JAKARTA - Sejumlah kalangan menilai kebijakan pangan pemerintah selama
ini terpaku pada upaya ketahanan pangan yang terlalu mengandalkan impor
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, bukan fokus meningkatkan
produktivitas dari petani sendiri. Padahal, impor pangan yang cenderung
tanpa kendali itu terbukti mematikan petani sendiri, dan hanya
menguntungkan petani negara eksportir.
Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun menemukan 11
kesalahan dalam impor pangan yang dilakukan antara tahun 2015 hingga
semester I 2017. Oleh karena itu, auditor negara tersebut meminta
pemerintah membenahi sistem impor pangan.
Ketua BPK, Moermahadi Soerja Djanegara, menjelaskan salah satu hasil
pemeriksaan yang signifikan pada pemerintah pusat adalah terkait
pengelolaan tata niaga impor pangan yang dilakukan Kementerian
Perdagangan (Kemendag). Dari hasil itu, BPK menyimpulkan bahwa sistem
pengendalian internal Kemendag belum efektif untuk memenuhi kepatuhan
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Rekomendasi kami kan supaya perbaiki sistemnya, bukan masalah impor
atau tidak impor. Tapi memang harus diperbaiki kapan impornya, harus
sama semua datanya dengan Kementerian Pertanian, Kementerian terkait,”
kata Moermahadi, di Jakarta, Kamis (5/4).
Dia mengemukakan hal itu usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo
untuk menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun
2017 kepada Presiden, di Istana Merdeka.
Menurut Moermahadi, Presiden Jokowi menyambut baik temuan BPK
tersebut. Presiden berjanji akan memperbaiki sistem impor pangan agar
tak ada lagi perbedaan data antara Kemendag dan kementerian terkait
lainnya. “Ya, akan ditindaklanjuti, Presiden bilang. Karena memang data
itu harus kita rapikan,” kata Moermahadi.
“Kami kan usulnya bahwa surat impor perdagangan keluar kalau data
pertanian, kelautan, yang berhubungan dengan itu harus masuk dulu. Kalau
enggak ada data itu, enggak usah (impor),” ujar dia. Sebelumnya, BPK
menemukan 11 kesalahan impor pangan dalam kurun dua tahun.
Beberapa di antaranya penerbitan Persetujuan Impor (PI) gula dalam
rangka menjaga ketersediaan dan stabilitas harga Gula Kristal Putih
(GKP) sebanyak 1,69 juta ton, penerbitan PI Gula Kristal Mentah (GKM)
sebanyak 108 ribu ton dengan nilai 783,28 miliar rupiah, penerbitan PI
beras sebanyak 70.195 ton dengan realisasi sebanyak 36.347 ton, hingga
pelaksanaan impor beras kukus sebanyak 200 ton dengan nilai mencapai
1,65 miliar rupiah oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum
Bulog).
Sebetulnya, lanjut Moermahadi, pemerintah sudah punya sistem
perizinan ekspor impor melalui Inatrade. Menurut dia, Kementerian
Perdagangan seharusnya bisa mengawasi realisasi impor yang sesuai dengan
kebutuhan dalam negeri.
Perbaiki Tata Niaga
Terkait dengan prioritas kebijakan pangan, Guru Besar Pertanian dari
UPN Veteran Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan seharusnya
yang disasar adalah kedaulatan pangan sehingga pemenuhan kebutuhan
pangan diupayakan dari produksi dalam negeri. “Dengan kedaulatan pangan,
petani akan menjadi pihak yang paling berdaulat sesuai dengan risiko
yang diembannya.
Untuk itu, pemerintah diharapkan memperbaiki tata niaga pangan,” kata
dia. Menurut Ramdan, selama ini dengan paradigma ketahanan pangan, dua
minggu sebelum panen, pemerintah malah impor beras dengan dalih
perhitungan untuk mencukupi kebutuhan tiga bulan ke depan. “Padahal,
saat itu sudah bisa dicukupi dari panen.
Hal ini terjadi karena data yang ada selalu tidak klop, karenanya
selalu dipilih data yang menguntungkan pengusaha,” ujarnya. Ramdan
menjelaskan dalam program kedaulatan pangan, petani yang dalam keadaan
high risk akan mendapat keuntungan yang paling besar. “Bukan seperti
sekarang risikonya paling besar, tapi paling kecil keuntungannya.
Ini terjadi karena tata niaga yang ada sekarang lebih ditentukan oleh
aspek hilir, harga ditentukan oleh pihak yang dekat dengan konsumen,
seperti tengkulak, penggilingam, distributor dan lainnya,” kata dia.
Seperti dikabarkan, tren kenaikan harga atau inflasi pangan semestinya
dibarengi dengan kenaikan kesejahteraan petani sebagai produsen pangan,
antara lain ditandai dengan kenaikan nilai tukar petani (NTP).
Akan tetapi, inflasi pangan yang terjadi dalam tiga bulan pertama
tahun ini, justru beriringan dengan penurunan indikator kesejahteraan
petani atau NTP sebesar 1,1 persen.
0 comments:
Post a Comment