fenomena yang saling bertolak belakang tampak dalam gelaran Pilkada serentak 2024 . Pilkada yang berlangsung di 101 daerah ini sebagian besar terlihat kurang greget. Malah bisa dikatakan senyap. Gaungnya tak begitu terdengar. Kandidat berulang kali kampanye, tetapi sambutan publik adhem ayem saja. Masyarakat di banyak daerah seolah-olah tak merasakan hadirnya peristiwa penting yang menentukan nasib mereka selama lima tahun ke depan.
Kontras dengan apa yang terjadi di DKI Jakarta. Fenomenanya malah bisa dikatakan sebagai anomali. Disini pilkada terasa seru. Gaduh dan penuh hiruk pikuk. Keriuhan yang ada begitu menguras waktu, pikiran dan energi. Seringkali malah melibatkan emosi, kebencian dan amarah. Akibat kegaduhan banyak persaudaraan dan pertemanan mengalami kerenggangan. Meskipun seru, tetapi menimbulkan rasa tak nyaman. Masyarakat mulai jenuh dengan kegaduhan itu dan menginginkan suasana tersebut bisa segera berlalu.
Baik yang adhem ayem maupun yang gaduh, keduanya tidak mendukung berlangsungnya pesta demokrasi yang berkualitas. Pilkada tetap harus dinamis dan bergairah. Jangan sampai lengang dari perbincangan publik. Semakin banyak masyarakat yang terlibat dalam pembicaraan seputar pilkada tentu semakin baik. Ini berarti masih banyak warga negara yang peduli terhadap persoalan daerahnya. Hanya saja keterlibatan masyarakat tersebut mesti diarahkan dalam koridor yang benar. Yakni untuk memperbincangkan kualitas dan kapasitas calon, program-program yang diusung dan keterkaitannya dengan isu-isu publik di daerah.
Kegaduhan yang kini terjadi perlu dijadikan pelajaran ke depan agar semua pihak lebih dewasa dalam berpolitik. Para calon sebaiknya mengerem pernyataan-pernyataan yang bisa memicu kontroversi. Sebab, selain dapat menimbulkan gesekan di akar rumput juga sejatinya menjadi blunder bagi dirinya sendiri. Cara-cara tercela dengan mengeksploitasi isu SARA jangan sampai digunakan oleh segenap tim pemenangan calon. Media juga harus berperan dalam mengedukasi para pemilih, bukan malah memanaskan suasana.
Terlepas dari kegaduhan yang dirasakan, Pilkada Jakarta telah mampu untuk terus menurunkan angka undecided voters. Hasil survei terbaru dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa mereka yang masih belum menentukan pilihan tinggal 8,5%. Elektabilitas masing-masing pasangan calon juga tak terpaut jauh. Ini berarti kontestasi pilkada di Jakarta memang kompetitif. Mengapa? Karena calon-calon yang ditampilkan memang menarik. Baik pasangan petahana maupun penantang-penantangnya bukanlah figur medioker. Bukan calon yang dianggap biasa-biasa saja oleh publik.
Kurang gregetnya pilkada di sebagian besar daerah boleh jadi karena calon yang ditampilkan adalah calon-calon yang menjemukan. Mereka yang dipersepsikan publik tidak akan mengubah keadaan. Sehingga siapapun yang jadi akan sama saja keadaannya. Jika calon-calon yang diusung partai adalah calon-calon yang cemerlang tentu pilkada akan lebih menarik dan tak lagi terasa sepi.
Walaupun sepi, pilkada di banyak daerah bukan tanpa persoalan. Di permukaan bisa saja tak terasa, namun di bawah sangat mungkin terjadi pergerakan mempengaruhi pemilih dengan iming-iming imbalan. Sebab, politik uang masih diyakini oleh banyak calon sebagai cara mengamankan keterpilihan. Bawaslu beserta jajarannya harus jeli mengawasi. Masyarakat pun dapat berperan dalam mengantisipasi. Kegiatan semacam ronda antipolitik uang di lingkungan sekitar perlu digiatkan. Setidaknya bisa menangkal modus-modus semacam serangan fajar.
Hal yang tak kalah pentingnya adalah kemampuan para calon untuk berlapang dada saat kalah pilkada. Kebesaran jiwa calon untuk mengakui kekalahan akan menurunkan tensi politik pendukungnya. Konflik terjadi seringkali bukan karena ketidakpuasan pendukung, namun akibat keengganan calon dan tim sukses menerima hasil pilkada. Calon yang menang hendaknya tidak menunjukkan keangkuhan. Menghormati calon yang kalah dan tidak merendahkannya adalah sikap yang harus dikedepankan
Pakar politik, Wakil Dekan FISIP
0 comments:
Post a Comment