SERANG, (KB).- Angka kemiskinan di Provinsi Banten
naik 0,01 persen dari 5,24 persen pada Maret 2018 menjadi 5,25 persen
pada September 2018. Dengan angka itu, jumlah penduduk miskin di
Provinsi Banten naik 7.380 orang dari 661.360 orang pada Maret 2018
menjadi 668.740 orang pada September 2018.
Hal tersebut terungkap dalam penyampaian rilis Badan Pusat Statistik
(BPS) Banten tentang profil kemiskinan di Banten bulan September 2018
yang dilakukan di Kantor BPS Banten, KP3B, Kecamatan Curug, Kota Serang,
Selasa (15/1/2019).
Kepala BPS Provinsi Banten, Agoes Soebeno mengatakan, angka
kemiskinan di Banten didapatkan dari hasil survei sosial ekonomi
nasional (Susenas) pada September 2018. Berdasarkan survei ini diketahui
jumlah penduduk miskin paling dominan berada di wilayah perdesaan.
“Jumlah miskin di daerah perkotaan pada Maret 2018 sebesar 4,38
persen, turun menjadi 4,24 persen pada September 2018. Sementara
persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada Maret 2018 sebesar
7,33 persen, naik menjadi 7,67 persen pada September 2018,” ujarnya.
Dengan angka itu, dapat diartikan bahwa selama periode Maret 2018
sampai September 2018, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun
sebanyak 11.670 orang, dari 393.800 orang pada Maret 2018 menjadi
382.130 orang pada September 2018. “Sementara di daerah perdesaan naik
sebanyak 19.050 orang, dari 267.550 orang pada Maret 2018 menjadi
286.600 orang pada September 2018,” ucapnya.
Disinggung terkait kabupaten/kota yang banyak penduduk miskin, ia
menjelaskan, berdasarkan data Maret 2018 tingkat kemiskinan di Banten
paling banyak terdapat di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan
Kabupaten Serang. Ia meyakini data ini tidak akan jauh berbeda dengan
September 2018, karena fenomena sosial seperti kemiskinan jarang berubah
secara drastis. “Kalau jumlahnya, (paling banyak) di Kabupaten
Tangerang,” ucapnya.
Komoditi makanan paling banyak berperan terhadap garis kemiskinan
dibanding komoditi non makanan, seperti perumahan, sandang, pendidikan,
dan kesehatan. Pada September 2018, sumbangan garis kemiskinan makanan
terhadap garis kemiskinan tercatat sebesar 71,60 persen, sedikit lebih
rendah dibandingkan kondisi Maret 2018 yang sebesar 71,66 persen.
“Jenis komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai garis
kemiskinan September 2018 di perkotaan maupun di perdesaan adalah beras,
rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, mi instan, roti
serta kopi bubuk dan kopi instan (sachet),” katanya.
Sementara itu, lanjut dia, komoditi non makanan penyumbang terbesar
garis kemiskinan di perkotaan dan perdesaan adalah sama yaitu biaya
perumahan, bensin, listrik, pendidikan dan perlengkapan mandi. “Akses
orang miskin di perdesaan untuk mendapat perumahan lebih sulit dibanding
perkotaan,” tuturnya.
Sedangkan untuk tingkat ketimpangan yang diukur dari gini ratio, pada
September 2018 tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Banten tercatat
sebesar 0,367. Angka ini turun 0,018 poin dibandingkan dengan gini
ratio Maret 2018 yang sebesar 0,385.
“Gini ratio di daerah perkotaan pada September 2018 tercatat sebesar
0,362, turun dibanding gini ratio Maret 2018 yang sebesar 0,386.
Sedangkan gini ratio di daerah perdesaan justru meningkat dari 0,283
pada Maret 2018 menjadi 0,299 pada September 2018,” katanya.
Pada September 2018, distribusi pengeluaran kelompok penduduk 40
persen terbawah adalah sebesar 18,50 persen. Artinya, pengeluaran
penduduk masih berada pada kategori tingkat ketimpangan rendah. “Jika
dirinci menurut wilayah, di daerah perkotaan angkanya tercatat sebesar
18,22 persen dan di daerah perdesaan sebesar 21,75 Persen,” ujar Agus.
0 comments:
Post a Comment