Transformasi digital mencetak dua sisi kehidupan. Baik buruk
penggunaannya kembali ke tangan pengguna. Dampak baiknya mungkin tidak
terbilang, misalnya kemudahan mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan
juga membantu kita menyelesaikan pekerjaan dengan mudah dan efisien.
Namun dampak buruknya juga tidak terduga, misalnya peretasan, pencurian
data pribadi, pornografi, dan lain sebagainya.
Salah satu
sisi positifnya, teknologi dapat memfasilitasi inisiatif baik. Kita
dapat membantu lebih banyak orang tanpa harus bertemu fisik. Misalnya
membantu orang-orang yang tertimpa musibah melalui kampanye digital.
Namun, dalam dunia digital, nyatanya tidak selamanya Inisiatif baik
bermaksud baik. Misalnya poverty porn atau eksploitasi kemiskinan.
Terkesan baik, namun eksploitatif.
Tentu banyak orang yang
menyukai konten-konten inspiratif yang menyentuh hati ditengah
berita-berita buruk seperti berita tentang tawuran, korupsi, dan lain
sebagainya. Seperti memberi air di padang pasir. Oleh karena itu, kita
sudah tidak asing lagi melihat gambaran-gambaran kemiskinan berseliweran
baik di media sosial maupun televisi dengan ajakan untuk membantu
mereka atau berdonasi.
Gambar-gambar atau video-video
tersebut biasanya berfokus pada raut wajah yang sedih, diperkuat
deskripsi tentang betapa sulit dan sedihnya kehidupan orang-orang miskin
tersebut. Misalnya, kita pasti sering menemukan kampanye digital dengan
foto anak-anak yang kurus, tidak pakai baju, kotor, dan muka memelas
dipakai untuk menggugah rasa empati dan belas kasihan orang-orang agar
berdonasi kepada penyelenggara kampanye tersebut. Selain ajakan untuk
berdonasi, konten kreator juga dapat langsung memberikan uang dan
mempertontonkan kedermawanan mereka yang disertai sorotan pada ekspresi
haru dan syukur dari penerima.
Sekilas seolah tak ada yang
salah, namun jika kita berpikir kembali mengenai keuntungan yang mereka
dapatkan, apakah tujuan konten-konten tersebut benar untuk menolong atau
sekedar mencari keuntungan dari kisah sulit mereka?
Konten-konten
seperti ini juga dipertanyakan secara etis karena media dianggap
memanfaatkan kesusahan orang-orang miskin dan empati kita untuk
menaikkann rating mereka. Semakin sulit kehidupan mereka maka semakin
banyak yang menonton tayangan tersebut. Tidak heran konten-konten
tersebut seringkali ditambahkan bumbu-bumbu dramatisir, bahkan dalam
salah satu tayangan televisi orang-orang yang dibantu tersebut sengaja
diminta untuk menangis dan menunjukkan ekspresi haru.
Dengan ini terang definisi Poverty Porn atau
eksploitasi kemiskinan adalah media yang mengeksploitasi kondisi orang
tidak mampu untuk mengambil simpati untuk meraih keuntungan bagi media
itu sendiri, misalnya untuk menaikkan rating, mendapatkan likes,
viewers, atau donasi.
Selain untuk menaikkan rating, tayangan
seperti ini bisa menjadi pemuas ego penonton yang kemudian bersyukur
atas kondisinya dengan melihat kemiskinan tersebut. Penonton akan merasa
lebih “beruntung” dan akhirnya tergerak untuk memberikan kebahagiaan
kepada mereka yang “kurang beruntung”.
Akhirnya media menganggap
kemiskinan seperti suatu objek yang bisa dijual. Potret kehidupan yang
bahkan sampai mengulik dalam cerita sedih seorang individu untuk mengais
empati lebih banyak orang. Eksploitasi kemiskinan menjadi suatu
persoalan karena dapat mengakibatkan misinterpretasi terhadap suatu
fenomena atau suatu masyarakat. Yang perlu kita ketahui, kemiskinan
merupakan permasalahan sistemik yang multifaktor sehingga penanganannya
tidak hanya bersifat satu arah, yakni dengan memberi orang miskin uang
dadakan.
Salah satu faktor penting yang tidak boleh dilupakan
adalah bagaimana pola kebijakan pemerintah daerah, apakah lebih banyak
digunakan untuk pembangunan infrastruktur atau pengembangan sumber daya
manusia. Selain itu, terkadang ini juga membuat streotipe atau
misinterpretasi terhadap suatu masyarakat. Contohnya masyarakat Papua
yang sering digambarkan miskin dan tertinggal. Nyatanya tidak semua
masyarakat di Papua miskin, dan tidak semua orang Papua suka
direpresentasikan demikian. Dengan atau tanpa konsen, tindakan
mengeksploitasi kemiskinan ini perlu banyak didiskusikan. Apakah tidak
ada cara lain untuk dapat membahas kemanusiaan? Selain membuat orang
lain terlihat lebih menyedihkan daripada manusia lainnya?
Pada
kode etik pekerja sosial disebutkan pekerja sosial profesional
menghargai kepentingan klien dan menghargai hak-hak klien dimana hak
asasi adalah pemahaman bahwa setiap orang dilahirkan bebas dan setara
dalam martabat dan haknya.
Pada pasal 25 tercantum bahwa setiap
orang berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Dan kegiatan ini
sangat mendukung dalam perealisasian daripada pasal tersebut. Namun,
perlu kita ingat pada pasal 1 disebutkan bahwa kita semua hidup
sederajat. Martabat adalah fondasi dari hak asasi manusia.
Dengan
begitu, penting untuk kita juga memahami cara terbaik dalam pemenuhan
misi sosial. Mengenai martabat, tidak semua orang ingin digambarkan
dengan tidak berdaya atau tidak mampu di depan khalayak umum baik pada
iklan donasi atau konten digital. Kita perlu melihat mereka sebagai
sosok yang juga memiliki keberdayaan untuk mengembangkan diri.
Teks: Zalfaa Aurelia (CIMSA UI) dan Dian Amalia Ariani (Suara Mahasiswa UI)
Foto: Kumparan
Pers Suara Mahasiswa UI 2022
0 comments:
Post a Comment