![]() |
JAKARTA ( KONTAK BANTEN) - Partai NasDem berharap Mahkamah Konstitusi (MK) menunjukkan kelasnya sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dalam memutus perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa Pilpres 2024.
"Terkait dengan amar putusan, tentunya MK dituntut menunjukkan kelasnya
dalam kapasitas sebagai penjaga atau pengawal konstitusi," ucap Ketua
DPP Partai NasDem Atang Irawan dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.
Dalam hal MK sebagai pengawal konstitusi, menurut Atang, melekat pula
tanggung jawab sebagai lembaga penyeimbang dalam rangka proses periksa
dan timbang (check and balance).
"Apalagi, kedudukannya sebagai kekuasaan kehakiman, melekat pula fungsi kontrol terhadap eksekutif," imbuh Atang.
Atang menilai perhelatan sidang MK menunjukkan orkestrasi yustisia yang
menarik dan para saksi maupun ahli menyajikan catatan-catatan yang
dapat menjadi magnitudo keyakinan hakim dalam memutus permohonan.
"Hakim MK sedang diuji komitmen kenegaraannya dalam rangka menegakkan
konstitusi, bahkan hakim MK sedang ditonton kredibilitasnya dalam
mengawal konstitusi yang selama ini banyak kalangan yang skeptis akibat
turbulensi putusan batas usia capres dan cawapres sehingga terjadi
degradasi kepercayaan publik terhadap MK," tuturnya.
Lebih lanjut, Atang menyoroti dalil permohonan sengketa pilpres perihal
kedudukan legal pencalonan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.Menurut dia, dalam persidangan dapat terlihat bahwa putusan MK yang
melandasi pencalonan Prabowo-Gibran, yakni Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023
tidak bisa langsung diberlakukan karena harus ditindaklanjuti dalam
bentuk peraturan KPU (PKPU).
"Berbeda jika putusan MK hanya bersifat menghapus atau membatalkan
norma, bisa langsung berlaku tanpa harus mengubah atau mengganti
peraturan (self executing)," ucap Atang.
Dalil permohonan tersebut, kata dia, bisa jadi terbukti karena KPU
seharusnya melakukan perubahan terlebih dahulu terhadap PKPU Nomor 19
Tahun 2023 yang digunakan untuk verifikasi pasangan calon presiden dan
wakil presiden.
Selain itu, lanjut dia, KPU pernah berkonsultasi dengan Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan yang menyarankan agar
berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR. Jika tidak, dianggap melanggar
aspek formal pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Sebagai catatan, MK pernah menyatakan inkonstitusional bersyarat jika
perumusan undang-undang tidak memperhatikan aspek formal pembentukannya
(putusan uji formal terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja)," kata Atang.
Di samping itu, dia meyakini bahwa MK bisa berwenang mengadili
dalil-dalil permohonan dalam sengketa pilpres kali ini jika memang
terbukti ada stagnasi dalam skema sistem keadilan pemilu (electoral justice).
"Bahwa Undang-Undang Pemilu telah membagi habis penanganan pelanggaran
terhadap organ-organ seperti KPU, Bawaslu, Gakkumdu, DKPP, bahkan
peradilan TUN," ucapnya.
Namun, jika terjadi stagnasi dalam skema electoral justice, kata Atang, MK dapat mengambil alih kewenangan tersebut dalam kapasitasnya sebagai penjaga konstitusi.
"Apalagi, MK bukanlah lembaga peradilan tingkat banding," ucap Atang.
0 comments:
Post a Comment