Oleh Prof. Dr. Romli Atmasasmita: Korupsi merupakan salah satu
kejahatan yang terorganisasi dan bersifat lintas batas teritorial
transnasional), disamping pencucian uang, perdagangan manusia,
penyelundupan migrant dan penyelundupan senjata api. Demikian bunyi
ketentuan dalam Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisasi.
Konvensi
tahun 2000 ini sudah ditandatangani namun belum diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia, sedangkan Konvensi Anti Korupsi tahun 2003 telah
diratifikasi dengan Undang-undang nomor 7 tahun 2006.
Ditempatkannya korupsi sebagai salah satu kejahatan terorganisasi dan
bersifat transnasional karena pertama, modus operandi korupsi te1ah
menyatu dengan sistem birokrasi hampir di semua negara, termasuk dan
tidak terbatas pada negara-negara di Asia dan Afrika, dan dilakukan
secara besar-besaran oleh sebagian terbesar pejabat tinggi, bahkan
seorang Presiden seperti di Filipina dan Nigeria dan beberapa negara
Afrika lainnya. Kasus terbaru menyangkut mantan Perdana Menteri Thaksin
di Thailand. Alasan kedua, korupsi terbukti telah melemahkan sistem
pemerintahan dari dalam alias merupakan virus berbahaya dan penyebab
proses pembusukan dalam kinerja pemerintahan serta melemahkan demokrasi.
Alasan ketiga, pemberantasan korupsi sangat sulit diperangi didalam
sistem birokrasi yang juga koruptif sehingga memerlukan instrument hukum
yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya. Alasan keempat,
korupsi tidak lagi merupakan masalah dalam negeri atau masalah nasional
suatu negara, melainkan sudah merupakan masalah antarnegara atau
hubungan antara dua negara atau lebih, sehingga memerlukan kerjasama
aktif antara negara-negara yang berkepentingan atau dirugikan karena
korupsi. Hal ini disebabkan sangat banyak bukti bahwa aset hasil korupsi
ditempatkan di negara yang dianggap aman oleh pelakunya seperti,
Kepulauan Caymand, Swiss, Austria, dan beberapa negara di Asia dan
Afrika.
Kecanggihan modus operandi korupsi dan perlindungan asset hasil
korupsi didukung oleh teknlogi informasi modern telah diakui sangat
menyulitkan pemberantasan korupsi hampir di semua negara terutama dalam
proses pembuktiannya.
Perkembangan praktik tersebut di beberapa negara telah memunculkan
suatu gagasan baru dalam menyikapi hambatan dalam proses pembuktian
korupsi. Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian
“beyond reasonable doubt”, yang dianggap tidak bertentangan dengan
prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), akan tetapi
disisi lain sering menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus korupsi.
Terbukti dalam praktik sistem pembuktian tersebut atau dikenal dengan
istilah, “pembuktian negatif” tidak mudah diterapkan.
Kedalaman ilmu pengetahuan dan akal manusia (logika hukum) memang
tidak terbatas, sehingga muncullah alternatif asas pembuktian baru yang
justru berasal dari penelitian negara maju dan dipandang tidak
bertentangan baik dengan perlindungan hak asasi tersangka maupun
konstitusi; namun sangat efektif dalam membuka secara luas akses
pembuktian asal usul harta kekayaan yang diduga diperoleh karena
korupsi. Alternatif pembuktian yang diajukan dan digagas oleh pemikir di
negara maju (Oliver, 2006) adalah, teori “keseimbangan kemungkinan
pembuktian” (balanced probability of principles), yaitu mengedepankan
keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu
di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta
kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi.
Model baru asas pembuktian terbalik ini ditujukan terhadap
pengungkapan secara tuntas asal usul aset-aset yang diduga dari hasil
korupsi itu sendiri, dengan menempatkan hak atas kekayaan pribadi
seseorang pada level yang sangat rendah, akan tetapi secara bersamaan
menempatkan hak kemerdekaan orang yang bersangkutan pada level yang
sangat tinggi dan sama sekali tidak boleh dilanggar.
Teori pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan dalam harta
kekayaan tersebut menempatkan seseorang yang diduga kuat melakukan
tindak pidana korupsi pada posisi di mana sebelumnya yang bersangkutan
belum memperoleh harta kekayaan sebanyak sekarang yang didapat. Teori
tersebut dengan dasar pertimbangan di atas telah dipraktikkan oleh
Pengadilan Tinggi Hong kong dalam kasus ICAC Hong Ong terhadap pemohon
‘judicial review” terhadap proses pembuktian terbalik yang dilaksanakan
oleh pengadilan rendah telah sesuai dengan Hong Kong Bribery Ordinance
Act.
Keputusan Pengadilan Tinggi Hong kong menganggap bahwa proses
pembuktian terbalik yang telah dilaksanakan pengadilan rendah telah
memberikan keadilan sama bagi kedua belah pihak yaitu kepada pemohon
maupun kepada ICAC Hong Kong dalam menyampaikan pembuktiannya.
Advertisement
Berlainan dengan model Hong Kong (dalam pembuktian terbalik) yang
dapat digunakan dalam kasus korupsi melalui prosedur hukum acara pidana,
maka model pembuktian terbalik dalam Konvensi Anti Korupsi 2003 (Pasal
31 ayat 8), dan banyak memperoleh pengakuan dari negara-negara maju baik
yang menggunakan sistem hukum “Common Law” dan “Civil Law”, yaitu
mendukung penggunaan prosedur keperdataan dalam menerapkan teori
pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, artinya,
sepanjang prosedur pembuktian terbalik tersebut ditujukan untuk
menggugat hak kepemilikan seseorang atas harta kekayaannya yang berasal
dari tindak pidana korupsi.
UU Nomor 31 tahun 1999 (Pasal 31) dan UU Nomor 15 tahun 2002 (Pasal
37) telah memuat ketentuan mengenai pembuktian terbalik (reversal burden
of proof).
Ketentuan di dalam kedua undang-undang tersebut masih belum dilandaskan kepada justifikasi teoritis sebagaimana telah diuraikan di atas, melainkan hanya menempatkan ketentuan pembuktian terbalik tersebut semata-mata sebagai sarana untuk memudahkan proses pembuktian saja tanpa dipertimbangkan aspek hak asasi tersangka/terdakwa berdasakan UUD 1945. Kini dengan munculnya dua model pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, maka telah terdapat referensi teoritik dan praktik dalam masalah pembuktian terbalik.
Ketentuan di dalam kedua undang-undang tersebut masih belum dilandaskan kepada justifikasi teoritis sebagaimana telah diuraikan di atas, melainkan hanya menempatkan ketentuan pembuktian terbalik tersebut semata-mata sebagai sarana untuk memudahkan proses pembuktian saja tanpa dipertimbangkan aspek hak asasi tersangka/terdakwa berdasakan UUD 1945. Kini dengan munculnya dua model pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, maka telah terdapat referensi teoritik dan praktik dalam masalah pembuktian terbalik.
Sudah tentu pembuktian terbalik dalam hal hak-kepemilikan harta
kekayaan seseorang yang diduga berasal dari korupsi menimbulkan pro dan
kontra. Pandangan kontra mengatakan bahwa, pembuktian terbalik dalam hak
kepemilikan harta kekayaan tersebut juga bertentangan dengan hak asasi
manusia yaitu setiap orang berhak untuk memperoleh kekayaannya dan hak
privasi yang harus dilindungi.
Namun demikian, bertolak kepada pemikiran bahwa korupsi merupakan
sumber kemiskinan dan kejahatan serius yang sulit pembuktiannya di dalam
praktik sistem hukum di semua negara, maka hak asasi individu atas
harta kekayaannya bukanlah dipandang sebagai hak absolut, melainkan hak
relatif, dan berbeda dengan perlindungan atas kemerdekaan seseorang dan
hak untuk memperoleh peradilan yang fair dan terpercaya.
Konvensi Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi telah memuat
ketentuan mengenai pembuktian terbalik (Pasal 31 ayat 8) dalam konteks
proses pembekuan (freezing), perampasan (seizure), dan penyitaan
(confiscation) di bawah judul Kriminalisasi dan Penegakan Hukum (Bab
III). Pascaratifikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 sudah tentu berdampak
terhadap hukum pembuktian yang masih dilandaskan kepada Undang-undang
Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981 dan ketentuan mengenai
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan pengadilan di
dalam UU nomor 31 tahun 1999.
Yang terpenting dalam hukum pembuktian kasus korupsi, sudah
seharusnya unsur kerugian negara yang nyata bahkan yang masih
diperkirakan akan nyata kerugiannya, sudah tidak pada tempatnya dan
tidak proporsional lagi untuk dijadikan unsur pokok dalam suatu tindak
pidana korupsi, dan karenannya tidak perlu harus dibuktikan lagi. Bahkan
kerugian masyarakat luas terutama pihak ketiga yang dirugikan karena
korupsi sudah seharusnya diakomodasi di dalam UU baru pemberantasan
korupsi. Ditulis 14/10/2006 Opini TokohIndonesia.com
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional UNPAD
0 comments:
Post a Comment