Jakarta – Komisioner Bawaslu Fritz Edward Siregar merasa putusan
Panwaslu di tiga daerah yang memutuskan untuk mengabulkan sengketa
pendaftaran bakal caleg yang diajukan oleh para mantan narapidana kasus
korupsi sudah tepat. Menurutnya pihak yang bersengketa di Bawaslu, wajib
menaati putusan Bawaslu.
Fritz mengatakan, wewenang sengketa yang dimiliki Bawaslu adalah
hasil evolusi dari kewenangan sengketa yang dimiliki Bawaslu itu
sendiri. Evolusi pertama, yakni ketika dahulu KPU mengeluarkan SK, yakni
apabila ada orang yang berkeberatan terhadap SK itu, ia diharuskan
untuk mendatangi PTUN dan MA. Tetapi putusan MA itu seringkali baru
diputus jauh hari setelah penetapan. Artinya keadilan itu tidak mudah
ditetapkan, dan putusan MA tersebut seringkali tidak bisa dilaksanakan.
Lalu ia menilai, di awal pembentukan Bawaslu, pembuat UU memberikan
sebuah evolusi kedua, dimana termuat dalam UU Nomor 10 tahun 2016
tentang Kepala Daerah, jika ada pihak berkeberatan dengan SK KPU, dia
diminta mengajukan sengketa ke Panwaslu, PTUN dan MA. Lalu pembuat UU
berpikir sudah cukup jika harus melalui tahapan itu, sehingga evolusi
ketiga menjadikan Bawaslu sebagai lembaga khusus untuk mengadili
sengketa pemilu.
“Itulah road map yang dibuat pembuat UU terhadap lembaga peradilan
pemilu yang kita inginkan,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ‘Perlindungan
Terhadap Konstitusional Warga: Kepatuhan Terhadap Putusan Bawaslu’, di
Media Center Bawaslu, Jalan Thamrin 14, Jakarta, Kamis (23/8).
Ia menegaskan, apabila KPU tidak sependapat dengan putusan
Panwaslu/Bawaslu, maka UU Pemilu sudah memberikan kewenangan bagi KPU
untuk melakukan upaya hukum banding terhadap hasil sengketa pemilu,
sedangkan di luar itu adalah kewajiban KPU untuk melaksanakan putusan
Panwaslu/Bawaslu. Hanya saja upaya banding KPU itu terfokus kepada tiga
hal, terhadap penetapan DCT, verifikasi Parpol dan penetapan paslon.
Apalagi sebagai bentuk menjalankan fungsi Bawaslu dalam hal
pencegahan, Bawaslu sudah mengajak seluruh parpol peserta pemilu untuk
menandatangani pakta integritas agar tidak mencalonkan eks napi
koruptor. Dan sekarang Bawaslu menjalankan fungsi penyelesaian sengketa.
Semisal dalam melindungi hak warga negara, Bawaslu juga bertanggung
jawab untuk menjaga hak itu, sehingga apabila ada kesewenangan dari
suatu lembaga, maka itu merupakan pelanggaran berat.
MK Sudah Putuskan
Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin menjelaskan, perdebatan
mengenai eks napi koruptor diperbolehkan nyaleg sudah diputuskan oleh MK
pada tahun 2009, dengan alasan Konstitusi kita itu adalah Konstitusi
yang berperikemanusiaan dan berperikeadilan. Oleh karena itu, sesakit
apapun putusan Bawaslu, KPU wajib menjalankannya.
Selain itu, pembukaan UUD 1945 antara lain menegaskan bahwa
dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi
segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pembukaan
UUD 1945 tersebut tidaklah membedakan bangsa Indonesia yang mana dan
tentunya termasuk melindungi hak mantan narapidana. Salah satu dari ciri
negara demokratis yang berdasarkan hukum dan negara hukum yang
demokratis.
Hal lain disampaikan Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraeni
meminta Bawaslu mengoreksi putusan pengawas di tingkat daerah terkait
sengketa yang diajukan mantan narapidana kasus korupsi. Pasalnya,
putusan pangawas yang memenangkan gugatan mantan napi korupsi tidak
mengacu pada peraturan KPU.Sebab Titi menganggap, UU Pemilu sudah memberi wewenang kepada Bawaslu untuk melakukan koreksi atas putusan pengawas pemilu di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota jika putusan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
rag/AR-3
0 comments:
Post a Comment