
JAKARTA
- Proteksionisme dinilai sudah menjadi kenyataan, bukan sekadar
ancaman. Ini terjadi seiring dengan perang dagang Amerika Serikat
(AS)-Tiongkok yang kini meluas ke belahan dunia lain, seperti Uni Eropa,
Kanada, Meksiko, dan Jepang.
Untuk itu, Indonesia perlu segera mengantisipasi agar tidak dijadikan
target pasar produk ekspor limpahan dari pasar AS, sehingga semakin
menekan nasib petani dan produsen nasional.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menaikkan tarif impor,
terutama pangan dan barang konsumsi, sesuai dengan tingkat subsidi yang
diberikan negara eksportir kepada petani dan produsen mereka.
Pengamat pertanian dari UPN Veteran Jatim, Surabaya, Zainal Abidin,
mengatakan sebagai negara berkembang, Indonesia layak untuk
mempertimbangkan penerapan tarif impor, terutama produk pangan, sebagai
antisipasi meluasnya perang dagang kelompok negara maju.
Sebab bila hanya berdiam diri, Indonesia akan semakin terpuruk dalam praktik proteksionisme global yang makin meluas.
“Perang tarif impor memang merugikan semua pihak, tapi kalau kita diam saja, akan makin runyam.
Terbukti, pertumbuhan dari perdagangan bebas selama ini adalah
pertumbuhan yang memiskinkan kelompok negara berkembang, termasuk
Indonesia,” ungkap Zainal, ketika dihubungi, Selasa (5/6).
Sebaliknya, lanjut dia, yang menikmati keuntungan adalah negara maju
dengan teknologi tinggi sehingga efisien dalam produksi dan punya daya
saing. “Mereka menyubsidi petaninya, sedangkan kita tidak.
Maka pemerintah layak menyiapkan langkah counter. Jangan sampai kepentingan nasional dikorbankan,” ujar dia.
Menurut Zainal, di bidang perdagangan Indonesia patut mencontoh
kebijakan tegas Presiden AS, Donald Trump, yang akan menerapkan tarif
impor tinggi untuk mengatasi defisit perdagangan dengan Tiongkok, dan
negara-negara lain.
Sebaliknya, pejabat Indonesia justru gemar mengimpor dengan alasan untuk menekankan inflasi.
“Sekarang terbukti, impor dalam kondisi rupiah tertekan justru memicu inflasi akibat kenaikan harga barang impor,” papar dia.
Sebenarnya, berbagai kalangan sudah bertahun-tahun mengingatkan untuk
mengurangi impor pemerintah mesti meningkatkan tarif impor pangan
hingga 33 persen.
Angka ini sesuai dengan rata-rata tarif subsidi negara eksportir kepada petani dan pengusaha mereka.
“Pendapatan dari tarif impor, untuk subsidi silang bagi pengembangan
sektor produktif. Gunakan tarif untuk lindungi petani nasional.
Devisa kita yang terbatas jangan dihamburkan untuk petani asing,
lewat impor pangan secara masif. Ini sudah berlangsung belasan tahun,
bukan tiba-tiba,” tukas dia.
Hal senada dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Indonesia for Global
Justice (IGJ), Rahmi Hertanti. Rahmi menyarankan apabila Indonesia
berniat menaikkan tarif impor pangan dan barang konsumen,
harus diimbangi dengan penguatan produksi substitusi produk impor
yang mencukupi kebutuhan dalam negeri, baik konsumen maupun industri.
Hilirisasi Pertanian
Zainal menambahkan, selain mempertimbangkan tarif impor pangan,
pemerintah juga harus memacu hilirisasi pertanian untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri dan bisa bersaing di pasar ekspor.
Menurut dia, pasar Indonesia sangat besar, dan komoditas yang dihasilkan juga berharga, seperti kakao, kelapa sawit, teh, kopi.
Tapi semuanya hanya diekspor mentah, sehingga petani dan kehidupan di
perdesaan dari tahun 1970-an sampai sekarang tidak berubah, tetap
miskin.
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengemukakan
proteksionisme dari sisi perdagangan yang menyebabkan risiko terhadap
ekonomi dunia sudah bukan lagi ancaman, melainkan sudah menjadi
kenyataan.
“Dalam beberapa pekan terakhir di G7 ini sudah ada perpecahan antara
AS dan negara G lainnya. Dengan demikian, ancaman proteksionsime bukan
lagi ancaman, tapi sudah jadi realita,” kata dia, Senin (4/6).
Selain dalam konteks perdagangan, ekonomi Tiongkok juga akan
mengalami rebalancing sehingga ekonominya akan memberat. Sementara itu,
pasar keuangan sudah terkena imbas dari kenaikan suku bunga acuan The
Fed.






0 comments:
Post a Comment