Bahaya Pragmatisme Politik Demokrasi
Pragmatisme4 adalah filsafat yang didasarkan pada manfaat dari tiap gagasan. Pragmatisme telah mengubah tujuan politik dari bersifat ideologis menjadi bersifat “praktis”(manfaat dalam memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok, tidak peduli halal dan haram).5
Secara konsep, pengaruh pragmatisme di dalam politik terbagi menjadi dua, yaitu pada kaum elit dan masyarakat.
Pragmatisme di tingkat masyarakat digunakan sebagai bentuk pemanfaatan situasi atau momen politik untuk perbaikan kondisi kehidupan masyarakat. Gagasan mengenai perbaikan ini disajikan secara instan walaupun dalam artian sebenarnya merupakan sesuatu yang kompleks. Sementara itu, elit partai di dalam partai politik memanfaatkan pragmatisme untuk mengurangi identitas ideologi partai politik6 guna mempertahankan oligarki kekuasaannya.
Pragmatisme dalam politik demokrasi adalah sesuatu yang melekat dari dalam (built-in). Mengapa? Politik demokrasi ditegakkan atas asas sekulerisme (fashlud-din ‘an al-hayaah; memisahkan agama dari kehidupan masyarakat). Tidak ada lagi halal dan haram. Selama bermanfaat, sebuah aturan akan dipaksakan untuk dilegalkan oleh segelintir para pengendali kekuasaan (politisi) dan keuangan (cukong/pemodal).7
Dari asas sekulerisme ini, demokrasi tegak atas klaim bahwa pemerintahan dibangun dengan prinsip dari, oleh, dan untuk rakyat. Seolah kepentingan rakyat di atas segalanya. Pendukung demokrasi meyakini bahwa sistem demokrasi ditopang dua prinsip: kedaulatan (as-siyaadah, sovereignity, hak membuat hukum dan aturan) di tangan rakyat; dan kekuasaan (as-sulthaan, power, pengaruh) di tangan rakyat (manusia).
Benarkah demokrasi untuk kepentingan rakyat? Ternyata, klaim dua pilar demokrasi tersebut adalah kepentingan rakyat adalah dusta. Kedaulatan dalam demokrasi ada pada hukum dan aturan manusia. Kekuasaan juga bukan di tangan rakyat, tetapi di tangan oligark (segelintir cukong pemilik modal). Rakyat hanya dijadikan alat legitimasi melalui mekanisme Pemilu.
Dari konsep di atas bahaya pragmatisme politik demokrasi terlihat di tiga hal: Pertama, bahaya asas. Karena asasnya didasarkan pada sekulerisme yang menolak agama dilibatkan dalam kehidupan. Agama diakui, tetapi dilarang turut campur dalam menangani permasalahan kehidupan. Ini berarti menafikan bahkan menuduh8 agama (baca: Islam) tidak layak untuk mengatur kehidupan. Artinya, ini menyingkirkan peran Pencipta sebagai Pengatur.
Kedua, bahaya pilar dasar. Dua pilar demokrasi: kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat, bertentangan dengan konsep bahwa manusia adalah hamba yang diciptakan oleh Allah SWT (Al-Khaaliq). Manusia fitrahnya lemah, membutuhkan Pencipta dan sepatutnya pula mentaati aturan (kedaulatan) Pencipta, bukan menggunakan aturan manusia. Kekuasaan yang dimiliki pemimpin juga untuk mengimplementasikan aturan Pencipta, bukan aturan manusia.
Ketiga, bahaya pada realitas. Pada faktanya, demokrasi itu adalah ilusi. Tipuan. Pasalnya, pada faktanya yang berdaulat bukan rakyat, tetapi segelintir elit parpol. Tidak mungkin mengikutkan semua rakyat dalam membuat aturan. Mereka mendalihkan perlunya perwakilan dalam bentuk legislatif (parlemen). Padahal faktanya anggota parlemen tunduk pada kendali elit pimpinan parpol.9
Celakanya, elit pimpinan parpol tunduk pada segelintir kapitalis, pemilik modal. Tidak aneh Ketua MPR dan mantan anggota DPR menyinggung secara terbuka kebutuhan dana yang besar untuk jadi anggota legislatif (DPR) dan juga eksekutif (presiden, gubernur, bupati dan walikota). Inilah yang membuat mereka sangat bergantung pada pasokan cuan dari para cukong politik.10
Untuk Kepentingan Rakyat atau Oligark11?
Dalam konteks keberpihakan, demokrasi mengklaim untuk kepentingan rakyat. Faktanya, kepentingan segelintir cukong pemilik modallah yang utama.12 Dalam konteks demokrasi dimanapun, baik di Indonesia dan dunia (dengan kiblat: Amerika13), segelintir para kapitalislah (oligark) yang berkuasa.14
Di Indonesia, dalam konteks Pemilu 2024. Apa yang terjadi dengan fenomena Anies-Cak Imin menjadi sedikit gambaran bagaimana oligarki beroperasi. Banyak fakta yang menunjukkan, dugaan cengkeraman dan tekanan pihak Istana terhadap Surya Paloh menjadi sebab Paloh meminta Cak Imin untuk menjadi cawapres Anies. Artinya, dengan kasus yang dihadapi Cak Imin, mereka akan tersandera. Dengan begitu pasangan Anies-Cak Imin menjadi lemah.
Demikian juga calon pasangan yang lain. Pada kasus Prabowo, peran dari pihak Istana untuk mengendalikan cawapresnya terlihat bagaimana peluang untuk anak Presiden dimungkinkan jadi pasangan Prabowo melalui isu gugatan tentang perubahan usia untuk capres dan cawapres di MK. Di MK sendiri, Istana memiliki “orang” yang memungkinkan mempengaruhi keputusan.
Untuk kasus Ganjar, tarik ulur antara pihak Istana dengan ketum PDIP mencerminkan adanya pertikaian antar oligark itu sendiri. Yang satu ingin calon presiden dalam kendali dan kontrolnya. Demikian juga yang lain.
Uraian singkat ini menunjukkan bahwa pragmatisme politik demokrasi berpihak kepada elit, baik elit parpol maupun elit kapitalis, dan persekongkolan keduanya. Mereka pada hakikatnya adalah pengkhianat karena mereka hanya berbuat untuk kepentingan diri dan kelompoknya, bukan untuk kepentingan rakyat. Sekali lagi, rakyat hanya jadi alat legitimasi saja!
Ini makin terbukti dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan selama ini, mulai dari aturan Presidential Treshold (PT) 20 %15, UU Cipta Kerja Omnibus Law, UU Minerba, UU Kesehatan, UU IKN, Kenaikan BBM dan Rencana Penghapusan Pertalite, kebijakan mobil listrik Cina, massifnya TKA Cina, Kereta Cepat Cina, dll. Semuanya berpihak kepada pemilik modal, bukan pada kepentingan publik.
Mencegah dan Mengatasi Oligarki
Dari perspektif Islam, menghilangkan bahaya pragmatisme politik demokrasi yang dikendalikan oligarki dapat diantisipasi dan diatasi melalui tiga hal pula:
Pertama, segi asas. Islam menjadikan asas dalam berpolitik adalah akidah Islam. Ini akan melahirkan sikap takwa yang tercermin dari ketaatan pada seluruh aturan Allah SWT. Dengan itu seorang pemimpin dalam Islam akan sadar bahwa konsekuensi dari kekuasaan yang dimiliki dan kebijakan yang dibuat, bukan hanya sekadar berdampak di dunia, tetapi juga berimplikasi terhadap kedudukannya di akhirat. Jika amanah, dia akan dilindungi oleh Allah. Jika khianat, dia akan menjadi hina dan menyesal.
Dalam riwayat dari Abu Dzar al-Ghifari ra. disebutkan ia pernah berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikan aku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda,” Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Nanti pada Hari Kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (HR Muslim).
Kedua, kekuatan pilar dasar. Dua pilar dalam politik Islam adalah:
(1) Kedaulatan di tangan syariah (as-siyaadah li syar’i) akan menjadi tiang yang akan membuat pemimpin tidak dipilih dengan “cek kosong” (semau dia atau sesuai yang mengendalikan dia-oligark). Seorang pemimpin dalam Islam diangkat dan dibaiat untuk menjalankan al-Quran dan as-Sunnah. Dengan begitu semua perilaku politiknya, atas dorongan keimanannya, dibatasi oleh syariah Islam. Ini akan menutup celah “cawe-cawe” dari para oligark.
(2) Kekuasaan di tangan umat (as-sulthaan li al-ummah). Artinya, umat yang memiliki pemahaman Islam dan kesadaran politik yang tinggi akan menjadi penentu “hitam-putih” siapa yang akan memimpin dan mengawasi jalannya kekuasaan melalui mekanisme koreksi dan kontrol kepada penguasa (muhaasabah dan amar maruf nahi munkar). Semua kesadaran ini dimanifestasikan dalam bentuk partisipasi politik yang dilakukan, juga karena dorongan keimanan dan ketakwaan melalui kekuatan pribadi, partai politik Islam dan kelembagaan yang ada: Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim. Bukan karena ingin mendapatkan jatah jabatan tertentu.
Ketiga, mekanisme koreksi penguasa yang berlapis. Proses ini dilakukan secara individu, kelompok (partai politik Islam), kelembagaan atau institusi (Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim). Pada fakta historis, Islam memberikan contoh gemilang bagaimana koreksi rakyat dilakukan kepada penguasa. Koreksi secara indvidu, terjadi saat Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. memimpin. Beliau pernah berpidato di hadapan khalayak ramai. “Wahai manusia, jangan kalian banyak-banyak dalam memberikan mas kawin kepada istri. Sungguh mahar Rasulullah saw. dan para Sahabatnya hanya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya memperbanyak mahar bernilai takwa di sisi Allah dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tak pernah melihat ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham.”
Rupanya keputusan ini tidak disetujui oleh sebagian kaum perempuan. Lalu usai menyampaikan keterangan, datanglah seorang perempuan menyampaikan protes. “Amirul Mukminin, Anda melarang orang-orang memberikan mahar kepada istri-istri mereka lebih dari 400 dirham?” protes wanita itu. “Ya,” jawab Khalifah Umar. “Apakah Anda tidak pernah mendengar Allah menurunkan ayat (melafalkan penggalan QS an-Nisa’ ayat 20),” kata wanita itu. Khalifah Umar tersentak sambil berkata, “Tiap orang lebih paham ketimbang Umar.” Menyadari kekeliruannya, Umar kembali naik mimbar, dan menyatakan, “Wanita ini benar dan umar salah.”
Secara kelompok, Allah SWT telah memerintahkan adanya partai politik Islam yang melakukan mekanisme koreksi. Allah SWT berfirman:
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٠٤
Hendaklah di antara kalian ada segolongan orang yang menyerukan
kebajikan (Islam) dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Mereka itulah
orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104).
Secara kelembagaan, Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim akan menjadi pintu melakukan koreksi dan juga pengadilan jika terjadi kezaliman penguasa atas rakyat melalui berbagai kebijakan yang dia lakukan. Dasar dari institusi Majelis Umat adalah teladan Baginda Rasulullah saw. dalam mengambil pendapat dari para Sahabat, khususnya Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab r.a., Ali Bin Abi Thalib k.w., Hamzah ra., Salman ra. dan Hudzaifah ra.
Adapun dasar dari Mahkamah Mazhalim, yang mengatasi sengketa penguasa dan rakyat, salah satunya adalah Hadis Nabi saw. dari penuturan Anas ra. ketika terjadi harga yang melambung, ada Sahabat yang berkata, “Wahai Rasulullah, andai Anda menetapkan patokan harga (tentu tidak melambung seperti ini)?” Rasul bersabda, “Sungguh, Allahlah Yang menciptakan, memegang dan melapangkan. Allah pula Yang Maha Pemberi Rizki, dan Yang menentukan harga. Aku berharap bertemu Allah kelak, sementara tidak ada orang yang menuntutku karena kezhaliman yang aku perbuat kepadanya dalam masalah darah atau harta.” (HR Ahmad).
Penutup
Alhasil, bahaya pragmatisme politik demokrasi yang pro pada oligarki dan abai kepada rakyat akan dapat diselesaikan secara konseptual dan praktis, dengan penerapan Islam secara kaaffah dalam naungan Khilafah. Semua pihak (penguasa dan rakyat) senantiasa berbuat atas dorongan keimanan dan ketakwaan. Juga didukung mekanisme koreksi kepada penguasa (individu, kelompok-partai politik Islam ideologis, kelembagaan atau institusional (Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim). Semua itu akan menutup semua celah dan pintu bagi oligark untuk mengendalikan dan mencengkeram penguasa dan kekuasaan.
WalLâhu a’lam bi ash-shawab. [Dr. Riyan M.Ag ; Pengamat Politik Islam]
0 comments:
Post a Comment