JAKARTA ( KONTAK BANTEN) Korupsi di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk diduga merugikan negara hingga Rp 271 triliun. Jumlah itu merupakan akumulasi dari kerugian ekologis, lingkungan hidup, ekonomi, hingga biaya pemulihan.
Dalam penghitungan kerugian itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah melibatkan Ahli Lingkungan Hidup Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo.
Namun demikian kerugian negara dalam kasus ini masih menuai polemik.
Praktisi hukum lingkungan Kurnia Zakaria menyatakan bahwa yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sedangkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), tambah dia, hanya berwenang melakukan pemeriksaan dan audit sedangkan terkait kerugian negara tetap wewenang konstitusional pada BPK (SEMA 4/2016).
Kurnia lantas mempertanyakan apakah Bambang bagian dari BPK atau lembaga audit negara seperti BPKP dan atau penyidik KPK. Lalu apakah kerugian perusakan ini murni kerusakan lingkungan sebagai dampak dari tindakan korupsi dalam tata kelola sesuai pidana lingkungan.
Menurut Kurnia, kerusakan lingkungan merupakan akibat yang dilarang oleh UU Lingkungan. Maka jika demikian, pelakunya seharusnya juga dijerat sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup. "Bukan dipaksakan sebagai tindak pidana korupsi apalagi berdasarkan penafsiran yang menyimpang dari maksud UU. Seharunya juga Kejagung terapkan pidana lingkungan hidup,” jelasnya.
"Tetapi ahli itu juga dipergunakan sebagai penilaian awal dalam dalam kasus ini, di luar pengadilan atau melalui pengadilan," sambung Kurnia yang juga kriminolog itu.
Di lain sisi, Kurnia mempertanyakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang hanya diam saja dalam kasus ini. " Besarnya kerugian negara seperti itu, kok Kementerian LHK tak bersuara tuh," tandasnya.
Adapun merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014 itu berisi tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
Pasal 4
(1) Penghitungan kerugian lingkungan hidup dilakukan oleh ahli di bidang:
a. pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup; dan/atau;
b. valuasi ekonomi lingkungan hidup.
(2) Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk oleh:
a.
pejabat eselon I yang tugas dan fungsinya bertanggung jawab di bidang
penaatan hukum lingkungan Instansi Lingkungan Hidup Pusat; atau
b. pejabat eselon II Instansi Lingkungan Hidup Daerah.
(3) Penunjukan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan atas:
a. bukti telah melakukan penelitian; dan/atau
b. bukti telah berpengalaman, di bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Penunjukan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun sesuai dengan Format Penunjukan Ahli sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
(1) Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang dilakukan oleh ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sesuai dengan Pedoman Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Pedoman Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, dan/atau masyarakat.
Pasal 6
(1) Hasil penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup oleh ahli dipergunakan sebagai penilaian awal dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar pengadilan atau melalui pengadilan.
(2) Hasil penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang dihitung oleh ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengalami perubahan dalam proses Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar pengadilan atau melalui pengadilan.
(3) Perubahan besarnya Kerugian Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipengaruhi oleh faktor teknis dan nonteknis.
(4) Faktor teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain :
a. durasi waktu atau lama terjadinya Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup;
b. volume polutan yang melebihi Baku Mutu Lingkungan Hidup;
c. parameter polutan yang melebihi Baku Mutu Lingkungan Hidup;
d. luasan lahan dan sebaran Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup; dan/atau
e. status lahan yang rusak.
(5) Faktor nonteknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain:
a. inflasi; dan/atau
b. kebijakan pemerintah.
Adapun rinciannya kerugian negara itu adalah:
Kerugian Kawasan Hutan:
- Kerugian lingkungan ekologisnya Rp 157,83 Triliun
- Ekonomi lingkungannya Rp 60,276 Triliun
- Pemulihannya itu Rp 5,257 Triliun
Total untuk yang di kawasan hutan adalah Rp 223 Triliun atau lengkapnya Rp 223.366.246.027.050.
Kerugian Non Kawasan Hutan:
- Biaya kerugian ekologisnya Rp 25,87 Triliun
- Kerugian ekonomi lingkungannya Rp 15,2 Triliun
- Biaya pemulihan lingkungan Rp 6,629 Triliun
Total untuk untuk nonkawasan hutan APL adalah Rp 47,703 Triliun
Meski begitu, angka ini bukanlah angka kerugian negara yang timbul dalam kasus ini, melainkan angka awal sebagaimana tertuang dalam pasal 6 ayat 1 di Permen LH 7/2014.
Para tersangka dalam kasus ini tertuding dalam kasus yang merugikan negara sekitar Rp 271 triliun dalam rentang 2015-2022. Kasus melibatkan tiga direksi PT Timah yang menyadari pasokan bijih timah yang dihasilkan sedikit dibandingkan dengan perusahaan smelter swasta lainnya karena penambangan liar yang dilakukan dalam wilayah IUP PT Timah.
Namun, PT Timah yang seharusnya melakukan penindakan terhadap kompetitor, justru menawarkan pemilik smelter untuk bekerja sama. Perusahaan-perusahaan itu kemudian menambang timah secara ilegal di IUP PT Timah. Komplotan juga membentuk tujuh perusahaan boneka yang beroperasi di wilayah itu.
Kerja sama disembunyikan dengan surat kerjasama sewa smelter yang dibuat oleh para direksi PT. Timah. Dokumen lainnya yang dipegang oleh salah satu perusahaan swasta juga Surat Perintah Kerja (SPK) borongan pengangkutan sisa hasil mineral agar bijih timah yang ditampung dari perusahaan boneka terkesan legal.
Peran Tersangka
PT Timah
Direktur Utama PT Timah 2016-2021, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani
Mochtar terlibat dalam permainan korupsi timah bersama Emil Ermindra dan Alwin Albar. Dia diduga berkomplot dalam pembentukan perusahaan boneka yang beroperasi dalam wilayah IUP PT Timah. Dia bersama Emil juga menandatangani surat kerjasama sewa smelter yang dibuat untuk melegalkan bijih timah ini.
Direktur Keuangan Timah 2017-2018, Emil Ermindra
Seperti Mochtar dan Alwin, Emil terlibat dalam pembentukan perusahaan boneka dan pembuatan kontrak dengan para pengusaha smelter. Dia juga menandatangani SPK yang dipegang oleh pengusaha swasta.
Direktur Operasi Produksi PT Timah 2017-2021, Alwin Albar
Alwin dengan Mochtar dan Emil menyadari pasokan bijih timah yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan smelter swasta lainnya karena penambangan liar yang dilakukan dalam wilayah IUP PT Timah. Dia juga terlibat dalam pembuatan dokumen kerjasama dengan para pengusaha smelter.
CV Venus Inti Perkasa
Beneficial Ownership CV Venus Inti Perkasa (VIP) Tamron Tamsil
Tamron Tamsil terlibat dengan pertambangan ilegal di PT Timah. CV VIP memiliki kontrak kerjasama dengan PT Timah untuk melebur bijih timah mereka. Bijih timah untuk peleburan seharusnya didapatkan dari perusahaan rekanan PT Timah lainnya. Namun, Tamron diduga menyuruh anak buahnya, Achmad Albani untuk menyediakan bijih timah dari tambang ilegal di IUP PT Timah.
Adik Tamron Tamsil, Toni Tamsil (perintangan penyidikan/obstruction of justice)
Toni Tamsil dituding menghalangi penegakan hukum atau obstruction of justice. Selama saudaranya, Tamron, diselidiki Toni bersikap tidak kooperatif. Toni dituding menyembunyikan sejumlah dokumen dan alat bukti saat Tamron sedang menjalani penyelidikan. Dia juga dituduh sempat menyewa preman untuk meneror seorang jaksa yang akan menggeledah PT CV VIP.
Direktur Utama CV VIP, Hasan Thjie alias Ashin
Hasan
Thjie alias Ashin merupakan pengembangan penyidikan dari para tersangka
lainnya dalam CV VIP seperti Tamron Tamsil dan Achmad Albani. Pihak
Kejaksaan Agung belum menjelaskan keterkaitan Direktur Utama CV VIP ini
dalam kasus korupsi timah ini.
Mantan Komisaris CV VIP, Kwang Yung alias Buyung
Buyung
merupakan salah satu kaki tangan utama Tamron yang merupakan Beneficial
Ownership dari perusahaan CV VIP. Menurut Kejaksaan Agung, penyidik
harus melakukan pemanggilan dan pengejaran paksa terhadap tersangka
Buyung karena tidak kooperatif dan menghindar dari panggilan penyidik.
Manajer Operasional Tambang CV VIP, Achmad Albani
Achmad
Albani merupakan salah satu petinggi CV VIP yang ditahan bersamaan
dengan Tamron. Achmad diinstruksikan oleh Tamron untuk menyediakan bijih
timah dari tambang ilegal itu dan terlibat dengan kesepakatan dengan PT
Timah.
PT Refined Bangka Tin (RBT)
Direktur Utama PT RBT, Suparta
Suparta
menginisiasi pertemuan dengan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani yang
menjabat sebagai Direktur Utama PT Timah TBK dan tersangka Emil Ermindra
yang menjabat Direktur Keuangan. Pertemuan itu untuk mengakomodasi atau
menampung timah hasil penambang liar di wilayah IUP PT Timah.
Direktur Pengembangan Usaha PT RBT, Reza Ardiansyah
Dengan
Suparta, Reza bertemu juga dengan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Emil
Ermindra. Mereka membuat perjanjian untuk menampung timah hasil
penambang liar di wilayah IUP PT Timah.
PT Tinido Inter Nusa
General Manager PT Tinido Inter Nusa, Rosalina
Rosalina
bersama dengan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Emil Ermindra
menandatangani kontrak kerja sama. Dalam kontrak kerja ini, General
Manager PT Tinido Inter Nusa itu melakukan pengumpulan bijih timah yang
dicover dengan pembentukan perusahaan boneka. Perusahaan boneka ini
kemudian dipergunakan oleh Rosalina untuk mengakomodasi pengumpulan
bijih timah.
Pengusaha di Bangka Belitung, SG alias AW
Tersangka
SG diduga memerintahkan tersangka MBG untuk menandatangani kontrak
kerja sama serta menyuruh untuk menyediakan bijih timah dengan cara
membentuk perusahaan-perusahaan boneka guna mengakomodir pengumpulan
bijih timah ilegal dari IUP PT Timah yang seluruhnya dikendalikan oleh
tersangka MBG.
Pengusaha di Bangka Belitung, MBG
MBG
diinstruksikan oleh SG untuk menandatangani kontrak kerja dengan direksi
PT Timah. Dia diduga mengumpulkan bijih timah yang ditambang secara
ilegal dengan cara membentuk perusahaan boneka yaitu CV Bangka Jaya
Abadi (BJA) dan CV Rajawali Total Persada (RTP).
Direktur PT Sariwiguna Bina Sentosa, Robert Indarto
Robert
ditahan karena diduga memiliki keterkaitan dalam bisnis timah ilegal
yang melibatkan para mantan direktur PT. Timah. Kejaksaan Agung
mengatakan bahwa penyidik menemukan alat bukti yang cukup bahwa mereka
memiliki keterkaitan dalam mengakomodasi tambang timah ilegal yang
berada di IUP (Izin Usaha Pertambangan) PT Timah.
Pengusaha yang juga Manajer PT QSE, Helena Lim (tersangka tindak pidana pencucian uang/TPPU)
Helena
Lim melalui perusahaan, PT QSE, diduga turut cawe-cawe membantu
menyewakan alat peleburan timah di kawasan PT Timah Tbk. Kejaksaan Agung
mengatakan Helena Lim berperan memberikan sarana dan fasilitas kepada
para pemilik smelter di kawasan IUP PT Timah Tbk. Dia ditahan dengan
Tindak Pidana Pencucian Uang
Pengusaha, Harvey Moeis (tersangka tindak pidana pencucian uang/TPPU)
Dari
2018-2019, Harvey Moeis menghubungi Mochtar dalam rangka mengakomodir
kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah. Mereka bertemu
beberapa kali dan menyepakati kerja sama untuk sewa-menyewa peralatan
peleburan timah. Harvey juga melobi sekaligus mengkondisikan beberapa
perusahaan lain seperti PT SIP, CV VIP, PT SBS, dan PT TIN agar satu
suara menjalankan operasi ini.
0 comments:
Post a Comment