Ketika budaya politik milenial dihadapkan dengan kepentingan politik pragmatis oleh para elit politik menuju momentum pemilu 2024. Keterbukaan informasi sebagimana ciri khas budaya politik pemilih milenial masih dimanfaatkan untuk mengakomodasi kepentingan “kemenangan partai” oleh sebagian kalangan. Pemilu yang seharunya menjual program kerja dan komitmen membangun dipenuhi oleh intrik-intrik dan kecurangan politik demi tampuk kekuasaan. Namun, pada generasi ini juga sering dipandang menghiraukan kondisi politik, terutama ketika pesta demokrasi.
Sehingga perlu disadari untuk pemilih milenial yang sering kali dianggap sebagai kelompok masyarakat yang tidak peduli dengan persoalan politik. Untuk mampu memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, peduli terhadap informasi yang tepat tentang politik dan berkontribusi dalam menumbuhkan kesadaran, keterlibatan dan partisipasi politik pada pemilih milenial. Mengingat bahwa kelompok pemilih milenial ini yang selalu diperhitungkan pada setiap masa, yang sering ditempatkan sebagai objek daripada subjek politik sehingga sangat memungkinkan terciptanya pemilih milenial yang apatis terhadap dunia politik. Namun, dengan kesadaran akan politik pada pemilih milenial mampu membawa politik bangsa yang lebih baik. Saat ini generasi pemilih milenial perlu mendapatkan political education dengan learning by doing yang berprinsip (dari anak muda, oleh anak muda, dan untuk anak muda) untuk itu perlu diimplementasikan sebagai upaya meningkatkan kesadaran dan partisipasi dalam ranah politik dan kebijakannya.
Pemilih pemula atau kelompok generasi muda yang sering disebut dengan pemilih milenial relatif berdampak cukup besar terhadap pemilihan umum legislatif. Berdasarkan survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS), pemilu 2024 mendatang akan didominasi oleh kaum Generasi Z dan milenial dengan rentang usia 17-39 tahun mendekati 60%. Namun, salah satu yang menjadi perhatian adalah pemilih pemula masih memiliki tingkat pendidikan politik rendah, sehingga terbuka untuk dijadikan sasaran terlibat, terpengaruh, atau terangsang oleh isu-isu negatif yang biasa terjadi dalam proses politik, seperti dimobilisasi dan dipolitisasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Political education sangat diperlukan agar pemilih baru tidak buta politik dan menjadi korban penipuan politik, sehingga dapat menanamkan pemahaman yang kuat tentang berbagai konsep dan simbol politik pada generasi muda, serta mempengaruhi kesadaran politik pada pemilih milenial. Akibatnya, setiap pemilih pemula membutuhkan pemahaman politik yang tinggi agar dapat berpartisipasi dalam kegiatan politik.
Perlu juga disadari bersama-sama dan partai politik untuk menghindari praktek politik kotor dengan tidak memainkan isu-isu terkait politik identitas, money politik, kampanye hitam dan sederet aksi kecurangan lainnya. Sebab, kenyataannya bahwa isu-isu demikian sudah tidak relevan dengan pola pikir kaum milenial yang semakin terbuka. Hal ini tidak lepas dengan upaya preventif yang efektif dalam menumbuhkan kesadaran, keterlibatan, dan partisipasi politik pada generasi milenial. Dalam hal ini, generasi milenial harus menjadi smart people sehingga tidak hanya menjadi objek dalam panggung perpolitikan nasional, tetapi juga menjadi subjek yang kritis serta dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik yang demokratis dan menyadari akan hak dan tanggungjawab dengan baik.
Partisipasi pemuda milenial dalam perpolitikan nasional diharapkan mampu meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Pemuda adalah tulang punggung masa depan bangsa yang berperan besar bagi eksistensi sebuah bangsa. Oleh karena itu, generasi muda harus memiliki wawasan, pengetahuan, dan pengalaman yang cukup sehingga dapat berkontribusi secara aktif dan partisipatif dalam pembangunan nasional.
0 comments:
Post a Comment