan negara, tetapi juga pendidikan politik secara umum dalam kehidupan bermasyarakat atau sosiologi politik, agar pemilih millenial tersebut dapat mendapatkan gambaran untuk peka dengan kondisi sekitar.
Melihat kerentanan yang terjadi, melalui pembenahan secara masif, diharapkan pemilih millenial tersebut makin terbuka dalam cara nya memandang permasalahan tentang politik. Sehingga kualitas pemilih millenial bukan hanya di bidang non politik saja yang menonjol. Bahkan, bisa saja di bidang politik justru menjanjikan sesuatu yang menarik untuk ditindak lanjuti. Sehingga kalangan pemilih millenial tersebut tidak hanya dipandang sebelah mata oleh pihak-pihak yang merasa diuntungkan dengan persentase yang besar tersebut.
Urgensi Pendidikan Politik
Dengan modal dan semangat yang dimiliki kaum millenial, hal ini harus dimanfaatkan dengan sangat baik oleh pihak-pihak penggiat literasi khususnya mengenak demokrasi dan politik ataupun juga lembaga negara yang terfokus pada sektor politik dan pemerintahan. Berdasarkan data dari Trans Media Sosial, karakteristik generasi Milenial yang paling mencolok adalah mereka sangat menguasai gawai, teknologi serta aktif di media sosial seperti Facebook, YouTube, Instragram, WhatsApp dan lain-lain. Data menyebutkan sekitar 80% generasi Milenial mengakses media sosial setiap hari, mereka biasanya mencari informasi mengenai liburan, hiburan, kuliner, agama, politik, olah raga dan lain sebagainya.
Melihat pemanfaatan yang dilakukan oleh pemilih millenial, guna dapat memberikan pendidikan politik yang dapat diterima oleh khalayak millenial, kita harus terjun ke dunia nya atau dengan membingkai pendidikan serta kegiatan yang sesuai dengan porsinya. Millenial sejatinya cenderung tertarik pada hal-hal yang baru, inovatif dan sesuai dengan perkembangan zaman. Melihat perpolitikan di Indonesia cenderung mempertontonkan konflik. Seraya menimbulkan berbagai intrik yang tidak elok dipandang. Apalagi arus informasi yang sangat mudah untuk di didapat. Ditakutkan tanpa ada pemberian pendidikan politik yang masif malah makin banyak sikap apatis di kalangan millenial.
Penulis menyarankan untuk dilaksakan pendidikan politik yang terukur bagi generasi millenial. Seperti, event-event skala kecil, menengah hingga event yang besar serta dilaksanakkan secara berkelanjutan. Pendidikan berbasis digital, penempatan papan pemberitahuan pada setiap ruang publik di masyarakat juga dapat dilakukan, selain dengan kegiatan seminar dan kursus politik. Kalau ada duta batik, kenapa tidak ada duta politik. Hal yang menarik untuk ditunggu bagaimana duta politik ini dapat menjadi role of model terbaru agar perpolitik di indonesia makin banyak yang peduli dan menyadari bahwa politik itu bukan hanya sekedar memberikan suara, tetapi menyatukan suara. Memilih yang tepat, untuk kehidupan yang lebih baik, secara mendalam untuk Indonesia. Penulis yakin jika telah dlaksanakan, akan terwujud indonesia yang berintegritas dan damai.
0 comments:
Post a Comment