JAKARTA KONTAK BANTEN Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung sama-sama membantah tudingan bahwa dana triliunan rupiah milik pemerintah daerah mereka sengaja disimpan di bank untuk mendapatkan bunga deposito. Menurut keduanya, dana itu merupakan kas daerah yang terus bergerak untuk membayar berbagai kegiatan dan proyek pembangunan.
Pernyataan ini muncul setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti lambatnya realisasi belanja daerah yang menyebabkan sekitar Rp234 triliun dana pemerintah daerah masih tersimpan di bank hingga akhir September 2025. Dari jumlah itu, DKI Jakarta dan Jawa Barat disebut memiliki simpanan terbesar—masing-masing Rp14,6 triliun dan Rp4,17 triliun.
Menanggapi hal itu, Dedi Mulyadi langsung mendatangi kantor Bank Indonesia (BI) di Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Rabu (22/10/2025), untuk mengecek kebenaran data tersebut. “Adapun data dari BI itu adalah pelaporan per 30 September,” ujar Dedi seusai pertemuan dengan pejabat BI.
Menurutnya, BI menerima laporan keuangan daerah dari bank secara
bulanan, sedangkan Pemprov Jabar melaporkannya secara harian melalui
Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) ke Kemendagri.
Perbedaan sistem ini, kata Dedi, kerap menimbulkan kesalahpahaman publik.
“BI itu hanya mengambil data dari bank setiap akhir bulan. Jadi kalau ada persepsi uang pemerintah sengaja disimpan, ya itu keliru. Karena uang itu kas daerah, yang setiap hari dipakai untuk belanja,” ujarnya.
Ia menegaskan tidak ada dana Pemprov Jabar yang disimpan dalam bentuk deposito. “Update-nya, tidak ada uang Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang tersimpan di bank, baik BJB maupun bank lain, dalam bentuk deposito. Apalagi Rp4,1 triliun. Yang ada hari ini hanya sekitar Rp2,4 triliun—itu pun sudah belanja lagi,” katanya.
Dedi bahkan memberi contoh bagaimana kas daerah terus bergerak setiap hari. “Ya bisa jadi tadi pagi Rp2,5 triliun, sekarang Rp2,4 triliun. Uangnya keluar lagi, buat bayar proyek, gaji tenaga kebersihan, satpam, listrik, sampai kontraktor jalan dan irigasi. Kan nggak mungkin kas pemerintah disimpan di brankas, jadi ya memang disimpan di bank,” tuturnya.
Ia juga mengusulkan agar data keuangan daerah di Kemenkeu dan Kemendagri bisa disatukan dalam sistem yang sama sehingga laporan keuangan pemerintah daerah dapat dibaca secara harian. “Harusnya connect. Dari provinsi ke Kemendagri, lalu dari Kemendagri langsung terkoneksi ke Dirjen Perimbangan Keuangan di Kemenkeu,” kata Dedi.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung juga menegaskan hal serupa. Menurutnya, dana Rp14,6 triliun milik Pemprov DKI yang masih tersimpan di bank bukan untuk deposito, melainkan untuk membayar proyek fisik dan pengadaan barang serta jasa yang jatuh tempo pada November dan Desember.
“Benar ada dananya, tetapi bukan untuk jadi deposito atau disimpan begitu saja,” ujar Pramono di Kantor BPKP, Jakarta Timur, Rabu (22/10/2025). “Ini semata-mata untuk persiapan menyelesaikan pembayaran proyek fisik serta pengadaan barang dan jasa,” tambahnya.
Ia menjelaskan, pola pembayaran di akhir tahun sudah menjadi kebiasaan dalam pelaksanaan APBD DKI. Banyak proyek baru mencapai tahap akhir di kuartal keempat, sehingga pencairan anggaran menumpuk menjelang tutup tahun. “Selalu begitu. Di tahun 2023, misalnya, pembayaran proyek mencapai Rp16 triliun. Tahun berikutnya naik jadi Rp18 triliun,” ujarnya.
Menurut Pramono, pola tersebut membuat seolah-olah dana daerah “mengendap” di bank, padahal uang itu sudah dialokasikan dan menunggu proses penyelesaian administrasi serta termin pekerjaan.
“Begitu proyek selesai, langsung dibayar. Jadi bukan uang tidur,” katanya.
“Kalau datanya bulanan, kelihatannya besar. Tapi kalau dilihat harian, uang itu jalan terus,” ucap Dedi Mulyadi menutup keterangannya.
0 comments:
Post a Comment