Pemilihan Kepala Daerah ( PILKADA ) semangkin
dekat, puncaknya akan dilaksanakan pada tahun 27 November 2024 dan suhu politik
sudah mulai memanas baik dalam kehidupan masyarakat sehari-hari maupun
di lini media masa. Para elit politik dan tim sukses semakin gencar
menyampaikan argumentasi, alasan-alasan, serta rayuan mautnya mengapa
calon calon Kepala Daerah Baik Calon Walikota Calon Bupati Maupun Calon Gubernur 2024 yang mereka dukung pantas untuk dipilih, dan ada kalanya
juga menyampaikan alasan mengapa calon kepala daerah yangk mereka dukung ddan menagapa Calon Lain
tidak pantas untuk dipilih.
Seringkali perdebatan antar pendukung juga terjadi, yang dimaksudkan
diantaranya untuk melakukan
framing guna membentuk citra positif
terhadap calon Kepala Daerah pilihannya, maupun citra negatif terhadap calon kepala daerah lainnya.
Situasi ini juga dianggap menguntungkan bagi media massa, karena
kegiatan lima tahunan ini menyediakan beragam informasi dan isu menarik
yang dapat dipublikasikan. Konten berita yang berkaitan dengan calon
presiden cenderung lebih diminati masyarakat di masa-masa politik,
sehingga dapat meningkatkan tayangan, jumlah klik dan kunjungan.
Akhirnya, media massa kini semakin aktif dalam melaporkan berita terkait
dengan pemilihan Calon kepala daerah tahun 2024 seperti kegiatan
kampanye bacalon kepala daerah , survey publik, analisa politik, serta perdebatan para
pendukung.
Perlu diingat bahwa berita-berita tersebut juga memiliki dampak yang
signifikan ketika disajikan kepada publik. Media massa memiliki kekuatan
untuk membentuk opini publik, menarik perhatian, mengarahkan pendapat,
memengaruhi sikap, dan bahkan mendefinisikan realitas.
Oleh karena itu, peluang terbuka untuk menggunakan berita-berita
tersebut sebagai framing yang dapat mempengaruhi persepsi publik
terhadap pilihan calon kepala daerah yang ada.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa semua elemen mempunyai kepentingan dalam
hal ini, bukan hanya para timses calon kepala daerah yang memang sudah jelas
afiliasinya, termasuk juga media massa.
Seperti yang kita ketahui bersama, beberapa media massa popular adalah
kepunyaan dari tokoh-tokoh yang terafiliasi pada kepala daerah tertentu. Maka
potensi penggunaan media masa tersebut sebagai sarana pemenangan bisa
saja dilakukan, dan fenomena framing terjadi.
Meskipun begitu, adakalanya masyarakat umum sudah memiliki framing atau
pembingkaian sendiri, dan itu berefek pada sikap dan preferensi mengenai
calon kepala daerah yang akan dipilih.
Faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan sikap dan preferensi ini bisa
sangat bervariasi, termasuk ideologi politik, kebijakan yang diusulkan,
citra personal calon,
Pengalaman sebelumnya dan faktor-faktor lainnya.
Lalu pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan farming? Seperti apa efek
framing ini pada masyarakat dalam hal pemilu?
Framing adalah upaya sadar untuk membingkai sesuatu (dalam konteks ini Calon Kepala Daerah secara positif ataupun negatif, yang mempengaruhi persepsi,
sikap, serta perilaku. Hal ini terjadi baik untuk diri sendiri maupun
orang lain. Framing atau pembingkaian merupakan fenomena yang menjadi
bahan kajian dalam ilmu sosial seperti Psikologi, Sosiologi dan
Komunikasi. Bagaimana hal ini bisa terjadi serta pengaruhnya pada
manusia adalah hal yang menarik untuk dipelajari.
Terdapat penelitian dibidang psikologi yang menarik.
Artikel yang tulis
Bizer dan kawan-kawan pada tahun 2005 dan 2011 yang dimuat dalam jurnal
Political psychology, hasil yang didapatkan mungkin relevan dalam
situasi masyarakat Indonesia saat ini.
Bayangkan anda harus memilih antara calon kepala daerah yang mencalonkan diri,
yakni X dan Y. Anggaplah anda mengetahui bahwa kualifikasi calon kepala daerah X memadai untuk posisi tersebut, sementara calon kepala daerah Y
sangat kurang memadai. Dalam situasi ini, tentu saja anda akan lebih
memilih X.
Tetapi apakah preferensi anda terhadap X karena anda mendukung X?
Ataukah anda lebih memilih X karena anda menolak Y? Dalam kedua skenario
tersebut, preferensi tetap sama (X lebih baik dari Y); namun, kerangka
preferensinya berbeda.
Secara khusus, penelitian ini berfokus pada fenomena psikologis yang
disebut pembingkaian valensi (valence-framing), yang melibatkan cara
orang melihat preferensi mereka terkait dengan mendukung pilihan yang
diinginkan (contohnya, X) atau menolak pilihan yang tidak diinginkan
(contohnya, Y).
Dalam penelitian ini terdapat 2 kelompok yang memilih kandidat X namun
alasannya berbeda, kelompok pertama memilih karena mendukung X (pro-X)
kelompok lainnya memilih kandidat X karena menolak kandidat Y
(kontra-Y). Kemudian peneliti tertarik untuk memahami bagaimana
perbedaan dalam kerangka valensi dapat mempengaruhi respons individu
terhadap serangan informasi tentang kandidat pilihannya.
Sebagai contoh, jika diberi tahu bahwa kandidat X pernah melakukan
korupsi, apakah pemilih yang mendukung X atau yang tidak mendukung Y
akan lebih cenderung menolak informasi negatif tersebut? Ternyata,
peserta yang Kontra-Y akan lebih menolak.
Dalam fenomena yang disebut sebagai efek pembingkaian valensi
(valence-framing effect), preferensi yang dibingkai dalam bentuk oposisi
(menentang kandidat yang lainnya) cenderung memiliki kekuatan yang
lebih besar.
Dengan kata lain, individu yang memiliki preferensi berbasis oposisi
tidak hanya lebih mungkin menolak pesan persuasif yang menyerang
kandidat pilihan mereka, tetapi mereka juga lebih condong untuk memilih
kandidat yang mereka sukai. bahkan kelompok kontra Y lebih bersedia
untuk menjadi sukarelawan dalam kampanye, menyumbangkan uang, dan
berniat untuk memilih kandidat X dibanding dengan kelompok yang pro-X.
Temuan selanjutnya menunjukkan implikasi bahwa Masyarakat menjadi lebih
yakin ketika dibujuk untuk menganggap preferensi pilkada 2024
Mereka sebagai
oposisi dibandingkan dukungan, dan peningkatan kepastian ini bertanggung
jawab atas fakta bahwa membingkai sikap secara negatif akan
menghasilkan niat perilaku yang lebih konsisten dengan sikap.
Pada akhirnya, apakah preferensi dalam pemilihan kepala daerah yang akan datang
lebih ditentukan oleh dukungan terhadap kandidat pilihan anda? atau
penolakan terhadap kandidat yang bukan pilihan anda?
Bagaimana hal ini dapat mempengaruhi respons anda terhadap berita
negatif tentang kandidat pilihan anda? Dan bagaimana hal ini dapat
memengaruhi motivasi anda untuk turun dan memberikan suara maupun
terlibat dalam euphoria 5 tahunan ini? Mungkin semua ini dipengaruhi
oleh perbedaan sederhana dalam fenomena framing.
Rahmad Muliadi (Mahasiswa S2 Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran)
Rahmad Muliadi (Mahasiswa S2 Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran)
0 comments:
Post a Comment