JAKARTA (KONTAK BANTEN) - Lembaga survei diminta untuk lebih independen, jujur, dan mengedepankan transparansi ke publik, bukan menggiring opini publik beralih memilih ke pasangan calon atau partai yang menggunakan jasa mereka.
Aktivis Kebangsaan Yogyakarta, Widihasto Wasana Putra, saat diminta pandangannya mengenai maraknya lembaga survei jelang Pilpres 2024, mengatakan keberadaan beberapa lembaga survei menjelang pemilu memang patut dipertanyakan, terutama metodologinya dan pihak yang memberikan pendanaan.
"Siapa yang mendanai perlu diungkap ke publik, karena rakyat harus mendapat pembelajaran politik yang berbasis data akurat dan bermartabat," kata Widihasto.
Survei adalah alat riset yang berbasis ilmu pengetahuan. Sains itu basisnya adalah kejujuran melihat data kuantitatif. Aspek kejujuran dalam melihat fakta kuantitatif adalah inti dari sains.
Sebab itu, setiap lembaga survei pertama-tama harus terbuka dan jujur, siapa sebagai penyandang dananya.
"Kalau penyandang dana tidak disebut maka itu peluang untuk melacurkan diri sangat tinggi," kata Widihasto.
Kalau itu yang dilakukan, artinya lembaga survei yang ada tidak sayang dan tidak cinta bangsa, hanya mementingkan pemesan yang tidak dibuka datanya ke publik. Cara seperti itu pun sebenarnya merupakan tindakan pengkhianatan terbesar terhadap profesi.
"Kalau profesi tidak punya moral, satu bangsa hampir pasti suram karena semua bisa dibeli dengan uang. Kalau hasil survei meleset dikit, tidak masalah karena ada margin of error. Tapi di beberapa survei yang kita lihat, angka-angka kok tidak sesuai fakta sederhana yang bisa dilihat kasat mata," katanya.
Kalau lembaga survei tidak peduli dengan kebenaran yang diharapkan dari informasi yang disampaikan di media massa, hal itu menyesatkan karena rakyat sudah tahu tujuannya palsu. "Harus muncul lembaga survei yang benar-benar idealis dan akurat. Orang mau mencari kebenaran dan itu dimulai dari kejujuran soal penyandang dana dan diaudit oleh auditor yang kredibel," tandas Widihasto
Konflik Kepentingan
Secara terpisah, pakar komunikasi politik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jawa Timur, Surabaya, Zainal Abidin, mengatakan bahwa memang sulit disangkal bahwa keberadaan lembaga survei dengan hasil kerjanya selama ini tidak lepas dari konflik kepentingan dari pihak pemesan.
Lembaga survei yang umumnya diawaki oleh akademisi umumnya tidak punya cukup dana untuk melakukan survei secara independen, maka sangat bergantung pada pihak pemesan. Sebab itu, masyarakat diminta lebih bijak dengan melihat program kerja dan rekam jejak saat memilih seorang calon pemimpin atau partai.
"Sampai saat ini, saya meragukan ada lembaga survei yang betul-betul independen. Rasanya sulit ada lembaga survei yang mau mengerjakan penelitiannya secara gratis. Rata-rata lembaga diisi oleh akademisi yang tentu memiliki kemampuan finansial yang terbatas, apalagi jika harus menggelar survei secara nasional," kata Zainal.
Saat survei, lembaga sulit lepas dari kepentingan pihak pemesan. Mereka tentu lebih mengedepankan kepentingan kliennya. Sebenarnya ini adalah kondisi gayung bersambut atau simbiosis mutualisme antara pemesan yang mayoritas merupakan pihak yang maju dalam kontestasi politik dengan lembaga survei itu sendiri sehingga sulit kalau ingin mengharapkan hasil survei yang objektif.
"Kadang kala transparansi soal metode survei, wilayah sampling juga kurang. Banyak yang kita tidak tahu. Saran saya, masyarakat jangan terlalu mengandalkan survei. Lebih baik menilai seorang calon, siapa pun dia, dari program-program yang ditawarkan dan rekam jejak selama menjadi pemimpin sebelumnya," katanya.
0 comments:
Post a Comment