Dua malam lalu di Omah Yoso (artinya Rumah untuk Kebaikan),
pertanyaan ini dihidang berbarengan dengan kopi dan rasa penasaran. Yang
berkumpul rasanya bukan orang sembarangan. Mereka para pegiat komunitas
di Kota Metro yang kenal asam garam bagaimana memulai, menggerakkan,
dan merawat komunitas. Areanya beragam mulai dari seni puisi, teater,
literasi, juga penggemar sepak bola dan wisata rakyat. Saya dan Linda
yang belasan tahun omong soal pemberdayaan, social capital, alternative
learning method, tentu saja dibuat terpesona mendengar keriuhan
pengalaman yang diceritakan dengan kerendahan hati. Sekaligus jelas. Ada
titik-titik simpul jawaban yang sayang jika tidak dicatat.
Pertama, ide semata jauh dari cukup jadi modal bergerak. Perlu
semacam rasa “kepingin yang kebangetan” untuk mengubah atau bikin hal
baru yang dirasa perlu.
Tapi perkara ide (visi) ini kadang jadi sebab sebuah komunitas
kelewat cepat rontok. Perbedaan visi para pemantik inisiatif, begitu
biasanya. Benarkah? Bukankah setiap orang yang memilih bergerak di
komunitas sedari awal sadar betul bahwa visi bukan kata benda melainkan
kata kerja. Dia bergerak, dipertukarkan, dinegosiasikan, dikompromikan.
Jangan-jangan, apa yang kita sebut ‘perbedaan visi’ (sounds very
serious, eh?) adalah istilah yang dipungut terburu-buru untuk menyatakan
konflik yang lebih sederhana. Misalnya, perbedaan gaya atau metode
kerja. Jalan keluarnya tak mesti repot sangat. Saya membayangkan, jika
para pegiat ini mau coba kerjakan test personality types (hanya 15 menit
paling lama), masing-masing akan mengenal kecenderungan cara berpikir
dan bekerja teman seperjalanan. Setidaknya, mengenal cara berpikir dan
bekerja diri sendiri. Jadi, bisa lebih lincah mengelola perbedaan.
Kedua, energi besar untuk keep calm and fun. Bertahan tetap lucu.
Para pegiat komunitas ini punya karakter yang sangat menonjol: selow.
Omong enak dengan berbagai jenis manusia, bisa legowo ketika mendapatkan
kepentingan orang yang beragam. Yang kerjanya di ‘awan’ dan (sehingga)
jadi mudah tegang (seperti saya juga hihihi) suka bikin repot. Baiknya
dengan sadar ambil peran di samping. Atau, maju di depan hanya ketika
dirasa penting.
Ketiga, pegiat komunitas lebih gemar melihat peluang dibanding
memberi gizi terus menerus pada problem, tantangan atau masalah. Menarik
juga karena beberapa pemain hebat di area ini cenderung senang melihat
masalah lalu jadi marah. Kemarahan (pada pemerintah atau kawan yang
dicap ‘plat merah’) memang bisa jadi bensin penggerak dan pemicu
kreatifitas. Tapi sayangnya, hanya sebentar lalu kerja bagus jadi
berhenti karena ternyata ‘masalah yang dihadapi kelewat besar’.
Keempat, nah ini yang rasanya seringkali absen, mimpi yang diijinkan
jadi besar. Kerja perlu basis riil dan realistis, tapi jangkauan ide
harunya dibikin luas. Yang bekerja terus memang 4L (lu lagi lu lagi).
Yang ramai memang Tim Hore. Tapi dari yang sedikit targetnya perlu
lintas batas. Mereka yang suka main sensor mimpi sendiri biasanya jatuh
frustasi karena merasa tidak cukup maju. Pada titik ini, mungkin para
pegiat komunitas perlu mulai melirik soal Social Enterpreneurship dan
Ekonomi Kreatif.
Dari obrolan panjang sampai menjelang Gerhana Bulan dini hari itu,
saya mau banget belajar dari pakar Visioning dan Social Enterpreneurship
yang keren Budhita Kismadi, Dani Moengggoro dan Retha Dungga. Ini
sekaligus undangan buat mereka untuk ‘mampir ngopi’ ke Omah Yoso, Metro.
Dijamin dapat banyak pahala. []
0 comments:
Post a Comment