Dalam banyak interaksi kemasyarakatan saat ini, masif kita temukan bagaimana tidak sedikit orang yang terjebak dalam mengurus banyak hal yang dia miliki, sehingga sangat sedikit waktunya yang bisa dia nikmati.
Hal ini terjadi karena kepemilikan akan benda-benda serta status sosial yang banyak yang kesemuanya membutuhkan waktu untuk mengurusnya.
Orang yang memiliki kendaraan, properti, hingga industri yang banyak, pasti membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengurus semua itu. Demikian juga dengan jumlah afiliasi sosial kemasyarkatan yang melekat atau dilekatkan pada dirinya.
Membutuhkan perawatan dan perlu waktu yang ekstra untuk mengurusnya. Sehingga nyaris dia tidak memiliki lagi waktu untuk menikmati waktu itu sendiri.
Sebuah kisah seorang yang merasa tidak bahagia karena kepemilikan yang tidak mamadai mendatangi Jalaluddin Rumi (Sufi), untuk meminta nasehat darinya.
Setelah mengemukakan ketidak bahagiannya atas kekurangan benda-benda yang dia miliki, Rumi memberi nasehat untuk membeli lima ekor ayam dan memeliharanya dalam rumah. Setelah seminggu ia menjalankan nasehat itu, ia kembali mendatangi Rumi, dan mengemukakan ketidak bahagiannya karena setiap hari harus mengurus ayam didalam rumah itu.
Rumi kemudian menyuruhnya untuk membeli sepasang kambing, sebagai pelengkap rumahnya yang telah dihuni oleh lima ekor ayam. Seminggu setelah melaksanakan nasehat itu, ia kembali menemui Rumi, dan menyampaikan ketidak bahagiannya yang semakin bertambah, karena selain mengurus lima ekor ayam, ditambah lagi sepasang kambing.
Mendengar itu semua Rumi kemudian menyuruhnya untuk membeli seekor sapi dan memeliharanya dalam rumah bersama ayam dan kambing. Setelah seminggu menjalani kehiruk pikuan dalam rumahnya, ia semakin tidak tahan lagi karena kesibukannya bertambah dengan dipeliharanya seekor sapi.
Dalam keadaan yang sangat frustasi ia bertemu dengan Rumi di pasar, setelah mengamati penampilannya yang makin kusam Rumi kemudian menanyakan keadaanya dengan semua peliharaannya itu.
Dengan nada yang sangat lelah ia menjawab bahwa ia butuh nasehat untuk situanya itu. Rumi kemudian menyusuhnya untuk menjual kembali sapi yang dibelinya seminggu yang lalu. Setelah sapi itu terjual ia merasa menjadi lebih tenang, hingga akhirnya Rumi menyuruhnya untuk menjual kambing dan ayam pada minggu berikut.
Setelah semua piarannya itu terjual ia merasa lebih legah, lebih punya banyak waktu untuk menikmati ruang kehidupannya tanpa harus memikirkan mengurus ayam, kambing, dan sapi.
Cuplikan kisah diatas memberikan pelajaran pada kita betapa pentingnya memahami ruang dan ketiadaan.
Ruang yang awalnya kosong dan dikeluhkan itu berubah menjadi bumerang baginya ketika diisi dengan banyak penghuni, namun setelah sekian minggu berlalu dan kembali mengorongkan ruangan itu, ia menemukan betapa pentingnya menikmati ketiadaan.
Ayam, kambing, dan sapi dalam kisah itu hanyalah sebuah alegori akan banyak hal yang dewasa ini menjadi distraksi (hal yang memalingkan) manusia dari kehidupan kemanusiannya.
Berapa banyak waktu yang terbuang hanya untuk mengurus mobil, motor, rumah, smartphone, hingga mesin-mesin yang kita miliki. Bahkan kekacauan yang semakin meningkat dengan konsumsi sampah pikiran yang terus diproduksi setiap detik aktifitas panca indera kita.
Sampah pikiran itu terus terproduksi bahkan sedetik manusia tersadar dari tidurnya. Ia memikirkan bagaimana tetangganya yang baru saja membeli mobil baru, saat berjalan kekantor ia melihat iklan produk elektronik, perumahan, hingga paket liburan dan wisata religi dengan jargon MURAH, sementara uangnya tidak cukup untuk menjangkau itu semua.
Menyikapi situasi itu penulis pikir saatnya kita memahami betapa pentingnya kata cukup bahkan dalam kekosongan, dengan melakukan hal ini.
1. Minimalisme
Fokus pada yang hakiki dan menghindar dari hal-hal yang mendistraksi, baik itu pikiran maupun barang akan membuat kita bahagia.
Joshua Becker dalam Becoming Minimalist menguraikan bahwa; minimalis adalah mendapatkan apa yang membuat kita bahagia dan menghilangkan segala yang memalingkan kita dari hal tersebut.
Sungguh banyak barang dan benda-benda disekitar kita yang tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan pokok kita untuk hidup, sehingga menyita banyak waktu kita untuk mengurusnya.
Misalnya membeli barang-barang yang sesungguhnya tidak terlalu penting, hanya karena barang itu lagi promo dan diskon besar-besaran.
Artinya kita lebih sering terjebak dalam situasi emosional, sehingga barang yang sedianya tidak perlu dibeli akhirnya dibeli, barang yang sudah seharusnya dibuang masih dipertahankan dengan alasan kesejaran.
Fumio Sasaki dalam Goodbye, Things menerangkan bahwa minimalis adalah mengurangi barang yang kita miliki hingga pada tingkat yang paling minimum, dan memberi kita kesempatan untuk merenungi arti bahagia.
2. Asketisme
Setelah faham akan minimalisme bisa ditingkatkan atau digeser kepemahaman selanjutnya, yaitu Asketisme. Asketisme merupakan sebuah konsep berfikir yang banyak dilakukan oleh pemuka agama seperti cara hidup para sufi, biarawan(i), para darwis, biksu, muni, san yasi dan para yogi.
Asketisme yang berasal dari bahasa Yunani bermakna latihan, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan Riadho, dan Tirakat dalam bahasa Jawa, merupakan gaya hidup berpantang atau menjauh dari hiruk pikuk kepemilikan akan benda-benda demi tujuan yang lebih tinggi.
Tujuan yang lebih tinggi itu adalah keberartian bagi semua semesta, sebagai amanat atau tujuan penciptaan manusia itu sendiri, yaitu mengabdi pada sang pencipta.
Hendra Setiawan Redaksi Kontak Banten
0 comments:
Post a Comment