Mendekati waktu pemilu 2024, politik praktis mulai masuk dalam aspek pendidikan. Hingga menyasar ikatan alumni, lantas bagaimana ikatan alumni sebuah universitas bersikap menjaga marwah perguruan tinggi?
Keterlibatan Ikatan Keluarga Alumni (IKA) universitas dalam ruang politik menjadi soal yang banyak diperdebatkan. Deklarasi dukungan Ikatan Alumni Universitas Andalas untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf, menjadi contoh politik praktis dalam lingkup akademis.
Tidak hanya itu, Universitas Indonesia juga pernah memberikan dukungan terang-terangan kepada Joko Widodo-Ma’ruf. Hal ini menambah daftar campur tangan elemen alumni perguruan tinggi dalam politik praktis jelang pemilihan presiden 2019 lalu. Maraknya praktik politik di tingkat universitas berbenturan dengan Pasal 8 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2012 yang menuliskan perguruan tinggi memiliki kebebasan dari politik praktis.
Walaupun masih 2 tahun lagi, geliat pemilihan presiden tahun 2024 sudah mulai ‘hangat’. Nama-nama calon presiden dan wakil presiden telah bermunculan dalam beberapa survei yang dilakukan. Tak ketinggalan juga aksi deklarasi kepada calon tertentu ramai terjadi mengatasnamakan alumni.
Ketua Alumni Universitas Indonesia Timur (UIT), Jurnal Syarif telah mendeklarasikan mendukung Muhaimin Iskandar dan Andi Amran Sulaiman sebagai calon dan wakil presiden dalam pemilu 2024, di Makassar, Selasa 1 Februari lalu.
Informasi dukungan terhadap Andi Amran Sulaiman (AAS) sebagai calon wakil presiden, berpasangan dengan Muhaimin Iskandar sebagai calon presiden telah berseliweran di media online. Bahkan balihonya telah berdiri kokoh di Jalan Perintis Kemerdekaan setelah Makassar Town Square (M Tos), Kota Makassar.
Kesempatan AAS maju dalam pesta demokrasi 2024 kini makin terbuka. Pasalnya euforia yang mewarnai musyawarah besar Ikatan Keluarga Alumni Unhas, pada Jumat-Minggu (4-6/3), mengantarkan AAS terpilih sebagai Ketua IKA Unhas periode 2022-2026. Lantas, apakah peluang ini akan dimanfaatkan ketua IKA Unhas yang baru?
Menanggapi hal ini, Sekretaris Umum IKA Fakultas Kehutanan Unhas, Emban Ibnurusyd Mas’ud mengungkapkan dalam struktur ikatan alumni saat ini, tidak ada kemampuan untuk menginstruksikan untuk memilih calon politik tertentu.
“Saya tidak paham, apa kemampuan IKA untuk mendukung seseorang dalam ranah politik,” ujar Emban saat diwawancara, Sabtu (23/4). Ia menambahkan, dukungan dapat diberikan, tetapi dalam bantuan moril. Harus digarisbawahi pergerakan itu dilakukan secara individual.
Setali tiga uang, Sekretaris Jenderal IKA Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Unhas, Irwan Ade Saputra, mengatakan secara kelembagaan tidak boleh melakukan politik dukung-mendukung. Sebab IKA mencakup hampir semua latar belakang profesi diantaranya politisi, birokrat, pengusaha, professional, dan akademisi.
Menurut dosen yang sering disapa Irwan ini, jika ikatan alumni diarahkan mendukung salah satu partai, pasti ada alumni lain tidak setuju. Secara etika, katanya IKA adalah rumah besar alumni, semua kepentingan, potensi ada termasuk orang-orang dari berbagai partai politik.
“Bila ada alumni terlibat dalam politik, mendukung mereka dalam menjalankan tugas-tugasnya adalah tanggung jawab kita sebagai sesama alumni. Batasannya, kita hanya mendukung mereka menyalurkan aspirasi-aspirasi politiknya,” kata Irwan, Minggu (24/4).
Menurut Pengamat Politik dan Kebangsaan, Arqam Azikin, menanggapi banyaknya jenis organisasi, dari lembaga kemasyarakatan, sosial, pendidikan, profesi, hingga yang memfokuskan kinerja pada bidang politik, contohnya partai. Namun tidak semuanya harus berpolitik.
“Tidak semua organisasi bisa dihubungkan dengan politik mengingat perbedaan ruang dan kepentingan di dalamnya,” tegas Arqam dalam wawancara via Google Meet, Jumat (22/4).
Semua bersepakat ikatan alumni tidak berhubungan dengan politik. Kegiatannya mesti berbau keilmuan, bernuansa kemasyarakatan, sosial, bahkan bisa masuk dalam pengembangan kemampuan anggotanya dan kegiatan kemanusiaan.
Lebih lanjut, Arqam menjelaskan penyalahgunaan IKA sebagai media politik praktis dapat mencederai marwah perguruan tinggi dan juga mencederai nama alumni secara keseluruhan. Komponen dalam dunia kampus yang bernama sivitas akademika, tidak ada hubungan struktural dan komando apalagi dalam politik praktis.
“Kasus sebelumnya tentang IKA kampus yang masuk dalam politik, bisa dipastikan ada oknum organisasi tersebut yang menyalahgunakan kewenangan dan fungsinya,” ujar Arqam.
“Supaya IKA dapat bermanfaat dalam politik, ikatan alumni bisa memberikan sumbangsi pemikiran dengan memberikan konsep implepentasi program. Itulah salah satu cara politik dan IKA dapat bersandingan, agar marwah perguruan tinggi tetap terjaga,” pungkas Arqam.
Universitas bukan milik pribadi ataupun kelompok tertentu. Oleh karena itu, setiap komponen yang menjadi bagian perguruan tinggi harus menyadari marwah institusi itu sendiri. Mengambil kesempatan dan manfaat dalam IKA yang menjadi bagian dari perguruan tinggi dapat berdampak tidak hanya pada universitas, tapi juga sivitas akademika lainnya.
0 comments:
Post a Comment