Tahun baru Hijriyah, tahun baru umat muslim di seluruh dunia. Saat ini telah masuk pada tahun 1446 H Hijriyah. Merupakan momentum atau saat dimana semua manusia sebaiknya merenung sejenak, apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, agar tidak termasuk orang yang merugi dan menyesal di hari akherat, saat pertanggungjawaban dari seluruh perbuatan di dunia di minta oleh sang pencipta.
Marilah kita simak uraian makalah berikut
Kata hijrah berasal dari Bahasa Arab, yang berarti meninggalkan,
menjauhkan dari dan berpindah tempat. Dalam konteks sejarah hijrah,
hijrah adalah kegiatan perpindahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
Shalallohu ‘Alaihi Wassalam bersama para sahabat beliau dari Mekah ke
Madinah.
Perintah berhijrah terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain:
- Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah
dan berhijrah di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”,Q.S.Al-Baqarah:218
- Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang mujairin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (ni’mat) yang mulia. (Qs. Al-An’fal, 8:74)
- Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan (Qs. At-Taubah, 9:20)
- Pada ayat - ayat di atas, terdapat makna penting hijrah, yaitu :
Bahwa hijrah harus dilakukan atas dasar niat karena Allah dan tujuan mengharap rahmat dan keridhaan Allah.
2. Bahwa orang - orang beriman yang berhijrah dan berjihad dengan motivasi karena Allah dan tujuan untuk meraih rahmat dan keridhaan Allah, mereka itulah mu’min sejati yang akan memperoleh ampunan, keberkahan rizki (ni’mat) yang mulia, dan kemenangan di sisi Allah Subhanahu Wata’ala.
3. Bahwa hijrah dan jihad dapat dilakukan dengan mengorbankan apa yang kita miliki, termasuk harta benda, bahkan jiwa.
4. Ketiga ayat tersebut menyebut tiga prinsip hidup, yaitu iman, hijrah dan jihad. Iman bermakna keyakinan, hijrah bermakna perubahan dan jihad bermakna perjuangan dalam menegakkan risalah Allah.
Makna Hijrah
Hijrah sebagai salah satu prinsip hidup, harus senantiasa kita maknai dengan benar. Secara bahasa hijrah berarti meninggalkan. Seseorang dikatakan hijrah jika telah memenuhi 2 syarat, yaitu, yaitu yang pertama ada sesuatu yang ditinggalkan dan kedua ada sesuatu yang dituju (tujuan). Kedua-duanya harus dipenuhi oleh seorang yang berhijrah. Meninggalkan segala hal yang buruk, negative, maksiat, kondisi yang tidak benar, menuju keadaan yang lebih yang lebih baik, sebagaimana yang Allosh Subhanahu Wata’ala kehendaki.
Dalam realitas sejarah hijrah senantiasa dikaitkan dengan meninggalkan suatu tempat, yaitu adanya peristiwa hijrah Nabi dan para sahabat meninggalkan tepat yang tidak kondusuf untuk berdakwah. Bahkan peristiwa hijrah itulah yang dijadikan dasar umat Islam sebagai permulaan tahun Hijriyah.
Tahun Hiriyah, ditetapkan pertama kali oleh Khalifah Umar bin Khatab ra, sebagai jawaban atau surat Wali Abu Musa Al-As’ari. Khalifah Umar menetapkan Tahun Hijriyah Kalender Tahun Gajah, Kalender Persia untuk menggantikan penanggalan yang digunakan bangsa Arab sebelumnya, seperti yang berasal dari tahun Gajah, Kalender Persia, Kalender Romawi dan kalender-kalendar lain yang berasal dari tahun peristiwa-peristiwa besar Jahiliyah. Khlifah Umar memilih peristiwa Hijrah sebagai taqwim Islam, karena Hijrah Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wassalam dan para sahabat dari Mekkah ke Madinah merupakan peristiwa paling monumental dalam perkembangan dakwah.
Secara garis besar hijrah kita bedakan menjadi dua macam yaitu:
1. Hijrah Makaniyah : Yaitu meinggalkan suatu tempat. Beberapa jenis hijrah maknawiyah, yaitu:- Hijrah Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wassalam dari Mekah ke Habasyiyah.
- Hijrah Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wassalam dari Mekah ke Madinah.
- Hijrah dari suatu negeri yang didalamnya didominasi oleh hal-hal yang diharamkan.
- Hijrah dari suatu negeri yang membahayakan kesehatan untuk menhindari penyakit menuju negeri yang aman.
- Hijrah dari suatu tempat karena gangguan terhadap harta benda.
- Hijrah dari suatu tempat karena menghindari tekanan fisik, seperti hijrahnya Ibrahim as dan Musa as, ketika Beliau khawatir akan gangguan kaumnya.
Seperti yang tecantum dalam al-Qur’an:
Berkatalah Ibrahim: “Sesungguhnya aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan).
Tuhanku, Sesungguhnya Dialah yang Maha perkasa lagi Maha Bijaksana
(Qs. Al-Ankabut, 29:26). Maka keluarkanlah Musa dari kota itu dengan
rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdo’a “Ya Tuhanku,
selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu (Qs. Al-Qashah, 2:21).
2. Hijrah Maknawiyah
Secara maknaiyah hijrah dibedakan menjadi 4 macam, yaitu:
a. Hijrah I’tiqadiyah,
yaitu hijrah keyakinan. Iman bersifat fluktuatif/ tidak pasti, kadang
menguat menuju puncak keyakinan mu’min sejati, kadang pula melemah
mendekati kekufuran Iman pula kadang hadir dengan kemurniannya, tetapi
kadang pula bersifat sinkretis, bercampur dengan keyakinan lain
mendekati memusyrikan. Kita harus segera melakuakn hijrah keyakinan bila
berada di tepi jurang kekufuran dan kemusyrikan keyakinan. Dalam
lingkup psikologi biasa disebut dengan masa transisi keyakinan agama.
b. Hijrah Fikriyah
Fikriyah secara bahasa berasal dari kata fiqrun yang artinya pemikiran.
Seiring perkembangan zaman, kemajuan teknologi dan derasnya arus
informasi, seolah dunia tanpa batas. Berbagai informasi dan pemikiran
dari belahan bumi bisa secara oline kita akses.
Dunia yang kita
tempati saat ini, sebenarnya telah menjadi medan perang yang kasat
mata. Medan perang yang ada tapi tak disadari keberadaannya oleh
kebanyakan manusia genderang perang telah dipukul dalam medan yang
namanya “Ghoswul Fikr” (baca: Perang pemikiran).
Tak heran
berbagai pemikiran telah tersebar di medan perang tersebut laksana dari
senjata-senjata perenggut nyawa. Isu sekularisasi, kapitalisasi,
liberalisasi, pluralisasi, dan sosialisasi bahkan komunisasi telah
menyusup ke dalam sendi-sendi dasar pemikiran kita yang murni. Ia
menjadi virus ganas yang sulit terdeteksi oleh kacamata pemikiran Islam.
Hijrah fikriyah menjadi sangat penting mengingat kemungkinan besar
pemikiran kita telah terserang virus ganas tersebut. Mari kita kembali
mengkaji pemikiran-pemikiran Islam yang murni. Pemikiran yang telah
disampaikan oleh Baginda Nabi Muhammad Shalallohu ‘Alaihi Wassalam,
melalui para sahabat tabi’in, tabi’it, tabi’in dan para generasi
pengikut shalaf.
“Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wassalam
bersabda: Umatku niscaya akan mengikuti sunan (budaya, pemikiran,
tradisi, gaya hidup) orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal,
sehasta-demi sehasta, sehingga mereka masuk ke lubang biawak pasti
umatku mengikuti mereka. Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah apakah
mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani ? Rasulullah menjawab: Siapa
lagi kalau bukan mereka.
c. Hijrah Syu’uriyyah
Syu’uriyah
atau cita rasa, kesenangan, kesukaan dan semisalnya, semau yang ada pada
diri kita sering terpengaruhi oleh nilai-nilai yang kurang sesuai
dengan ajaran Islam. Banyak hal seperti hiburan, musik, bacaan,
gambar/hiasan, pakaian, rumah, idola semua pihak luput dari pengaruh
nilai-nilai diluar Islam. Kalau kita perhatikan, hiburan dan musik
seorang muslim tak jauh beda dengan hiburannya para penganut paham
permisifisme dan hedonisme (budaya barat), berbau hutra-hura dan
senang-senang belaka.
Mode pakaian juga tak kalah pentingnya
untuk kita hiraukan. Hijrah dari pakaian gaya jahiliyah menuju pakaian
Islami, yaitu pakaian yang benar-benar mengedepankan fungsi bukan gaya.
Apa fungsi pakaian ? Tak lain hanyalah untuk menutup aurat, bukan justru
memamerkan aurat. Ironis memang banyak diantara manusia berpakaian tapi
aurat masih terbuka. Ada yang sudah tertutup tapi ketat dan transparan,
sehingga lekuk tubuhnya bahkan warna kulitnya terlihat. Konon, umat
Islam dimanjakan oleh budaya barat dengan 3 F (FOOD, FAN, FASHION).
d. Hijrah Sulukiyyah
Suluk berarti tingkah laku atau kepribadian atau biasa disebut juag
akhlaq. Dalam perjalanannya ahklaq dan kepribadian manusia tidak
terlepas dari degradasi dan pergeseran nilai. Pergeseran dari
kepribadian mulai (akhlaqul karimah) menuju kepribadian tercela akhlaqul
sayyi’ah). Sehingga tidak aneh jika bermuculan berbagai tindak moral
dan asusila di masyarakat. Pencurian, perampokan, pembunuhan, pelecehan,
pemerkosaan, penghinan dan penganiyaan seolah-olah telah menjadi biasa
dalam masyarakat kita. Penipuan, korupsi,, prostitusi dan manipulasi
hampir bisa ditemui di mana-mana. Dalam moment hijrah ini, sangat tepat
jika kita mengkoreksi akhlaq dan kepribadian kita untuk kemudian
menghijrahkan akhlaq yang mulia.
Refleksi
Dengan
telah berakhirnya tahun 1438 H dan tibanya tahun 1439 H, serta sebentar
lagi akan segera pergantian tahun masehi dari 2018, suatu hal yang
pasti bahwa usia kita bertambah dan jatah usia kita semakin berkurang.
Sudah selayaknya kita menghisab diri sebelum dihisab oleh Allah
Subhanahu Wata’ala. Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Hisablah (lakukan perhitungan atas) dirimu sebelum dihisab oleh Allah,
dan lakukanlah kalkulasi amal baik dan amal buruk sebelum Allah
memberikan kalkulasi amal atas dirimu.
Apakah kehidupan kita
banyak diisi dengan beribadah atau bermaksiat ? Apakah kita banyak
mematuhi ajaran Allah ataukah banyak melanggar atauran Allah ? Apakah
kita ini termasuk orang yang menunaikan shalat fardlu atau malah lalai
dalam menunaikan shalat fardlu ? Apakah diri kita ini termasuk golongan
orang – orang yang celaka mendapat siksa neraka ? Rasulullah bersabda :
Utsman bin Hasan bin Ahmad As-Syakir mengatakan:
“Tanda-tanda orang yang akan mendapatkan kecelakaan di akherat kelak ada empat perkara:
- Terlalu mudah melupakan dosa yang diperbuatnya, padahal dosa itu tercatat di sisi Allah. Orang yang mudah melupakan dosa ia akan malas bertobat dan mudah mengerjakan dosa kembali.
- Selalu mengingat (dan membanggakan) atas jasanya dan amal shalihnya, padahal ia sendiri tidak yakin apakah amal tersebut diterima Allah atau tidak. Orang selalu mengingat jasanya yag sudah lewat, ia akan takabur dan malas untuk berbuat kebajikan kembali di hari-hari berikutnya.
- Selalu melihat ke atas dalam urusan dunia. Artinya ia mengagumi sukses yang dialami orang lain dan selalu berkeinginan untuk mengejar sukses orang tersebut. Sehingga hidupnya selalu merasa kekurangan.
- Selalu melihat ke bawah dalam urusan agama. Akibat ia akan merasa puas dengan amalnya selama ini, sebab ia hanya membandingkan amalnya dengan amal orang lain di bawah dia, dan merasa cukup dengan ilmu yang ia miliki dan pahami, tanpa mau membuka diri untuk terus belajar dan menerima informasi atau masukan dari orang lain.
Mudah – mudahan, Alloh Subhanahu Wata’ala anugerahkan kepada kita sisa umur yang barokah, membimbing kita agar termasuk menjadi hamba yang pandai bersyukur, selalu belajar dalam kebaikan dan kebenaran, selalu membuka diri untuk selalu berubah menuju kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam.
“wahai orang – orang yang beriman ! jika kamu menolong (agama) Alloh, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (Q.S. Muhammad:7)
Oleh: H. Dedih Surana, Drs., M.Ag. (Dosen Universitas Islam Bandung/Unisba)
0 comments:
Post a Comment