Tahapan pelaksanaan kampanye legislatif, dewan perwakilan daerah
serta presiden dan wakil presiden, kini sudah memasuki bulan kelima dari 20 Mei 2023 Selama sosialisasi banyak ditertibkan alat
peraga kampanye (APK) yang menyalahi aturan PKPU nomor 34 serta pasal
298 ayat (2) UU Nomor 7 tahun 2017
tentang pemasangan yang melangar
etika, estetika dan keindahan. Di Indonesia 27.981 alat peraga
kampanye ditertibkan oleh Bawaslu dan belum provinsi lain, jika ditotal
jumlahnya dipastikan cukup besar. Lalu apakah sebenarnya alat peraga
kampanye tersebut ?
Alat peraga kampanye calon legislatif
merupakan bagian dari pencitraan politik yang harus dilakukan supaya
dikenal masyarakat secara luas. Dengan pemasangan spanduk dan baliho
yang sudah ditentukan tempatnya, membuktikan bahwa para kandidat ingin
menang dalam ajang pemilihan legislatif dan Presiden mendatang, sehingga
tetap melakukan kampanye dengan berbagai cara dan model. Namun cara ini
diharapkan bisa secara efektif mempengaruhi opini sebagian besar
pemilih.
Pelaksanaan demokrasi secara langsung ini ternyata bisa
melahirkan cara-cara baru untuk meraih kekuasaan, baik dalam jabatan
politik struktural dalam kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Terlepas
rakyat yang mempunyai hak pilih kemudian dikendalikan oleh
tangan-tangan jahil, sehingga tak terlihat itu urusan lain. Namun secara
kasat mata rakyatlah yang menentukan, karena mereka yang mencoblos
secara langsung dan bebas ditempat pemungutan suara yang tertutup dan
terjamin kerahasiannya.
Sementara kampanye yang dilakukan hanya sekedar memperkenalkan figur
kepada publik, melalui gambar-gambar yang dipasang secara masif di
pingir-pinggir jalan atau tempat-tempat yang dianggap mudah dilihat oleh
banyak orang, bahkan sampai membuat ruang-ruang publik menjadi penuh
sesak. Tetapi sangat disayangkan adalah pohon-pohon yang tidak tahu
apa-apa menjadi korban tempat pencitraan politik para kandidat calon
legislatif tersebut.
Kampanye dengan cara dan model seperti itu,
tidak ubahnya sebagai iklan kecap yang semuanya menampilkan diri sebagai
nomor satu. Dengan demikian semua menahbiskan diri sebagai orang
terbaik tanpa memberi bukti sedikitpun, tentang apa indikator yang
terbaik dan apa jejak rekam mereka sebelumnya, sehingga dalam kontribusi
ini bisa menciptakan perbaikan tingkat kehidupan rakyat.
Dalam
konteks ini menurut Denis McQuail (2011) dalam teori komunikasi massa,
seharusnya setiap individu atau kelompok yang merasa menerpa janji-janji
dalam iklan pencitraan politik harus menjelaskan, mempertahankan atau
mempersoalkan, baik apa yang disampaikan maupun apa yang disembunyikan
dalam pencitraan politik.
Model kampanye yang dilakukan ini bisa
dikatakan sekedar membangun pencitraan positif. Namun para kandidat
harus berusaha seoptimal mungkin dengan memanfaatkan heperealitas media
untuk membuat para pemilih memandang dan menilai mereka melampaui
realitas. Kampanye model ini mengupayakan agar masyarakat pemilih,
terutama yang tidak mengenal langsung sosok nyata para kandidat, mereka
bisa lihat dalam gambar dan tayangan merupakan pribadi-pribadi yang
menarik dan menjanjikan.
Hanya dalam masalah ini, kampanye lebih
berfungsi sebagai media pembohongan massal terhadap pemilih. Apakah
iklan politik itu bermakna buat rakyat? Sesungguhnya iklan politik tetap
saja seperti iklan yang lain, dengan tujuan memasarkan produk. Hanya
bedanya produk politik yang tidak nyata (intangible product), sangat
terkait dengan sistem nilai (value laden) yang didalamnya terdapat visi,
misi, janji dan harapan akan masa depan.
Meski target utama
penjualannya bisa terdongkrak dan dibeli masyarakat, perkara kualitas
produk apakah benar-benar dipertanggungjawabkan atau tidak itu urusan
kesekian. Jika ini terjadi maka yang sedang berlangsung sekarang adalah
upaya pembodohan masyarakat, sebagai obyek eksploitatif politik untuk
memenangkan kepentingan kekuasaan. Kekuasaan tidak dimaksudkan untuk
mengubah perilaku seseorang, melainkan potensi untuk mengubah seseorang
(Mc.Shane &Von Glnow, 2010).
Dalam studi pemasaran politik
disebutkan bahwa konsep permanen yang harus dilakukan oleh sebuah partai
politik atau kontestan adalah membangun kepercayaan dan citra politik
(Butler &Collins, 2001). Karena itu, membangun kepercayaan dan citra
hanya bisa dilakukan dalam jangka panjang, tidak hanya masa kampanye.
Citra yang melekat dibenak seseorang berbeda dengan realitas obyektif
atau tidak selamanya merefleksikan kenyataan sesungguhnya.
Kendati
demikian politik pencitraan dalam konteks tersebut, telah membuat ruang
publik dipenuhi oleh figur-figur calon legislatif narsis yang merasa
dirinya layak dipuji. Padahal, mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya
dia adalah pribadi-pribadi yang belum teruji menjadi pemimpin yang
baik, amanah, dan bisa memperjuangkan aspirasi rakyat karena belum
melakukan sesuatu yang signifikan.
Ricard Nixon (1957) pernah
mengatakan bahwa masyarakat umum membeli nama dan wajah (bukan program
partai), dan seorang kandidat harus diperdagangkan dengan cara yang
hampir sama seperti produk-produk lainnya. Namun tidak ada salahnya kita
sebagai rakyat yang mempunyai hak pilih, juga berhak mengintip dan
mencermati bagaimana mekanisme sebuah pencitraan calon pemimpinnya
berjalan, sekaligus memberi masukan kepada kandidat bagaimana sebaiknya
menjalankan program pencitraan secara terarah, tertib dan sehat.
Citra Mengemas Dirinya
Jika
memperhatikan sitiran Richard Nixon ini, maka seorang kandidat dalam
pemilihan legislatif jelas membutuhkan pencitraan yang akan mengemas
dirinya, menjadi sebuah produk komoditas untuk diperdagangkan dalam
bursa pemilihan. Masalahnya, apakah produk itu akan sesuai dengan target
pasarnya ? Akankah produk itu memberi nilai tambah jika dibeli oleh
target pasarnya ? Disinilah pentingnya menentukan positioning kandidat,
sehingga masyarakat yang membelinya akan memperoleh keuntungan.
Namun
Positioning tidak dapat dilakukan tanpa adanya segmentasi politik,
karena pasar politik adalah suatu komunitas yang tersusun oleh komponen
yang sangat beragam dan saling berinteraksi satu dengan lainnya. Dengan
demikian pendekatan partai politik atau kontestan, tidak dapat dilakukan
dalam tatanan individu karena biayanya sangat mahal, kecuali jika si
individu itu figur publik yang berpengaruh dan memiliki reputasi yang
baik dibidangnya.
Sebaliknya, pencitraan kandidat yang dirancang
membentuk citra seorang kandidat sedemikian rupa, sehingga mampu
memenuhi kebutuhan target masyarakatnya. Oleh karena itu, jika
promosinya besar-besaran tetapi dalam realita kandidat tersebut justeru
mengecewakan target masyarakatnya, maka upaya pencitraan yang dibangun
kandidat tersebut dinilai gagal atau over promised under deliver.
Dengan
pembangunan pencitraan seperti ini, setidaknya pemilih akan memiliki
harapan besar kepada kandidat. Padahal, harapan itu sesungguhnya
hanyalah ilusi, sebab dalam kenyataan para kandidat tersebut jika
benar-benar terpilih tentu tidak akan memenuhi harapan. Sebaliknya, jika
harapan besar itu tidak berbalas kenyataan, maka harapan besar tersebut
akan segera berbalik menjadi kekecewaan besar.
Kekecewaan
tersebut akan menyebabkan delegitimasi bagi para pejabat publik,
sehingga bisa berubah menjadi besar karena kekuasaan semakin tidak
efektif.
Sedangkan pilihan untuk melakukan langkah politik
pencitraan muncul, karena kemalasan sebagian besar kandidat atau
politisi, dalam melakukan kerja-kerja politik riil yang memang
membutuhkan energi ekstra. Padahal politisi baik yang berada dalam
rumpun eksekutif maupun legislatif sejatinya adalah pemimpin. Kouzes
menjelaskan pemimpin yang mempunyai visi yang jelas dapat menjadi
penuntut dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pemimpin.
Oleh
karena itu, politik pencitraan harus dimulai dan dilanjutkan secara
konsisten, tetapi politik tanpa pencitraan masyarakat tidak bisa
mendapatkan pemimpin, yang memang memiliki kemampuan dan kemauan untuk
mengurusi rakyat. Akibatnya citra politik akan menjadi penting, jika
seseorang menganggap bahwa dalam memenuhi kebutuhan fisik, sosial dan
psikologis hanya dapat diatasi dan dilakukan oleh negara.
Jadi sederhana saja sebenarnya politik tanpa pencitraan, akan membuat rakyat relatif tidak akan mengalami kekecewaan besar, karena harapan rakyat akan berbalas dengan kerja kepemimpinan yang signifikan.
Jadi sederhana saja sebenarnya politik tanpa pencitraan, akan membuat rakyat relatif tidak akan mengalami kekecewaan besar, karena harapan rakyat akan berbalas dengan kerja kepemimpinan yang signifikan.
Sebaliknya
pencitraan yang terlalu narsis dengan menampilkan berbagai misi dan
visi serta program, ternyata tidak sesuai apa yang diharapankan akhirnya
masyarakat yang semakin kecewa. [ ]
*) Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen (PDIM) Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
0 comments:
Post a Comment