Bagaimana
bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi
mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah
masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan
aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan
(preventif). (Mohamad Mulyadi SH Pengacara Jakarta )
Korupsi ( bahasa latin:
courruptio dari kata kerja corrumpere, yang bermakna busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah
perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri,
yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya
mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik
yang dipercayakan kepada mereka.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di
Indonesia telah menjadi penyakit sosial yang sangat membahayakan
kelangsungan kehidupan bangsa dari upaya mewujudkan keadilan sosial,
kemakmuran dan kemandirian, bahkan memenuhi hak-hak dasar kelompok
masyarakat rentan (fakir miskin, kaum jompo dan anak-anak terlantar).
Menurunnya tingkat kesejahteraan (menyengsarakan rakyat), kerusakan
lingkungan sumber daya alam, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan,
hilangnya modal manusia yang handal, rusaknya moral masyarakat secara
besar-besaran bahkan menjadikan bangsa pengemis merupakan cerminan dari
dampak KKN.
Pada umumnya, korupsi adalah benalu
sosial yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama
terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan negara. Selain itu,
Korupsi merupakan bagian dari gejala sosial yang masuk dalam klasifikasi
menyimpang (negative), karena merupakan suatu aksi tindak dan perilaku
sosial yang merugikan individu lain dalam masyarakat, menghilangkan
kesepakatan bersama yang berdasar pada keadilan, serta pembunuhan
karakter terhadap individu itu sendiri. Makna korupsi, sebagai suatu
tindakan amoral, tidak memihak kepentingan bersama (egois), mengabaikan
etika, melanggar aturan hukum, dan terlebih melanggar aturan agama.
Kolusi adalah suatu kerja sama
melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara
negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau
Negara. Dan Nepotisme adalah tindakan atau perbuatan yang menguntungkan
kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan masyarakat,
bangsa dan Negara.
Dalam prakteknya Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat
diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian
yang otentik. Disamping itu sangat sulit mendeteksinya dengan
dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) ini merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai baik
oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Tindakan Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini merupakan produk dari sikap hidup satu
kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan
sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya
raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam
golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan
menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat.
Dalam konteks USDRP yang diinisasi
Pemerintah dan Bank Dunia, KKN menjadi penyebab rendahnya daya saing
suatu daerah, terhambatnya proses pertumbuhan dan pengembangan ekonomi
lokal/daerah maupun semakin jeleknya kualitas dan kuantitas layanan
publik. Untuk itu, menjadi suatu kewajaran salah satu manual UIDP yang
dikembangkan oleh CPMU dengan dukungan Team Manajemen Konsultan UIDP dan
MTAS mengembangkan manual tentang Program Anti Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme yang dikenal Anti Corruption Action Plan/ACAP. Tentunya
pengembangan manual ACAP yang sedang disiapkan oleh Team Konsultan
Tingkat Nasional tersebut menjadi saksi bahwa Pemerintah dan Bank Dunia
melalui USDRP serius untuk membasmi pelaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN) beserta benih-benihnya. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
menjadi tumbuh subur pada suatu tatanan pemerintahan yang mengabaikan
prinsip demokratisasi dasar yakni transparansi, partisipasi dan
akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya publik. Dampaknya paling
dirasakan oleh kelompok sosial masyarakat rentan baik secara ekonomi
maupun akses, selain itu tumbuh kembangnya budaya dan relasi informal
dalam pelayanan publik serta distrust terhadap pemerintahnya. Hernando
de Soto (1992) misalnya menyatakan. .terdapat perilaku rasional
(rational choice) dari masyarakat untuk menjadi informal secara ekonomis
terhadap pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Munculnya
perilaku rational choice masyarakat tidak terlepas dari perilaku
birokrasi yang selama ini dirasakan oleh masyarakat. Barzelay (1982)
dalam Breaking Through Bureaucracy menyatakan masyarakat bosan pada
birokrasi yang rakus dan bekerja lamban
Bagaimana bila suatu saat mereka bisa
menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan
kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja,
yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan
pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif).
Perkara Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN) yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif,
yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya
Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin
tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi
yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan
gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa
para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat
luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka
yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana
korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP yang begitu kusut
hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara pelaku korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) di negara yang berupaya mewujudkan good goverment and
clean goverment sebagai salah satu cita-cita reformasi.
Akibat akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini adalah :
- Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
- ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
- pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan
bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat
tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak
mendorong perusahaan untuk berusahaterutama perusahaan asing,
ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan
tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :
- Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
- Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
- Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
- Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi,hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
Secara umum akibat Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi
kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang
tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.Semangat dan upaya pemberantasan korupsi
di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk
perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi
Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Harapan terhadap
produk-produk hukum diatas adalah praktek sebelum reformasi dapat dibawa
kemeja hijau dan uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca
reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif. Namun apa yang terjadi
dilapangan tidaklah sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus dimasa orde
baru ada yang sampai kemeja hijau. Walau ada yang sampai pada putusan
hakim tapi lebih banyak yang diputuskan atau bahkan hanya sampai pada
penyidik dan Berita acara perkaranya (BAP) mungkin disimpan dilemari
sebagai koleksi pribadi pengadilan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana
hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah sama saja walaupun
sebenarnya dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang perang
terhadap korupsi sudah menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau
disebut jalan ditempat.Beberapa kasus besar memang telah sampai
pada putusan pemidanaan dan berkekuatan hukum tetap. Tapi perkara
korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) ini bukanlah monopoli dari kalangan
elit tapi juga oleh kalangan akar rumput walaupun kerugian yang
ditimbulkan sedikit. Pertanyaan selanjutnya? Bagaimana bila suatu saat
mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal
meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah
kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya
hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif).
Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum tapi juga budaya, kebiasaan
dan kesempatan, moral dan agama. Sehingga menjadi suatu kesalahan besar
ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa diberantas sampai
keakar-akarnya bila yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan
yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru korupsi,
kolusi dan Nepotisme (KKN) ini akan semakin meningkat. Indonesia
merupakan negara yang berprestasi dalam hal korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) dan negara-negara lain tertinggal jauh dalam hal ini.
Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi
semacam slogan umum bahwa Indonesia negara terkorup tapi koruptornya
tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat terjadi di
negeri antah barantah. Selain korupsi, dua kata yang dikaitkan dengannya
adalah kolusi dan nepotisme juga merupakan tindak pidana. Tapi apakah
selama ini ada perkara yang terkait dengan hal itu.Muncul pertanyaan apakah dimasukannya dua
tindak pidana tadi hanya sebagai produk untuk memuaskan masyarakat
saja? Atau memang bertujuan melakukan pemberantasan terhadap kolusi dan
nepotisme yang telah masuk kedalam stuktur masyarakat dan struktur
birokrasi kita? Kenapa UU No.28/1999 tidak berjalan efektif dalam
aplikasinya? Apakah ada error criminalitation? Padahal proses pembuatan
suatu undang-undang membutuhkan biaya yang besar dan akan menjadi
sia-sia bila tidak ada hasilnya. Dimana sebenarnya letak kesalahan yang
membuat tujuan tertib hukum ini justru meningkatkan ketidaktertiban
hukum.Dizaman dimana hukum positif berlaku dan
memiliki prinsip asas legalitas yang bertolak pada aturan tertulis
membuat hukum dipandang sebagai engine solution yang utama dalam
mengatasi banyak permasalahan yang muncul dimasyarakat. Namun dalam
realitasnya ternyata hukum hanya sebagai obat penenang yang bersifat
sementara dan bukan merupakan upaya preventif serta bukan juga sebagai
sesuatu yang dapat merubah kebiasaan dan budaya negatif masyarakat yang
menjadi penyebab awal permasalahan.Permasalahan pokok yang menyebabkan
ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya ketidaktertiban sosial.
Bila bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan
sosial masyarakat karena hukum merupakan hasil cerminan dari pola
tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat
disayangkan hukum sering dijadikan satu-satunya mesin dalam
penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya
menjadi basis utama dalam penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial
memegang peran yang penting dalam upaya pencegahan kejahatan yang
tentunya hasilnya akan lebih baik karena memungkinkan memutus mata
rantainya.Upaya Penanggulangan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) :
- Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansipemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
- mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
- Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
- Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
- menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
- hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan sense ofbelongingness dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasaperuasahaan tersebut adalah milik sendiri dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
Pada akhirnya pemerintah mempunyai peran
penting dalam penanganan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini
sehingga bangsa kita bisa lebih menjadi lebih baik dan lebih maju.
0 comments:
Post a Comment