Mengapa pilpres yang hanya soal pergantian presiden dan kita sudah
pengalaman menyelenggarakannya beberapa kali tapi sekarang ini demikian
panas, tegang, sulit saling mengalah, kecurangan masif berani
terang-terangan? Petahana akan menangkap siapa saja yang dianggapnya
provokator bahkan sekarang dibuatkan hukum oleh Wiranto untuk menangkap
siapa saja yang menghina Jokowi. Sisi lain, oposan akan mengerahkan
gerakan rakyat yang disebut people power walaupun sebuah gerakan damai.
Kata “kalah” sekarang ini, nampaknya tidak akan diterima oleh kedua
belah pihak. Apakah kekalahan tidak akan diterima hanya oleh kubu 02?
Tidak. Kubu 01 juga sama, suasananya tidak akan menerima kekalahan untuk
pilpres kali ini.
Bagi kubu 02, pemilu kali ini penuh rekayasa, karena itulah
kecurangan struktural dan masif disiapkan sejak awal, catatannya di tim
BPN mencapai ribuan, termasuk membangun opini melalui quick count yang
diyakini hanya pesanan semata, hanya konstruksi untuk mempengaruhi
pikiran dan mental masyarakat agar hasil pemilu bisa diterima dari hasil
quick count dan perhitungan KPU.
Bagi kubu 01, pemilu kali tampaknya tidak bisa terima kekalahan
karena diyakininya kelompok Islam radikal menyatu pada kubu 02 yang
dituduhkannya akan merubah NKRI dan Pancasila. Prabowo iya nasionalis
tapi dia didompleng oleh elemen Islam radikal dan ini membahayakan
kelangsungan NKRI. Itulah pikiran di kubu 01. Maka, bagaimana pun
caranya, 02 tidak boleh menang walaupun itu kekuatan rakyat.
Kalau soal pemilu biasa yang jurdil dan kondisi negara normal, kubu
Jokowi dan kubu Prabowo pasti akan menerima kalah dan menang sebagai hal
yang biasa. Tapi mengapa kondisi jadi rumit, panas, tegang dan gawat?
Mengapa ada ribuan kecurangan yang dibaca masyarakat dari berita-berita
media dan ditonton langsung dari banyak sekali video yang beredar?
Mengapa survei dan quick count yang fungsinya membantu menghitung cepat
tapi kali ini kontroversial dan tak diterima oleh satu paslon? Berarti
ada sesuatu. Itu jawabannya.
Bukankah pada banyak pemilu sebelumnya, kwikkoun tidak jadi masalah?
Karena tidak ada nuansa kecurangan apalagi masif. Di pilpres 2019 ini,
masalahnya jelas karena pemilunya tidak wajar. Bukankah sepanjang
sejarah pemilu Indonesia baru kali ini begitu banyak kecurangan yang
disaksikan masyarakat? Mengapa ada korban kematian panitia begitu banyak
hingga 550 lebih? Ada apa? Apa artinya? Sekali lagi, artinya ada
sesuatu, ada yang tidak wajar, ada misteri yang besar yang sekarang jadi
kontroversi. Bukankah mudah saja memahami itu? Diagnosis Ikatan Dokter
Indonesia sudah membuktikan mereka bukan mati oleh kelelahan. Kelelahan
bukan penyebab langsung kematian. Bila kematian massal itu diautopsi,
sebabnya akan terbuka.
Mana mungkin sebuah hasil pemilu akan diterima oleh peserta bila
kecurangan begitu banyak? Di negara manapun pasti akan jadi masalah,
yang kalah pasti akan protes karena permainan tidak fair, karena pemilu
tidak jujur. Ada apa dengan kematian panitia KPPS hingga 500 orang
lebih? Apakah ini pemilu yang biasa? Pemilu yg normal dan wajar? Tentu
tidak. Semua masyarakat tahu dan merasakan ini pemilu yang tidak biasa,
tidak wajar. Kematian massal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Jadi,
sekali lagi, ada apa dengan pemilu pilpres 2019?
Mengamati dan merasakan ketidakwajaran Pilpres 2019 sebenarnya bukan
soal Jokowi lawan Prabowo, bukan hanya soal pergantian presiden, bukan
soal Islam moderat dan Islam radikal, bukan soal Pancasila vs Khilafah,
bukan soal nasionalisme religius vs nasionalisme sekuler. Bukan soal
rebutan kekuasaan antar anak bangsa. Kalau hanya itu semua, pemilu tidak
akan segawat dan segenting ini. Dalam banyak hal masyarakat kita sudah
terbiasa dan menerima perbedaan.
Maka, jawabannya tidak lain adalah sesuatu yang lebih besar dari
sekedar pemilu. Yang lebih besar dari sekedar pergantian presiden yaitu
masalah kedaulatan negara dan masa depan bangsa. Hanya, yang satu kubu
seperti tidak perduli, tidak menyadari, karena lebih memandang aspirasi
politik kelompoknya. Kubu lain tahu, sangat perduli dan melihat urusan
yang lebih besar, yaitu soal kedaulatan bangsa dan negara yang sedang
tergadaikan. Soal ancaman kepada rakyat yang akan jadi kacung di
negerinya sendiri.
Ini era global. Negara-negara besar mencaplok negara-negara lain
tidak melalui penjajahan langsung tapi melalui neo-kolonialisme, melalui
imperialisme politik yang gejalanya sudah banyak di Indonesia tapi
masih juga sulit diyakinkan kepada sebagian masyarakatnya.
Samuel Huntington menjelaskan secara rasional dalam bukunya “The
Clash of Civilization and Remaking New Order,” bahwa negara-negara
raksasa dengan ledakan penduduknya yang sudah tak terkendali di
negerinya karena sudah lewat batas, pasti akan mencari sumber-sumber
alam dan penghidupan dengan membanjiri negara-negara tetangganya dan
menganeksisasi secara ekonomi dan politik. Kolonialisme dulu karena
kerakusan, sekarang kolonialisme karena mempertahankan hidup dari negara
yang terlalu besar.
Penduduk Cina sekrang sudah sekitar 1,4 milyar yang sumber alamnya
sudah tak bisa diandalkan. Bagaimana ia harus mempertahankan hidup?
Seperti air, dengan meluber keluar, menganeksasi bangsa-bangsa lain. Dan
Cina sudah membuktikan itu dengan jebakan-jebakan utang yang besar yang
membuat negara lain tidak berdaya: Tibet sudah jadi negara Cina,
Malaysia sudah terlambat untuk bisa lepas dari hegemoni Cina.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
Rizal Taufikurahman mengungkapkan, Zimbabwe memiliki utang sebesar 40
juta dollar AS kepada China dan tak mampu membayar sehingga harus
mengganti mata uangnya menjadi Yuan sebagai imbalan penghapusan utang
sejak 1 Januari 2016. Nigeria yang disebabkan oleh model pembiayaan
melalui utang yang disertai perjanjian merugikan dalam jangka panjang
membuat China mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal
China untuk pembangunan infrastruktur di Negeria.
Sri Lanka yang juga tidak mampu membayarkan utang luar negerinya
untuk pembangunan infrastruktur dan harus melepas Pelabuhan Hambatota
sebesar Rp 1,1 triliun atau sebesar 70 persen sahamnya dijual kepada
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) China. Angola mengganti nilai mata
uangnya. Zimbabwe juga.
Kapan Indonesia sadar?
Hutang Indonesia sudah mencapai 5000an Trilyun dan Indonesia akan
kesulitan membayarnya. Satu-satunya cara adalah intervensi Cina harus
diterima menghegemoni Indonesia dengan dikte-dikte ekonomi dan
politiknya yang kini semakin kuat.
Melalui konglomerasi raksasa, Indonesia harus dibawah kendali mereka.
Jokowi dan petahana adalah akses yang bisa diintervensi yang selama
menambah terus utangnya hingga titik kritis. Luhut Binsar Panjaitan,
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman yang sangat berkuasa, sudah
menandatangi 23 kontrak proyek dengan Cina untuk memperkuat dan semakin
mengunci Indonesia dengan utang.
Liputan Kompas dan banyak media lain mengkhawatir bahaya jebakan
hutang ini dan banyak tokoh mengkritiknya. Tapi Wiranto malah
menyambutnya dengan membentuk Tim Hukum Nasional yang bernuansa
dihidupkannya politik otoriter Orde Baru.
Kesadaran ancaman atas kedaulatan negara disikapi berbeda oleh kedua
kubu capres dan masing-masing pendukungnya. Petahana menganggapnya bukan
masalah karena mungkin sudah akrab tanpa melihat dampak dan akibatnya,
kubu oposisi sangat merasakan ini berbahaya bagi kelangsungan bangsa dan
negara.
Kapan keduanya akan menyadari bersama? Mungkin kelak kalau bangsa
ini, tanpa sadar dan tidak berdaya, sudah menjadi bagian dari negeri
asing. Kita baru akan menyadari ketika kedaulatan sudah hilang di negeri
yang dimerdekakan oleh hasil keringat darah rakyat, para pejuang dan
para ulama dari 350 tahun kolonialisme.
Maka, siapa pemenang pilpres 2019 akan menentukan apakah Indonesia
akan menjadi bangsa kacung dan kekayaan negerinya habis milik asing yang
sekarang sebagiannya sudah terbukti atau menjadi negara dan bangsa
“baru” yang berdaulat sebagai amanat Pancasila dan UUD 1945. Wallahu
a’lam.







0 comments:
Post a Comment