Sejarah perjalanan partai-partai politik di Indonesia menunjukkan karakter ikatan kendali parpol yang tidak tunggal. Pada satu periode, karakter kendali partai kader sedemikian menonjol, sedangkan pada masa berikutnya karakter pengendalian selayaknya partai massa lebih dominan. Semuanya mengarah kepada satu tujuan: meraih dukungan sebanyak-banyaknya.
Terdapat sejumlah kategorisasi dan identifikasi partai politik. Dalam konteks aliran politik (ideologi) misalnya, partai dapat dilihat dari kategori partai agama, partai sekuler atau gabungan dari keduanya. Sementara dari sisi praksis manajemen kaderisasi, partai politik dapat diidentifikasi dari karakternya sebagai partai kader maupun partai massa. Apakah sebenarnya partai kader dan partai massa itu?
Tak ada definisi baku atas terminologi partai kader dan partai massa. Kedua model pendekatan kaderisasi parpol itu dipakai sebagai cara membina kehidupan partai politik. Partai kader adalah corak suatu partai yang mengandalkan pada aspek kualitas anggota/kader, kedisiplinan, ketaatan organisasi dan karakteristik sejenis itu. Dengan karakteristik sumber daya dan ikatan yang seperti itu, petinggi parpol bermaksud memiliki sifat keanggotaan yang kuat setia, kuat dan militan.
Partai kader adalah corak suatu partai yang mengandalkan pada aspek kualitas anggota/kader, kedisiplinan, ketaatan organisasi dan karakteristik sejenis itu.
Seleksi keanggotaan dalam partai kader biasanya sangat ketat, yaitu melalui kaderisasi yang berjenjang dan intensif, serta penegakan disiplin partai yang konsisten dan tanpa pandang bulu. Struktur organisasi partai ini sangat hierarkis sehingga jalur perintah dan tanggung jawab sangat jelas. Karena sifatnya yang demikian, partai kader acap kali disebut sebagai partai yang elitis. Secara sederhana, bisa kita identifikasi bahwa sebuah partai kader memberi penekanan pada aspek kualitas.
Partai kader merupakan partai yang mengutamakan ideologi partai daripada jumlah massa yang berhasil diraih. Oleh karena itu pertumbuhan partai kader dalam keadaan normal politik, akan cenderung “landai”. Karena karakteristiknya semacam ini, partai kader kerapkali menerapkan strategi tertentu untuk tetap mampu menambah jumlah anggota. Salah satu yang menonjol adalah dengan cara memperbanyak keanggotaan secara alamiah yaitu menambah jumlah anak dalam keluarga-keluarga kader parpol.
Tak hanya itu, untuk menyeragamkan gerak dan menumbuhkan semangat kesatuan, simbol-simbol tertentu dipakai secara massif diantara sesama kader. Misalnya cara berpakaian, cara berpenampilan, hingga cara bertegur sapa. Sebagai pedoman, agama acapkali merupakan ikatan yang dipakai untuk menyatukan gerak langkah partai kader, meski isme-isme yang lain (nasionalisme, sosialisme, komunisme) tetap bisa dimanfaatkan untuk tujuan yang sama.
Merujuk pada berbagai kategori tersebut, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan salah satu yang paling terang dapat diasosiasikan sebagai partai kader. Ketua Dewan Syariah PKS Surahman Hidayat menegaskan bahwa sejak awal berdiri, partainya mengusung konsep partai kader. Di partai ini anggota-anggota dibina dan diawasi secara rutin. Untuk menjamin kadernya militan, pengurus PKS mengharuskan setiap kader intinya memiliki halaqoh atau pengajian beranggotakan 18-20 orang. Selain itu, pengajian rutin juga harus dihadiri oleh para kader.
Dibandingkan ketika awal dideklarasikan pada Juli 1998 (sebagai Partai Keadilan-pen), Surahman menilai partainya sekarang lebih modern dari aspek teknis dan administratif. PKS merubah nama partai menjadi Partai Keadilan Sejahtera 2 Juli 203 akibat tak lolos electoral treshold 2 persen. Kunci keberhasilan PKS tidak lepas dari soliditas kader yang berasal dari didikan Tarbiyah (Pengajian kampus). Pengajian-pengajian yang dibentuk PKS hanya berisi 5 sampai 10 orang, namun dijalankan secara konsisten dan membentuk ikatan antarpersonal yang kuat selain ikatan organisasional (tempo.co, Senin, 11 Februari 2013).
Partai Massa
Sama dengan definisi partai kader, definisi pasti partai massa tidak dapat secara tegas dinyatakan, namun lebih merupakan kecenderungan gejala pola manajemen dan kaderisasi partai. Secara umum, terdapat sejumlah ciri partai massa, diantaranya partai massa merupakan suatu partai politik yang mengandalkan dan menekankan kekuatan pertama-tama pada keunggulan jumlah anggota dan simpatisan ketimbang soal kualitas individual.
Partai massa merupakan partai politik yang mengandalkan kekuatan pada keunggulan jumlah anggota dan simpatisan.
Besarnya massa yang dikelola menjadi kekuatan dari partai massa itu sendiri. Strategi mobilisasi yang terbuka berupaya menyaring simpatisan sebanyak-banyaknya sehingga menjadi kekuatan massif yang mampu digerakkan menjadi kekuatan penekan secara politis maupun menjadi mesin politik saat pemilu.
Karena berupaya menjaring sebanyak-banyaknya pengikut, partai massa memerlukan sebuah gagasan besar dan laten yang sudah tertanam di basis massa di negara tersebut. Sebisa mungkin, gagasan besar yang menjadi dasar ideologi itu harus mampu menampung bermacam- macam aliran politik dalam masyarakat maupun kelompok.
Meski demikian, ada pendapat yang menyatakan karena karakteristiknya yang demikian, partai massa tak memerlukan ideologi karena partai jenis ini lebih mementingkan massa ketimbang mempertahankan ideologi. Namun menurut hemat penulis, justru ideologi yang kuatlah yang mampu menyedot simpati publik sehingga massa menjadi simpatisan atau anggota partai.
Salah satu partai massa yang menonjol adalah karakter partai Golongan Karya (Golkar), terutama sebelum era reformasi 1998. Sebelumnya, di era tahun 1971 hingga 1997, Golkar menjadi partai corong pemerintah. Karena menjadi corong pemerintah, Golkar cenderung kehilangan independensinya, tak demokratis, dan mengandalkan perolehan suara berbasis struktur partai yang terinternalisasi dengan struktur pemerintah. Mulai dari gubernur, camat, lurah hingga aparat keamanan adalah jaringan penjamin perolehan suara bagi Golkar.
Memasuki era reformasi, Golkar turut mereformasi diri sehingga menjadi citra partai yang deokratis, mandiri, moderat serta solid dan mengakar. Berbeda dengan masa sebelumnya dimana Golkar lebih banyak memusatkan perolehan suara dari basis massa mengambang (floating mass), kini partai beringin memperbaiki sistem kaderisasi dan citra partai yang modern.
Sesungguhnya, perbedaan antara penerapan ideologi pada partai massa dan partai kader bisa dibilang tipis. Yang membedakan adalah manajemen pengelolaan partai politik dalam mengeksploitir ideologi tersebut sehingga memadai sebagai sarana rekrutmen dan kaderisasi. Ramlan Surbakti bahkan berpendapat bahwa sebagian besar partai politik di Indonesia masuk kategori partai massa.
Karakteristik pemilih pemilu di Indonesia cenderung tak terikat kuat pada satu identitas politik tertentu, namun lebih merupakan “pemilih bebas”
Karakteristik pemilih pemilu di Indonesia cenderung tak terikat kuat pada satu identitas politik tertentu, namun lebih merupakan “pemilih bebas” yang secara keterikatan emosiaonal maupun rasional bisa sewaktu-waktu berpindah ke partai politik lain.
Catch All Party
Model karakteristik pemilih di Indonesia yang cenderung tidak menyatakan keanggotaan partai secara jelas (“mengambang”) menyebabkan banyak partai akhirnya menganut alternatif pilihan ketiga, yaitu menggabungkan konsep partai kader dan partai massa. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi kelemahan dua model sebelumnya yang bisa membatasi masuknya pemilih yang belum familiar dengan ideologi maupun karena partai politik yang akan dipilihnya.
Otto Kirchheimer’s (1966) mengemukakan istilah ‘Catch-All Party’ (partai yang merangkul semua) bagi partai yang menggabungkan konsep partai kader dan partai massa. Dalam partai semacam ini, partai tetap mengembangkan sistem pengaderan, tetapi di sisi lain juga mengembangkan pola rekrutmen massa yang terbuka.
0 comments:
Post a Comment