JAKARTA ( KONTAK BANTEN) Silang pendapat soal naskah Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran
masih berlanjut. Pasalnya, RUU Penyiaran dipandang sebagai cara
membungkam pers secara perlahan. Sorotan pada RUU Penyiaran juga disuarakan Persatuan Radio Siaran Swasta
Nasional Indonesia (PRSSNI). Terutama soal keberlangsungan usaha pers
di segmen radio.
Ketua Umum PRSSNI M Rafiq mengatakan, sorotan
paling penting adalah adanya keharusan mematikan saluran analog pada
radio dalam pasal 30 E.
"Pasal 30 E ayat 2 dan 4 yang menyatakan bahwa lembaga penyiaran radio harus melaksanakan Analog Switch Off pada tahun 2028," ujar Rafiq dalam keterangan tertulis, Selasa (14/5).
Dikatakan Rafiq, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 30 E ayat 1, ayat 2, ayat 5 dan ayat 6 yang bunyinya sebagai berikut.
Pada Pasal 30 E Ayat 1, Digitalisasi lembaga penyiaran radio dilakukan secara alamiah dan terencana. Pasal 30 E Ayat 2, Yang dimaksud dengan alamiah dan terencana adalah dilaksanakan melalui teknologi analog dan digital secara bersamaan.
Berikutnya Pasal 30 E Ayat 5, Pilihan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilaksanakan oleh masyarakat dan lembaga penyiaran radio. Pasal 30 E Ayat 6, Pilihan
teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat 5 dilakukan dengan
memperhatikan jaminan kemampuan keberlangsungan usaha lembaga jasa
penyiaran radio.
Lanjut Rafiq, pasal dan ayat yang mengharuskan lembaga penyiaran radio untuk menggunakan teknologi digital terestrial.
Pasalnya,
radio digital terestrial terbukti gagal di belahan dunia manapun
semenjak lembaga penyiaran dapat mendistribusikan program siaran melalui
internet."Di mana masyarakat dapat menikmati program siaran radio melalui
smartphone tanpa harus membeli alat baru untuk mendengarkan siaran radio
digital terestrial," tuturnya.
"Menurut PRSSNI teknologi radio digital terestrial adalah pilihan, bukan keharusan," pungkas Rafiq
0 comments:
Post a Comment