![]() |
| Presiden Joko Widodo |
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku telah menerima surat
dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan penolakan lembaga
itu dimasukkannya pasal tindak pidana korupsi ke Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Jokowi mengaku tetap pada posisi penguatan KPK dalam memberantas
korupsi. “Baru kemarin saya lihat, saya terima, baru dalam kajian kita.
Nanti setelah selesai saya sampaikan. Intinya, kita tetap harus
memperkuat KPK.
Sudah intinya ke sana,” ujar Presiden Jokowi di Mabes TNI, Cilangkap,
Jakarta Timur, Selasa (5/6). Hanya saja terkait poin-poin dalam surat
tersebut, Jokowi belum mau membahasnya lebih lanjut.
Dia akan berkoordinasi dengan Menko Polhukam, Wiranto, untuk menjawab
pernyataan dari KPK itu. “Poin-poinnya secara detail, saya belum bisa
saya sampaikan karena memang baru kemarin saya terima.
Tetapi, kajian yang dikoordinasikan oleh Menko Polhukam ini masih
dalam proses berjalan sehingga nanti kalau sudah selesai pasti masuk ke
meja saya,” ucap Jokowi.
Sebelumnya, KPK telah lima kali mengirim surat kepada Presiden Jokowi terkait dimasukkannya pasal tipikor di RKUHP itu.
KPK menyampaikan kepada Presiden dan sejumlah pihak terkait adanya
potensi pelemahan lembaga antirasuah dan pemberantasan korupsi jika
delik korupsi dimasukkan dalam RKUHP.
KPK menilai keinginan dari pemerintah dan DPR menyatukan delik pidana
khusus dalam RKUHP merujuk kepada KUHP Belanda. Menurut KPK, kondisi
korupsi yang terjadi di kedua negara ini tidak bisa disamakan. Korupsi
di Belanda tidak semasif di Indonesia.
Jalan Tengah
Aliansi Nasional Reformasi KUHP juga menolak delik korupsi dimasukkan
dalam RKUHP. Anggota Aliansi, Lalola Easter, mengatakan kewenangan KPK
untuk menyelidik, menyidik, dan menuntut sesuai UU KPK tak akan berlaku
setelah RKUHP berlaku.
Dalam Pasal 729 RKUHP, terbuka peluang bagi lembaga independen lain
untuk menangani tindak pidana khusus. Namun, Pasal 723 RKUHP kembali
mementahkan kekuatan Pasal 729.
Lalola mengatakan, delik korupsi dalam RKUHP juga lebih banyak
menguntungkan koruptor. Berdasarkan RKUHP per 8 Maret 2018, pidana denda
pada tindak pidana korupsi dibuat lebih rendah dari UU Tipikor.
Jika pidana denda dan pidana badan dijatuhkan secara kumulatif,
pidana tersebut tidak boleh melampaui separuh batas maksimum kedua jenis
pidana pokok yang diancamkan.
Pidana terhadap pelaku percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat
korupsi pada RKUHP juga lebih rendah dari UU Tipikor. Pidana yang
dijatuhkan tak lagi sama dengan pelaku pidana.
Kelemahan RKUHP lainnya adalah tak adanya pidana tambahan berupa uang
pengganti seperti di UU Tipikor. Lalola menilai pidana itu seharusnya
dipandang sebagai upaya pemulihan aset.
Di tempat terpisah, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Bambang
Soesatyo, mengatakan legislatif akan mencari jalan tengah atas perbedaan
pendapat terkait Pasal Tindak Pidana Korupsi dalam RKUHP.
Bambang akan meminta panitia kerja (panja) DPR dan pemerintah agar
memperhatikan aspirasi dan dinamika yang berkembang di masyarakat.Kata
Bambang, Dewan bakal melibatkan banyak pihak.
“Mencari persamaannya dahulu sebanyak mungkin, baru kemudian
dicarikan jalan tengah terhadap hal-hal berbeda dari sudut pandang
masing-masing, baik dari DPR, pemerintah, maupun masyarakat, termasuk
KPK,” kata Bambang melalui keterangan tertulis. f







0 comments:
Post a Comment