Tuesday, 29 July 2025

Ketika Instansi Pemerintah Dipaksa Muhasabah Berjamaah

 

 Indonesia, negeri tropis yang kaya akan musim. Selain musim hujan dan kemarau yang akhir-akhir ini seakan lupa akan jadwalnya, kini kita punya musim baru yang tak kalah rutin: musim penilaian mandiri.  Sepanjang tahun instansi pemerintah di seluruh pelosok negeri “dipaksa” untuk melakukan ritual tahunan yang disebut “muhasabah berjamaah.” Sebuah proses introspeksi massal di mana pegawai yang beruntung tergabung dalam derap langkah pasukan palugada, tenggelam dalam tumpukan dokumen pembuktian dan layar penuh bobot dan angka. 

Ketika Angka Lebih Suci dari Makna

Secara etimologis, “muhasabah” berasal dari bahasa Arab: hasaba–yuhasibu–hisaban, yang berarti menghitung, mengevaluasi, atau mengoreksi. Menukil Umar bin Al-Khattab RA: “Hasibu anfusakum qabla antuhasabu“~ Adakanlah perhitungan kepada dirimu sebelum kamu diperhitungkan kelak. 

Dalam tradisi spiritual, muhasabah adalah praktik mendalam untuk menilai diri secara jujur dan tulus—sebuah upaya kontemplatif untuk memperbaiki diri secara berkelanjutan sebagai bekal menuju kehidupan abadi.

Namun ketika konsep luhur ini dibawa paksa masuk ke dalam ranah birokrasi, ruhnya sering kali terlepas dari raga. Penilaian mandiri yang bertubi menjelma menjadi beban administratif yang kering makna.

Seperti hujan intensitas tinggi tak kunjung henti, pola penilaian semacam ini awalnya menyegarkan, namun lama-lama menenggelamkan. Dan layaknya bencana pada umumnya, banjir self-assessment menyita energi, waktu, dan sumber daya yang besar, bahkan untuk sekedar mempertahankan kewarasan aparatur negara yang dikorbankan.

Pemicu banjir ini dapat diatribusikan pada banyaknya instansi yang latah berlomba mengabadikan ego sektoral dalam balutan bilangan. Masing-masing menerbitkan kitab suci birokrasi modern yang wajib dihafal dan diamalkan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. 

Sebut saja: penilaian kematangan sistem, tata kelola pengadaan, akuntabilitas, hingga transformasi birokrasi. Peraturan dan maklumat datang menerjang lengkap dengan pasal-pasal kriteria, ayat-ayat indikator, dan bobot penilaiannya sendiri. Tak jarang, buku tafsir panduan lebih tebal dari realisasi pelaksanaan. 

Konon, semakin tinggi skor metrik, semakin tinggi pula derajat sebuah instansi di mata otoritas pembina. Predikat “A” atau “Level 3” tak ubahnya gelar kesalehan birokrasi. Dan sebagaimana layaknya ibadah, kesalehan ini harus ditunjukkan secara rapi, lengkap, dan sesuai mazhab. 

Setiap kebijakan, prosedur, laporan, hingga foto kegiatan harus tersedia sesuai daftar uji yang termaktub dalam lampiran. Tak peduli apakah dokumen itu benar-benar mencerminkan praktik atau hanya kosmetik. Yang penting, bukti fisik sesuai narasi yang ingin ditampilkan ke publik. 

Misalnya, demi meraih level tinggi dalam pengendalian internal, sebuah instansi bisa jadi lebih sibuk menyusun dokumen kebijakan, prosedur, dan laporan risiko tanpa memastikan apakah kebijakan itu benar-benar dipahami dan dijalankan oleh pegawai di lapangan, atau apakah risikonya dikelola secara aktif, bukan hanya reaktif ketika ada masalah.

Penilaian akuntabilitas pun tak luput dari pola serupa. Demi predikat BB atau A, instansi berlomba membuat pohon kinerja yang menjulang tinggi namun rapuh di akar substansi. Indikator dirancang rapi, terukur, terstruktur, tapi sering tak menyentuh inti mandat, apalagi menyentuh rakyat. Dalam dunia yang terobsesi angka, relevansi jadi korban pertama.

Begitu pula dengan metrik transformasi, di mana perhatian utama kerap tersedot pada kelengkapan rencana aksi dan laporan aktualisasi. Atau indeks tata kelola pengadaan, yang sering kali tak bisa dicapai tanpa menggunakan aplikasi buatan instansi pembina, terlepas dari apakah aplikasi itu cocok dengan kebutuhan organisasi, dan bebas dari penyakit bawaan aplikasi jebolan proyek perubahan.

Tak heran bila para umbi andalan, yang rutin ditarik ke berbagai “satgas muhasabah”,perlahan mulai mati rasa. Mereka hafal struktur, paham kriteria, tahu padanan dan akronim, serta bisa membedakan narasi berdasarkan selera pemeriksa. 

Maklum, yang diminta memang mirip-mirip, tapi harus dikemas berbagai warna sesuai preferensi masing-masing “kakak pembina”. Maka, pekerjaan introspeksi organisasi pun bergeser menjadi seni adaptasi dan repetisi. 

Repotnya, kadang kita lupa kalau aturan buatan manusia bukan kitab suci. Bisa jadi ada yang salah ketika menyusun operasionalisasi definisi. Contoh sederhana ketika kita bicara tata kelola, harusnya yang diukur itu efektivitas, bukan maturitas. 

Gampangnya, tak semua yang terlihat matang benar-benar enak ketika dimakan. Contoh yang lebih absurd, reformasi terdefinisi sebagai perbaikan berkelanjutan, namun yang dinilai hanya akumulasi dokumentasi serta agregasi dari 29 indeks antara, bukan bagaimana inovasi dapat mencerminkan birokrat yang bersih dan melayani. 

Salah konsep cacat logika semacam ini jelas-jelas mengaburkan tujuan dari muhasabah itu sendiri. Karena, ketika tolok ukurnya tak lagi bisa dipercaya, bisa kita rasakan bersama bagaimana hasilnya. 

Target: Dosa Riya yang Berbahaya

Masalah utama muncul ketika metrik-metrik ini bukan lagi alat ukur, melainkan target yang harus digapai. Target yang sering kali disertai insentif atau sanksi, mengubah niat mulia perbaikan berkelanjutan menjadi sekadar pamer kepatuhan. 

Instansi pun berlomba mempercantik laporan, fokus pada indikator yang mudah dimanipulasi demi predikat di atas piagam penghargaan. Meskipun, realitasnya masih jauh dari harapan.

Namun ironi paling getir justru terasa di pihak evaluator,para “imam besar” yang memimpin jalannya muhasabah berjamaah. Apa jadinya ketika mereka dipaksa menilai anak didiknya sendiri? Ketika keberhasilan kebijakan yang mereka rancang akan diuji bukan berdasarkan dampak, melainkan sejauh mana daerah mampu menyesuaikan narasi dan dokumentasi. 

Di sinilah dilema bermula. Apakah mereka akan jujur, menegakkan kriteria apa adanya meski hasilnya mencerminkan kegagalan program sendiri? Atau akan memilih jalan aman: melonggarkan tafsir, memberi nilai sesuai pesanan, agar semua pihak mendapatkan “keselamatan”? Maka muhasabah pun berubah fungsi: dari alat bantu perbaikan menjadi topeng keberhasilan. Bagaimana jika imam pun tak lagi percaya kepada khotbah yang ia lantunkan?

Reformasi di atas kertas pun kian menjadi pemandangan lumrah. Grafik capaian meroket, indeks membubung tinggi, tapi denyut pelayanan publik tetap datar-datar saja. Integritas yang mestinya jadi fondasi justru terselip di balik presentasi. 

Resistensi birokrasi pun semakin menebal, seperti tembok yang dicat berkali-kali namun retaknya tak pernah ditambal. Sementara itu, rekomendasi hasil evaluasi, yang sejatinya bisa menjadi kompas perubahan, teronggok sunyi dalam lembaran laporan, tanpa ada tangan yang sungguh ingin menyibak jalur perbaikan. 

Mirip lingkaran setan: target memicu formalitas, formalitas mengikis substansi, dan substansi yang hilang tak terpantau membuat perbaikan hakiki sulit terwujud.

Kembali ke Fitrah ~ Perbaikan Berkelanjutan

Untuk mengembalikan ruh muhasabah dalam penilaian mandiri organisasi, kita perlu perubahan paradigma yang radikal, dari sekadar pembangunan repositori menjadi praktik membumi.

Pertama, setiap penilaian mandiri harus dimulai dengan niat yang tulus untuk perbaikan.

Niat adalah inti dari muhasabah, sebuah fondasi batiniah yang menentukan arah dan kejujuran proses. Tanpa niat yang lurus, penilaian hanyalah formalitas yang kehilangan makna, ibadah yang hampa, dan rutinitas yang tidak melahirkan apa-apa.

Dalam konteks birokrasi, niat ini kerap terdistorsi oleh berbagai kepentingan duniawi: insentif menggiurkan, hukuman menakutkan, atau ambisi untuk terlihat berhasil di mata atasan. 

Maka, segala sesuatu yang berpotensi mengganggu kemurnian niat, termasuk penargetan indeks dalam kontrak kinerja atau tekanan untuk mendapatkan predikat tertentu, harus dikaji ulang, kalau perlu dihilangkan.

Kedua, tak semua yang bisa diukur layak dijadikan ukuran.

Ketika terlalu banyak metrik dijadikan target, birokrasi justru kehilangan arah. Energi tersedot untuk mengelola tabel, bukan menyelesaikan masalah. Maka, perlu konsolidasi nasional untuk menyederhanakan, menyatukan, dan memfokuskan indikator ke hal-hal yang benar-benar bermakna. 

Dengan fokus yang lebih tajam, niat baik tadi bisa lebih mudah diterjemahkan dalam arah kebijakan dan pelaksanaan yang berdampak.

Ketiga, niat baik akan menjadi gerak nyata bila dipimpin oleh teladan.

Pimpinan instansi harus menjadi imam dalam “muhasabah berjamaah” ini. Walk the talk, bukan sekadar omon-omon. Keteladanan ini lebih krusial lagi bagi instansi pembina, yang selama ini menjadi arsitek dari berbagai sistem penilaian. Jangan sampai justru terkesan jarkoni, iso ngajar, ora iso nglakoni (bisa ngajarin, ngga bisa ngelakuin)

Keempat, investasi dalam kompetensi dan integritas.

Reformasi sejati tak akan lahir tanpa peningkatan kapasitas evaluator dan pelaksana di semua tingkatan. Evaluasi yang bermakna harus cermat, jujur, kontekstual, dan paham betul makna di balik definisi. Tanpa kompetensi, evaluasi hanya menjadi cermin buram,memantulkan angka, tapi gagal menunjukkan wajah asli birokrasi.

Kelima, kita perlu alat ukur yang bebas dari cacat logika.

Evaluasi harus lebih menekankan pada dampak dan hasil nyata yang dirasakan oleh masyarakat atau pemangku kepentingan, bukan hanya pada kelengkapan dokumen atau rekaman aktivitas. Kesadaran ini sebenarnya mulai tumbuh, misal terlihat dari jargon “RB berdampak”. 

Sayangnya, kertas kerja muhasabah malah ditambah, bukan diubah. Ke depan, kriteria dan pembuktian harus disederhanakan, disesuaikan dengan tujuan perbaikan dan konteks masing-masing instansi, agar tidak menjadi daftar uji administratif yang mudah dimanipulasi.

Keenam, muhasabah menuntut istiqomah

Atau dengan kata lain, ketekunan, komitmen, dan konsistensi. Alat ukur paling canggih dan kekinian pun niscaya kehilangan daya jika tidak diiringi dengan mekanisme tindak lanjut yang nyata, sistematis, dan berkelanjutan. 

Untuk itu, dibutuhkan alat bantu pelacakan substantif: memastikan janji perbaikan benar-benar ditunaikan, bukan sekedar centang hijau,sudah, belum, atau dalam proses perbaikan. Dan misalnya ada salah desain hingga perubahan tidak membawa hasil yang diharapkan, maka diperlukan keberanian untuk mengubah haluan sesuai pencerahan empiris yang terpetakan.

Banjir indeks memang fenomena yang tak terhindarkan dalam aliran reformasi birokrasi negeri ini. Tapi di tengah derasnya arus itu, kita selalu punya pilihan: membiarkannya menjadi ritual penanggulangan bencana tahunan yang melelahkan dan kehilangan makna, atau mengubahnya menjadi hujan rahmat,yang menyuburkan tanah kesadaran, menyemai benih-benih perubahan.

Jadikan tulisan ini sebagai panggilan bagi semua yang terlibat dalam denyut nadi birokrasi: mari kita kembalikan ruh penilaian mandiri sesuai dengan semangat asli muhasabah. Untuk lebih jujur melihat diri, lebih rendah hati menerima kritik, dan lebih berani melangkah ke depan. Bukan sekadar mengumpulkan bukti, tapi membuktikan perbaikan.

Meski perlahan, meski tidak langsung mendapat tepuk tangan.

 oleh by Ditya Permana

 

Share:

0 comments:

Post a Comment

Selamat HUT Byangkara Ke 79

Selamat HUT Byangkara Ke 79

DPRD KAB SERANG SELAMAT HUT BYANGKARA KE 79

DPRD KAB SERANG SELAMAT HUT BYANGKARA KE 79

BERBUAT BAIKLAH SESUNGUHNYA UNTUK DIRI KITA

BERBUAT BAIKLAH SESUNGUHNYA UNTUK DIRI KITA

DINAS PENDIKAN BANTEN SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL

DINAS PENDIKAN BANTEN SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL

Silakan Klik Kerja sama Publikasi

MOTO KAMI


Cermat Cerdas Tepat Dalam Informasi Menjadi Media Inpendent Berita Tanpa Intervensi

Unsur Pimpinan DPR RI 2024 2029

Ucapan Selamat Pelantikan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serang

Ucapan Selamat Pelantikan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serang

PT KONTAK MEDIA PERSADA GROUP KLIK

Aku Tahu Apa Yang Kau Suka ?

Aku Tahu Apa Yang Kau Suka ?

Hidup Untuk Saling Melindungi Bukan Saling Melukai

Hidup Untuk Saling Melindungi Bukan Saling Melukai

BUMN PEDULI BANGSA

BUMN PEDULI BANGSA

Penawaran Kerja Sama

TV KONTAK BANTEN

KEMENTRIAN SEKRETARIS NEGARA

KEMENTRIAN SEKRETARIS NEGARA

Hari Amal Bhakti ke 78 Bakti Untuk Negeri

Hari Amal Bhakti ke 78 Bakti Untuk Negeri

FORUM UNIVERSITAS TRISAKTI

FORUM UNIVERSITAS TRISAKTI
Media yang kuat butuh rakyat yang terlibat, mengelola kebebasan dengan bertanggung jawab._ Najwa Shihab

SILAKAN PASANG IKLAN KLIK

IBU KOTA NUSANTARA

IBU KOTA NUSANTARA

KONTAK MEDIA GROUP

BACA BERITA BIKIN PAS DI HATI YA DI SINI !!

INFO CPNS DAN PPPK 2025 KLIK

PESAN MAKANAN ENGAK RIBET

MOTO KAMI


BERBUAT BAIK TERHADAP SESAMA SESUNGGUHNYA UNTUK KEBAIKAN DIRI KITA

KEMENTRIAN HUKUM DAN HAM

KEMENTRIAN HUKUM DAN HAM

INFO DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR) RI

KEMENTRIAN BUMN

KEMENTRIAN BUMN

SELAMAT HARI ADIYAKSA KE 62

SELAMAT HARI ADIYAKSA KE 62

Jadikan Kritik Masyarakat Sebagai INTROPEKSI

Jadikan Kritik Masyarakat Sebagai INTROPEKSI

ENERGI KOLOBORASI

ENERGI KOLOBORASI

Bergerak TAK TERBATAS

Bergerak TAK TERBATAS

KELUARGA BESAR KEJAKSAAN RI

KELUARGA BESAR KEJAKSAAN RI

SENYUM ADALAH IBADAH

SENYUM ADALAH IBADAH

SELAMAT DAN SUKSES

SELAMAT DAN SUKSES

Bergerak Tumbuh Bersama

Bergerak Tumbuh Bersama

SELALU BERBUAT UNTUK BANGSA

AWAS BAHAYA LATEN KORUPSI

AWAS BAHAYA LATEN KORUPSI

Kata Motifasi Koran Kontak Banten

Kata Motifasi Koran Kontak Banten

Mau Kirim Tulisan Artikel Klik aja

MOTO KAMI


Sekecil APAPUN Yang Anda Perbuat Akan Menjadikan Cermin Kami untuk Maju

BARCODE INFO KERJA KLIK

Silakan Pesan Buku Catatan Kehidupan Ali

Berita Populer

INFO KPK

INFO KEJAKSAAN RI

Bergerak Kita Bangkit untuk Indonesia

Bergerak Kita Bangkit untuk Indonesia

BERIKAN SENYUM UNTUK MU INDONESIA

BERIKAN SENYUM UNTUK MU INDONESIA

BANGKIT LEBIH KUAT

BANGKIT LEBIH KUAT

AYO SELAMATKAN BUMI KITA

AYO SELAMATKAN BUMI KITA

PRAJA MUDA JIWA MUDA

PRAJA MUDA JIWA MUDA

Hati Nurani Tidak Ada Dalam Buku Tapi Ada di Hati

Hati Nurani Tidak Ada Dalam Buku Tapi Ada di Hati

BERGERAK DAN BERGERAK

Seputar Parlemen

INFO KPK JAKARTA

INFO ICW NASIONAL KLIK

Salam Damai Untuk Indonesia

Layanan Kota Tangerang Selatan BPHTB

Kementrian

Susunan Redaksi

Kementrian PU

Support