SERANG, (KB).- Satu keluarga terdiri atas seorang
ayah dan 13 anak di Kampung Palembangan, Desa Dukuh, Kecamatan Kragilan
tinggal di gubuk sangat sederhana. Ada dua gubuk yang mereka jadikan
tempat tinggal, salah satunya merupakan bekas kandang kambing. “Sudah
tiga tahun kami tinggal di gubuk ini. Di tempat inilah 13 anak-anak saya
tidur,” kata Sarbini, bapak 13 anak, kepada Kabar Banten, Senin
(31/7/2017).
Menurut Sarbini, ia memutuskan tinggal di gubuk bekas kandang kambing
karena rumahnya luluh lantak dihantam banjir saat pembangunan tanggul,
tiga tahun lalu. Sejak itu ia belum sanggup membangun kembali rumahnya.
“Sejak rumah roboh, saya dan anak-anak tidak punya tempat tinggal. Hanya
gubuk ini yang bisa kami jadikan rumah,” ujarnya lirih, sambil mengusap
air mata. Ia masih bersyukur karena masih memiliki tanah warisan
orangtua. Jika tidak, ia dan 13 anaknya akan menjadi gelandangan.
Ia mengatakan, karena gubuk yang ditinggalinya tersebut tidak muat
untuk menampung 13 anak-anaknya, maka ia berinisiatif mendirikan satu
bangunan lain yang juga tidak layak huni. Letak dua bangunan itu
berdekatan. “Karena tidak ada bilik, bangunan yang kedua itu dibiarkan
terbuka. Di sana anak-anak saya yang sudah besar tidur. Sementara yang
masih kecil-kecil tinggal di gubuk satunya sama saya,” ucapnya.
Karena keadaan tersebut, ia sering meminta maaf kepada anak-anaknya.
Bukan hanya karena tinggal di kandang kambing, tapi juga karena ia tak
mampu menyekolahkan seluruh anaknya. “Anak-anak saya tidak ada yang
sekolah, belajar sendiri saja di sini. Saya yang ajarin belajar nulis,”
tuturnya. Untuk menghidupi keluarganya, ia mengandalkan kerjaan
serabutan yang didapatnya dari warga sekitar. Kerjaan itu biasanya
dilakukan oleh anak-anaknya yang sudah berusia remaja. Sedangkan dirinya
tidak bisa bekerja, karena harus mengasuh anak-anaknya yang kebanyakan
masih berusia kanak-kanak.
Anak-anak ada yang ngangkut bata, ambil kelapa, kadang dikasih sama
tetangga. Kalau saya sehari-hari ngasuh, anak-anak masih pada kecil.
Kalau sudah ngasuh, baru kerja. Itu pun kalau ada,” katanya.
Ketika dikonfirmasi, Sekretaris Kecamatan Kragilan Endang Mulyadi belum mendapatkan laporan terkait kondisi salah seorang warganya tersebut. Ia berjanji segera mengecek ke lapangan. Hal itu untuk memastikan bantuan apa yang akan diberikan. “Terus terang saja belum dapat laporan,” ujarnya.
Ketika dikonfirmasi, Sekretaris Kecamatan Kragilan Endang Mulyadi belum mendapatkan laporan terkait kondisi salah seorang warganya tersebut. Ia berjanji segera mengecek ke lapangan. Hal itu untuk memastikan bantuan apa yang akan diberikan. “Terus terang saja belum dapat laporan,” ujarnya.
Menurutnya, jika benar kondisi warganya seperti itu maka pemerintah
akan membantu. Oleh sebab itu, pihaknya segera berkoordinasi dengan
kepala desa setempat dan TKSK Dinsos untuk menentukan langkah tepat.
“Pastinya saya koordinasi dengan kepala desa. Hasil kroschek itu akan
dilaporkan ke Pak Camat. Kalau memang sudah dapat bantuan dari Dinsos,
artinya saya juga harus koordinasi dengan TKSK yang ada di kecamatan.
Tentu harus dikoordinasikan,” tuturnya.
Tak Kenal Bangku Sekolah
EMISKINAN telah membuat seorang bapak bernama Sarbini (52) harus
tinggal di rumah sangat sederhana bersama 13 orang anaknya. Bukan hanya
itu, ke-13 putra putrinya tersebut tidak ada satupun yang sempat
mengenyam bangku pendidikan. Semua lara yang dirasakannya itu tidak
lepas dari jerat ekonomi yang melilitnya. Jangankan untuk memberikan
indahnya dunia pendidikan kepada buah hatinya, untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari pun ia masih kerap kali kekurangan. Makanan yang kerap
disantapnya jauh dari rasa enak atau pun cukup gizi. Untuk memenuhi
kebutuhan sehari-harinya, ia hanya mengandalkan belas kasihan orang di
sekitarnya lewat pekerjaan yang kadang diberikan kepadanya dan juga
putra-putranya.
Sarbini menuturkan, sehari-hari ia tidak bisa bekerja. Sebab, selepas
istri tercintanya meninggal 5 tahun lalu, dirinya harus menggantikan
peran seorang ibu, yakni mengasuh buah hatinya. Sebab, dari ke-13 orang
anaknya tersebut, kebanyakan masih usia kanak-kanak. “Anak yang paling
besar umurnya 26 tahun, yang paling kecil itu 5 tahun. Yang tiga sudah
menikah,” ujar Sarbini, saat ditemui di kediamannya di Kampung
Palembangan, Desa Dukuh, Kecamatan Kragilan, Senin (31/7/2017).
Karena hal itu lah, ia menjadi tidak bisa bekerja seperti orang lain.
Akibatnya, penghasilan Sarbini tidak menentu, tidak ada penghasilan
tetap. Mereka kerap makan nasi aking dan buah-buahan hasil dari
berkebunnya di tanah milik salah satu perusahaan di wilayah Kragilan.
“Kehidupan sehari-hari kalau buat makan ada saja rezeki mah. Sudah ada
yang ngatur, kadang-kadang anak ada yang nyuruh ngoyos (membersihkan
tanaman pengganggu),” katanya.
Ia mengatakan, 13 anaknya tersebut tidak ada satupun yang mengenyam
pendidikan. Padahal, sekolah tidak jauh dari tempatnya tinggal.
Sebenarnya, dahulu Sarbini memiliki 18 orang anak, namun 5 orang lainnya
sudah terlebih dahulu dipanggil Yang Maha Kuasa, sehingga saat ini
hanya tinggal 13 orang.
“Ada yang kembar itu meninggal, kurang hafal juga anak ke berapa yang meninggal. Itu enggak ada yang sekolah semuanya, karena enggak punya biaya,” ucapnya.
“Ada yang kembar itu meninggal, kurang hafal juga anak ke berapa yang meninggal. Itu enggak ada yang sekolah semuanya, karena enggak punya biaya,” ucapnya.
Walau tidak sekolah, Sarbini tetap memberikan pendidikan kepada
anak-anaknya bermodal dari ilmu yang didapat dari pondok pesantren.
Bahkan, ia pun sempat memiliki pesantren dan mengajar di rumahnya
dahulu, namun semua itu telah sirna seiring musibah yang didapatnya
beberapa tahun lalu.
“Rumah bapak dulu roboh pas pembuatan tanggul. Karena biasanya juga dulu itu sering kena banjir, tapi pas pembuatan tanggul airnya datang berbarengan dan rumah bapak ketendang,” tuturnya, lirih sambil mengingat peristiwa beberapa tahun lalu itu.
“Rumah bapak dulu roboh pas pembuatan tanggul. Karena biasanya juga dulu itu sering kena banjir, tapi pas pembuatan tanggul airnya datang berbarengan dan rumah bapak ketendang,” tuturnya, lirih sambil mengingat peristiwa beberapa tahun lalu itu.
Di dalam gubuk berukuran 2 x 1 yang terbuat dari potongan-potongan
bambu dan kayu sisa serta beratapkan plastik tersebut, ia bersama
anak-anaknya tinggal. Tidak ada barang mewah di rumahnya, selembar tikar
menjadi alasnya untuk melepaskan penat. Tidak jauh dari gubuk tersebut,
dibangun pula gubuk lainnya yang ukurannya sedikit lebih besar, namun
tidak berdinding dan hanya beratapkan terpal. Gubuk tersebut digunakan
untuk tempat tidur putra-putranya yang sudah cukup besar.
Sedangkan untuk anaknya yang masih kecil, mereka tidur bersama
dirinya di gubuk pertama yang berdinding. Konon, tempat yang kini
disulap menjadi gubuk tersebut dahulunya adalah kandang kambing. Karena
tak ada tempat lain, akhirnya kandang kambing itu lah yang dipakai
sebagai tempat tinggal. “Ini rumah juga dibangunnya dari kayu-kayu
potongan. Anak saya dapat dari kali, ada kayu hanyut terus dibawa ke
sini dipakai untuk nambal. Ya karena enggak ada biaya,” katanya.
Bukan tidak iba pada anak-anaknya, namun itulah yang mampu diberikan
kepada buah hatinya tersebut. Anak-anaknya pun kerap bilang padanya,
jika tidur di gubuk tersebut kedinginan, terlebih jika turun hujan dan
angin kencang, tempat itu menjadi menyeramkan. “Takut juga kalau ada
angin kencang,” ujarnya. Dirinya selalu berharap ke depan kehidupannya
bisa lebih baik. Ketika jatuh sakit, dirinya pun kerap merasa
kebingungan, sebab tidak ada uang untuk berobat “Dari dinsos biasanya
ada bantuan Rp 600.000-Rp 700.000. Tapi sekarang belum ada. Untuk BPJS
juga baru kemarin dapat, dan baru 7 orang yang dapat,” tuturnya. (
0 comments:
Post a Comment