Semasa Saya kecil saya suka mendengarkan cerita dari ayah saya. Namun, tidak seperti teman-teman saya pada umumnya. Kebanyakan mereka diberikan cerita oleh orang tuanya tentang dongeng “kancil mencuri timun”, “ayam dan elang” ataupun “kisah mulia para nabi dan rasul yang penuh keteladanan”.
Sebelum
tidur Saya terbiasa mendengar kisah-kisah pewayangan yang kisahnya
heroik, dramatis dan sesekali jenaka. Di sela-sela itu ayah selalu
menyampaikan pesan tersirat dibalik apa yang telah diceritakan.
Banyak kisah yang telah Saya dengarkan dari beliau. Namun kisah yang sampai saat ini masih saya ingat ialah kisah perang Mahabharata. Perang saudara antara putra-putra dari Destrarata dan istrinya Gendari yang masyhur dengan sebutan kurawa. Melawan pasukan pandawa yang tak lain ialah putra-putra dari adiknya Destrarata sendiri yakni Prabu Pandu.
Dalam perang ini pihak pandawa sebagai simbol kebaikan (protagonis) sedangkan kurawa beserta sekutunya adalah simbol kejahatan (antagonis). Perang ini terjadi karena pandawa yang terus didzholimi pasukan kurawa.
Di sisi lain pihak kurawa dengan penuh jumawanya merasa benar sendiri. Sehingga pertempuran 18 hari yang dikenal dengan perang Mahabharata ini terjadi. Akhir tragis menimpa kurawa karena kemenangan telak ada di tangan pandawa.
Di balik huru-hara Mahabharata
ada banyak tokoh yang terlibat di dalamnya. Dan hemat saya, salah satu
tokoh yang masih populer sampai detik ini ialah Sengkuni. Buktinya hari
ini jika ada seseorang yang namanya dinisbatkan sebagai Sengkuni maka ia
akan merasa risih dan tidak menyukainya. Mengapa Sengkuni?
Sengkuni merupakan biang keladi dari huru-hara di kerajaan Kurusetra dalam kisah Mahabharata
ini. Ia adalah aktor intelektual yang bekerja di balik layar sehingga
terjadi perang saudara yang maha dahsyat. Kebencian Sengkuni bermula
sejak melihat saudarinya (Gendari) menikah dengan Destarata si buta.
Baginya
menjadi istri dari orang yang buta merupakan sebuah penghinaan terhadap
kehormatan keluarganya. Sehingga ia bersumpah akan membuat keluarga
dari Destrarata dan adiknya (Pandu) supaya hancur sehancur-hancurnya.
Karena baginya hanya dengan melihat kehancuran yang ada pada keluarga
merekalah, kehormatan keluarga dari Sengkuni bisa kembali.
Singkat
cerita Sengkuni ditunjuk oleh saudarinya untuk mengasuh putra-putranya
yang tak kurang dari 100 bersaudara. Anak yang paling tua dari mereka
bernama Duryudhana. Dialah yang menjadi pemimpin pasukan kurawa ketika
pecah perang mahabharata. Sejak kecil pasukan kurawa ditanamkan rasa kebencian oleh sang paman (Sengkuni).
Sehingga
dendam yang membara memenuhi ruang dada mereka terhadap lima bersaudara
dari Pandawa. Mereka ialah Puntadewa, Werkudara, Arjuna, dan si kembar
Nakula-Sadewa. Berbeda dengan Kurawa, para Pandawa mendapat asuhan dari
Punakawan yang selalu mengajarkan kebaikan.
Dalam
dunia pewayangan tokoh Sengkuni ini digambarkan dengan sosok yang lebar
mulutnya. Filosofinya ialah karena ia ahli dalam bersilat lidah. Dengan
kefasihan bertutur kata membuat orang yang bicara dengannya selalu
menjadi terperdaya oleh manis bibirnya. Banyak kedustaan yang terucap
dari mulutnya.
Ketika
ia mendapat kabar tentang sesuatu, dengan kreatifitasnya iapun
merubahnya sehingga ia tidak amanah dalam menyampaikan suatu pesan
berita. Kecerdikan dalam bersiasat yang ia punya menjadikan banyak orang
tertipu oleh muslihatnya.
Ia
juga terkenal pandai merayu dan meyakinkan seseorang dengan susunan
kata-kata yang ia rancang. Sehingga Duryudhana dan para saudaranya tak
bisa lepas dari pengaruh pamannya itu.
Sosok
Sengkuni yang sakti mandraguna tubuhnya kebal dari berbagai macam
senjata. Ia terlampau besar kepala seakan tak ada yang mampu
menggagalkan aksinya. Tragis, sayang sekali ia mati di hari terakhir
peperangan Mahabharata di tangan keponakannya sendiri si
Duryudhana setelah babak belur dihajar oleh Werkudara. Kisah ini saya
cukupkan sampai di sini. Jika penasaran seperti apa kisah lengkapnya,
silahkan saksikan sendiri dalam kisah pewayangan.
Ada
banyak hal yang dapat kita ambil pelajaran dari kisah tragisnya
Sengkuni. Betapa cerdasnya ia, betapa kuatnya ia dan betapa hebatnya ia.
Semua pemberian dari Yang Maha Kuasa telah ia salahgunakan. Kecerdikan
telah berubah menjadi kelicikan dan melahirkan kepicikan.
Sehingga
ia tak mampu lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Semua terjadi karena nafsu telah membutakan mata dzohir dan mata
batinnya. Tetapi ternyata setiap keburukan akan berakhir pada
kehancuran.
***
Sosok
Sengkuni ini menjadi simbol keburukan yang sempurna dalam pewayangan.
Di dalam ajaran Islam karakter yang melekat pada dirinya diabadikan
dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits sebagai tanda-tanda kemunafikan. Ketika
ia bicara, ia berdusta. Ketika diberikan amanat, ia berkhianat. Dan
ketika berjanji, ia suka mengingkari.
Sikap takabur atau besar kepala yang ia punya juga pernah disebutkan sebagai sikap yang dimiliki oleh Iblis ketika di surga. Dari sikap takabur
itulah yang menyebabkan iblis dikeluarkan dari surga. Sehingga
kebencian dan dendam membara Iblis dilampiaskan kepada Adam dan
keturunannya.
Di
balik itu semua sebenarnya Sengkuni memiliki tujuan yang mulia karena
ingin mengangkat kehormatan keluarganya. Namun, jalan sesat yang ia
pilih menjadikan kehancuran harus ia tebus sebagai konsekwensinya.
Beberapa
sikap buruk di atas sering kali kita jumpai dalam kehidupan nyata.
Bahkan tak jarang nampak pada diri orang-orang di dekat kita. Atau
justru mendarah daging dalam tubuh kita. Hanya kita yang tahu tentunya.
Maka dari itu mari kita hindari. Dan sebisa mungkin kita perbaiki diri
dari karakteristiknya sengkuni. Jika kita tidak mau dijuluki sebagai
sengkuni-sengkuninya zaman ini.
Dalam
tulisan kali ini selain saya mengajak kita semua untuk mengambil ibrah
dari pewayangan. Saya juga ingin menyampaikan bahwa ada titik temu
antara agama dan budaya yang terletak pada “nilai luhur” yang terkandung
pada keduanya.
Hal
inipun pernah dicontohkan oleh Raden Mas Said atau yang terkenal dengan
Sunan Kalijaga. Beliau pernah berdakwah melalui pendekatan budaya
berupa wayang sebagai media dakwahnya.
Sayang
sekali jika generasi saat ini lebih menyukai budaya luar daripada
budaya bangsanya sendiri. Padahal ada banyak hal yang dapat kita jadikan
pelajaran untuk perbaikan diri. Selain mempertemukan kita dalam sebuah
kekayaan budaya dengan nilai-nilai luhurnya.
0 comments:
Post a Comment