TEPAT pada 7 September 2023 lalu, saya menyampaikan hasil rapat kaum
oposisi di kediaman Bachtiar Chamsyah kepada Anies Baswedan, pada
kesempatan ngopi pagi bersama Anies, Jumhur, dan Faizal Assegaf, di
kantor Abraham Samad. Ikhwan penting hasil rapat kaum oposisi itu adalah menyampaikan nama
Gatot Nurmantyo untuk dipertimbangkan jadi Ketua Timses Amin. Ketika
Anies podcast, kepada Ahmad Ali, Wakil Ketua Umum Partai Nasdem,
yang datang terlambat, saya jelaskan kembali posisi keinginan kaum
oposisi untuk mengusung Gatot Nurmantyo sebagai calon Ketua Timses Amin.
Saat
ini masyarakat pendukung Amin sedang bersyukur telah melewati etape
pertama perjuangan, yakni pendaftaran. Beberapa waktu lalu berbagai
tantangan bak gelombang tinggi serta badai terus-menerus menghantam
Amin.
Baik rencana kriminalisasi Anies dan Muhaimin maupun tebang
pilih dalam menersangkakan menteri-menteri Nasdem oleh rezim penguasa.
Namun, pendaftaran adalah baru babak pertama. Meskipun perlu disyukuri,
tantangan berikutnya tidak kalah besarnya.
Tiga tantangan utama yang akan dihadapi Amin ke depan adalah sebagai berikut.
1.
Amin harus konsisten menunjukkan arah perubahan dalam perjuangannya.
Konsistensi ini akan terlihat dari visi misi yang disampaikan,
pembentukan tim sukses dan positioning yang asimetris dengan rezim yang ingin diubah.
Visi
misi Amin yang beredar cukuplah mantap. Penuh pesan perubahan. Sehingga
mewakili aspirasi keinginan rakyat untuk perubahan. Tidak kalah dengan
Nawacita Jokowi tentunya. Alhamdulillah saya dan tim oposisi berkesempatan memberikan masukan dalam visi misi tersebut di Jalan Brawijaya VII, Kamis, 13 Oktober lalu.
2.
Langkah kedua adalah menyusun timses. Ketika suatu hari Sudirman Said
menawarkan saya menjadi Dewan Pakar di Timses, saya men-challenge relevansi keterlibatan saya, sebagai apa? Baik sebagai representasi kelompok maupun representasi pemikiran.
Dalam
pembentukan timses umumnya terjadi tarik-menarik kepentingan, yang bisa
jadi mendegradasi Amin dalam dua hal, yakni perasaan representasi dan
bias atau melemahkan isu/simbol perubahan.
Jika representasi
orang dalam timses hanya menunjukkan massa pendukungnya, maka risikonya
adalah kehilangan representasi isu. Apa itu?
Representasi isu menurut Jusuf Kalla (dalam berbagai pertemuan dengan kaum oposisi), yakni isu perubahan, mempunyai "captive market" sedikitnya 30 persen total suara pemilih. Hal ini menurut Kalla dimiliki oleh orang-orang oposisi.
Parpol
pendukung Amin, di luar PKS, tentu kesulitan masuk dalam isu dan
tema-tema perubahan. Sebab, mereka adalah bagian dari kekuasaan Jokowi.
Sebuah contoh misalnya di pasangan lain, yakni ketika Mahfud MD
menghujat habis sistem hukum dan politik era Jokowi, beberapa waktu
lalu, netizen langsung mem-bully Mahfud dengan judul "Wapres Ganjar Mengkritik Menkopolhukam".
Dengan
demikian, maka komposisi timses Amin harus seimbang antara kelompok
oposisi dan parpol pendukung. Kecuali Amin berani mengambil risiko
kehilangan suara rakyat yang ingin perubahan.
Tentu saja timses
harus diisi juga oleh berbagai perwakilan golongan yang ada di
Indonesia. Sebab, warna keberagaman Amin harus mencapai wawasan
nusantara. Jika terlalu Jawa Sentris, rakyat luar Jawa akan menggerutu.
3.
Ketua Timses adalah hal ketiga yang vital. Ketua tim harus juga
merepresentasikan sosok pemimpin perang yang kokoh. Sebagai pemimpin dia
harus mengerti strategi perang, mampu mengonsolidasikan kekuatan dalam
waktu 100-an hari lagi dan banyak jaringan untuk mendapatkan dukungan,
baik material maupun nonmaterial. Kekuatan yang harus dikonsolidasikan
tentu terkait dengan visi misi perubahan.
Mengapa Gatot Nurmantyo?
Gatot
Nurmantyo adalah sosok Jenderal oposisi yang 5 tahun belakangan ini
mengemban isu perang global, yakni antikomunis. Isu ini mengena pada 50
juta lebih masyarakat Indonesia usia di atas 50 tahun. Secara strategis
isu ini diametral dengan Jokowi dan rezimnya yang mengusung rehabilitasi
sepihak pada korban/pelaku G30S PKI melalui Keppres 17/2022.
Jumlah
suara pendukung Gibran, jika diasumsikan paralel dengan isu Keppres
17/2022 tersebut berjumlah sekitar 15 juta jiwa dan itu akan mendukung
Prabowo-Gibran. Sebaliknya, jika Gatot menjadi Ketua Timses Anies,
sedikitnya jumlah yang sama akan mendukung Amin, sebuah jumlah korban
kekejaman G30S dulu.
Kedua, Gatot Nurmantyo merupakan jenderal
penuh dengan kedekatan luar biasa pada Islam. Guru ngaji Gatot dan
Muhaimin Iskandar, salah satunya adalah KH Thoyifur di Purworejo. Namun,
Gatot yang gandrung berguru ke kiai-kiai dan ulama, mempunyai jaringan
yang kuat dengan tokoh masyarakat.
Sebagai orang Solo asli (bukan
Tegal) maupun mantan Danrem Bogor dan Panglima di Jawa Timur, Gatot
memiliki pengetahuan bagaimana mengorganisir kekuatan di sana.
Ketiga,
Gatot dipersepsikan dekat dengan Tommy Winata. Tommy Winata kabarnya
adalah salah satu dari 9 naga yang paling disegani di Indonesia. Namun,
bagi Gatot, Tommy adalah sosok nasionalis yang menjadi supporter seumur
hidup bagi eksistensi tentara nasional.
Kepada saya, Gatot pernah
mengatakan bahwa dia mengenal Tommy ketika masih naik sepeda motor dan
antre untuk ketemu Jenderal Edi Sudrajat. Sekali lagi Gatot bukan anak
buah Tommy. Bahkan, Gatot mendukung ide negara di atas kekuatan dan
kepentingan konglomerat.
Sosok yang demikian kokoh pada Gatot
Nurmantyo adalah pilihan utama bagi Amin jika mau menang. Hal ini pun
saya ungkap di publik karena beberapa hari lalu saya membaca di media,
Gatot bersedia mundur dari KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia)
jika dilamar Amin sebagai timses.
Tentu saja banyak kekhawatiran
bahwa rezim akan memblokade Amin jika bergandengan dengan Gatot. Namun,
sebagai ahli strategi, saya meyakini "perang segitiga" capres-cawapres
bukan era lalu lagi.
Sejak pendaftaran capres-cawapres ke KPU,
maka situasi berubah. Kekuatan rezim terbelah. Fokus semua adalah
masing-masing memenangkan calonnya.Demikianlah pikiran saya ini. Salam Perubahan dari Danau Toba.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
0 comments:
Post a Comment