SERANG – Raperda tentang Garis Sempadan Jalan yang saat ini masih
dalam pembahasan di panitia khusus (pansus) DPRD Kota Serang dapat
menjadi buah simalakama bagi Pemkot Serang. Raperda itu dinilai akan
mempunyai dampak yang sangat besar bagi kehidupan warga dan pemerintah
apabila disahkan nanti.
Wakil Ketua DPRD Kota Serang Amanudin Toha mengatakan, pimpinan Dewan
sudah mendesak kepada pansus agar raperda itu segera dibahas kembali.
“Ini memang dilema. Segera disahkan salah, tidak disegerakan makin
salah,” ujar Aman Minggu (4/2).
Meski demikian, Aman mengatakan, raperda itu harus segera dibahas
kembali agar kondisi Kota Serang tidak semakin semrawut dengan maraknya
bangunan yang melanggar garis sempadan jalan. Namun, pembahasan itu
harus melibatkan masyarakat. “Agar tidak menjadi polemik,” ujar
politikus Partai Demokrat itu.
Apalagi, tambah Aman, kalau mengikuti ketentuan jalan protokol harus
mencapai 15 meter. Meskipun raperda itu direncanakan tidak berlaku
surut, tapi masyarakat juga pasti akan kewalahan saat mengurus izin
mendirikan bangunan (IMB) ketika akan melakukan rehab bangunan.
Dihubungi terpisah, Walikota Serang Tb Haerul Jaman mengakui adanya
bangunan-bangunan di pinggir jalan yang tidak sesuai dengan garis
sempadan jalan di Kota Serang. Apalagi itu terjadi di daerah-daerah yang
dilakukan pelebaran jalan seperti Jalan KH Fatah Hasan dan Jalan KH
Abdul Hadi.
“Awalnya punya halaman dan pagar, tapi karena ada pembebasan lahan yang cukup besar, ya halamannya jadi hilang,” ujar Jaman.
Meskipun izin mendirikan bangunan (IMB) dapat ditinjau ulang, namun,
ia mengatakan, apabila ketentuan garis sempadan itu benar-benar
diberlakukan kepada para pemilik bangunan yang sudah lama berada di
daerah tersebut maka masyarakat bisa ‘teriak’.
Untuk itu, apabila Raperda tentang Garis Sempadan disahkan menjadi
perda maka aturan garis sempadan jalan itu hanya berlaku bagi
pembangunan yang baru. Apabila ada masyarakat yang ingin membuat
bangunan baru maka harus mengikuti ketentuan garis sempadan sesuai
dengan perda itu.
Untuk mengantisipasi adanya parkir kendaraan di bahu jalan, politikus
Golkar itu akan meminta Dinas Perhubungan untuk memasang rambu dilarang
parkir dan dilarang berhenti. “Kalau ada yang tidak sesuai dengan garis
sempadan, jangan parkir kendaraan di bahu jalan apalagi di trotoar,”
tegas Jaman.
Pantauan Radar Banten, di sejumlah ruas jalan di Kota Serang
masih ditemukan bangunan (rumah, toko, dan perkantoran) yang melanggar.
Posisi bangunan yang berada persis di pinggir jalan, baik itu jalan
nasional, provinsi, maupun Kota Serang tidak mengindahkan garis sempadan
jalan.
Mengacu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
menyebutkan bahwa bangunan harus mempunyai jarak bebas bangunan yang
meliputi garis sempadan bangunan (GSB) dan jarak antargedung. Dalam UU
tersebut dijelaskan, GSB mempunyai arti sebuah garis yang membatasi
jarak bebas minimum dari bidang terluar suatu massa bangunan terhadap
batas lahan yang dikuasai.
Batasan atau patokan untuk mengukur besar GSB adalah as jalan, tepi
sungai, tepi pantai, jalan kereta api, dan/atau jaringan tegangan
tinggi. Sehingga jika rumah berada di pinggir jalan maka garis sempadan
diukur dari as jalan sampai bangunan terluar di lahan tanah yang
dikuasai. Standarnya GSB, yakni tiga sampai lima mater.
Keberadaan bangunan yang banyak melanggar GSB, yakni ada di Kawasan
Kebonjahe, Kawasan Cijawa sepanjang Jalan KH Abdul Fatah Hasan, Jalan
Ahmad Yani, dan sejumlah ruas jalan lain.
Di Jalan KH Abdul Fatah Hasan dan Kebonjahe, rata-rata keberadaan
bangunan baik itu ruko, rumah makan, dan tempat usaha lainnya minim
lahan parkir. Bahu jalan yang seharusnya diperuntukkan bagi kendaraan
yang melintas malah dipakai parkir sehingga mempersempit lebar jalan.







0 comments:
Post a Comment